linimassa.id – Di usia berapa kamu tahu kalau Jembatan Ampera adalah kepanjangan dari Amanat penderitaan rakyat?
Jembatan di Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan, Indonesia ini menjadi semacam lambang kota. Jembatan ini terletak di tengah-tengah Kota Palembang, menghubungkan daerah Seberang Ulu dan Seberang Ilir yang dipisahkan oleh Sungai Musi.
Ternyata, Jembatan Ampera yang merupakan ikon kota Palembang yang paling terkenal ini sebelumnya dinamai Jembatan Soekarno atau Jembatan Bung Karno.
Menurut sejarawan Djohan Hanafiah, pemberian nama tersebut sebagai bentuk penghargaan kepada Presiden RI pertama itu. Bung Karno secara sungguh-sungguh memperjuangkan keinginan warga Palembang, untuk memiliki sebuah jembatan di atas Sungai Musi.
Peresmian pemakaian jembatan dilakukan pada 1965, sekaligus mengukuhkan nama Bung Karno sebagai nama jembatan.
Pada saat itu, jembatan ini adalah jembatan terpanjang di Asia tenggara.[ Setelah terjadi pergolakan politik pada 1966, ketika gerakan anti-Soekarno sangat kuat, nama jembatan itu pun diubah menjadi Jembatan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat).
Sekitar tahun 2002, ada wacana untuk mengembalikan nama Bung Karno sebagai nama Jembatan Ampera ini. Tapi usulan ini tidak mendapat dukungan dari pemerintah dan sebagian masyarakat.[3]
Pembangunan jembatan ini dimulai pada bulan April 1962, setelah mendapat persetujuan dari Presiden Soekarno. Biaya pembangunannya diambil dari dana pampasan perang Jepang. Bukan hanya biaya, jembatan inipun menggunakan tenaga ahli dari negara tersebut.
Panjang Jembatan ini 1.117 m, lebar 22 m (bagian tengah 71,90 m, berat 944 ton dan dilengkapi pembandul seberat 500 ton), semua bagian tengah bisa diangkat agar kapal-kapal besar bisa lewat.
Namun sejak 1970 bagian tengah sudah tidak dapat diangkat lagi. Bandul pemberatnya pada 1990 dibongkar karena dikhawatirkan dapat membahayakan. Tinggi jembatan ini 11,5 m dari atas permukaan air, tinggi menara 63 m dari permukaan tanah dan jarak antara menara 75 m.
Asal Mula
Ide untuk menyatukan dua daratan di Kota Palembang ”Seberang Ulu dan Seberang Ilir” dengan jembatan, sebetulnya sudah ada sejak zaman Gemeente Palembang, pada 1906.
Saat jabatan Wali kota Palembang dijabat Le Cocq de Ville, tahun 1924, ide ini kembali mencuat dan dilakukan banyak usaha untuk merealisasikannya. Namun, sampai masa jabatan Le Cocq berakhir, bahkan ketika Belanda hengkang dari Indonesia, proyek itu tidak pernah terealisasi.
Pada masa kemerdekaan, gagasan itu kembali mencuat. DPRD Peralihan Kota Besar Palembang kembali mengusulkan pembangunan jembatan waktu itu, disebut Jembatan Musi dengan merujuk nama Sungai Musi yang dilintasinya, pada sidang pleno yang berlangsung pada 29 Oktober 1956.
Usulan ini sebetulnya tergolong nekat sebab anggaran yang ada di Kota Palembang yang akan dijadikan modal awal hanya sekitar Rp 30.000,00.
Pada 1957, dibentuk panitia pembangunan, yang terdiri atas Penguasa Perang Komando Daerah Militer IV/Sriwijaya, Harun Sohar, dan Gubernur Sumatera Selatan, H.A. Bastari. Pendampingnya, Wali kota Palembang, M. Ali Amin, dan Indra Caya. Tim ini melakukan pendekatan kepada Bung Karno agar mendukung rencana itu.
Usaha yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Kota Palembang, yang didukung penuh oleh Kodam IV/Sriwijaya ini kemudian membuahkan hasil.
Bung Karno kemudian menyetujui usulan pembangunan itu. Karena jembatan ini rencananya dibangun dengan masing-masing kakinya di kawasan 7 Ulu dan 16 Ilir, yang berarti posisinya di pusat kota, Bung Karno kemudian mengajukan syarat. Yaitu, penempatan boulevard atau taman terbuka di kedua ujung jembatan itu. Dilakukanlah penunjukan perusahaan pelaksana pembangunan, dengan penandatanganan kontrak pada 14 Desember 1961, dengan biaya sebesar USD 4.500.000 (kurs saat itu, USD 1 = Rp 200,00).
Pembangunan Jembatan Ampera dipusatkan di wilayah hilir yang merupakan kawasan pusat kota, terutama kawasan 16 Ilir.
Sewaktu pembangunan Jembatan Ampera, banyak sekali bangunan-bangunan peninggalan Belanda yang dibongkar, salah satunya pusat perbelanjaan terbesar Matahari atau Dezon, Kantor listrik (OGEM), dan Bank ESCOMPTO.
Bangunan peninggalan Belanda yang tidak dibongkar hanya menara air atau waterleding yang sekarang digunakan sebagai Kantor Wali Kota. Di bagian hulu, banyak perumahan penduduk yang juga ikut dibongkar.
Jembatan Ampera sangat vital perannya bagi masyarakat Kota Palembang dan sekitarnya.
Dengan adanya pembangunan Jembatan Ampera, tentu banyak memberikan perubahan terhadap kesenjangan yang terjadi antara dua wilayah ini.
Manfaat terbesar yang dapat dirasakan adalah kemudahan akses transportasi bagi masyarakat Palembang. Dengan adanya kemudahan transportasi ini tentu dapat membantu kelancaran hubungan antara masyarakat Ilir dan Ulu, serta dapat memperlancar seluruh aktivitas masyarakat.
Sebagai ikon kota Palembang, Jembatan Ampera terus mengalami perubahan dan peremajaan. Pada malam hari, Jembatan Ampera dihiasi dengan lampu-lampu yang berderet sepanjang jembatan sehingga tampak indah dan eksotis.
Dari atas Jembatan Ampera dapat terlihat Benteng Kuto Besak yang terletak tak jauh dari jembatan. Benteng Kuto Besak merupakan sebuah benteng bersejarah peninggalan Sultan Mahmud Badaruddin I pada abad ke-18 yang masih kokoh berdiri hingga sekarang. Salah satu cara yang unik untuk menikmati pemandangan sekitar adalah menikmati hidangan makanan khas Palembang di warung terapung.
Warung terapung merupakan warung berbentuk perahu yang mengapung di perairan tepi Sungai Musi. Para pengunjung dapat menikmati keindahan pesona Jembatan Ampera dan Sungai Musi pada malam hari. (Hilal)