linimassa.id – Kelereng alias gundu, keneker, kaléci, guli, dan baguli merupakan bola kecil dibuat dari tanah liat, marmer atau kaca untuk permainan anak-anak.
Ukuran kelereng sangat bermacam-macam. Umumnya ½ inci (1,25 cm) dari ujung ke ujung. Kelereng kadang-kadang dikoleksi, untuk tujuan nostalgia dan warnanya yang estetik.
Pada 3000 SM, kelereng terbuat dari batu atau tanah liat. Kelereng tertua koleksi The British Museum di London berasal dari tahun 2000-1700 SM. Kelereng tersebut ditemukan di Kreta pada situs Minoan of Petsofa.
Sumber lain menyebut, kelereng diyakini berasal dari Mesir Kuno, ditemukan dalam peninggalan arkeologi yang berasal dari sekitar 2000 SM. Namun, permainan dengan biji-bijian kecil atau batu loncat juga ada dalam budaya kuno lainnya di seluruh dunia.
Pada masa Romawi, permainan kelereng juga sudah dimainkan secara luas. Bahkan, menjadi salah satu bagian dari festival Saturnalia, yang diadakan saat menjelang perayaaan Natal. Saat itu semua orang saling memberikan sekantung biji-bijian yang berfungsi sebagai kelereng tanda persahabatan.[butuh rujukan.
Sejak abad ke-12, di Prancis, kelereng disebut dengan bille, artinya bola kecil, di Belanda di sebut dengan nama knikkers. Di Inggris ada istilah marbels untuk menyebut kelereng.
Marbels sendiri digunakan untuk menyebut kelereng terbuat dari marmer yang didatangkan dari Jerman. Namun, jauh sebelumnya, anak-anak di Inggris telah akrab menyebutnya dengan bowls atau knikkers.
Kelereng dari Indonesia
Teknologi pembuatan kelereng kaca ditemukan pertama kali pada 1864 di Jerman. Kelereng yang semula satu warna, menjadi berwarna-warni mirip permen.
Teknologi ini segera menyebar ke seluruh Eropa dan Amerika. Kelereng populer di Inggris dan negara Eropa lain sejak abad ke-16 hingga 19. Setelah itu baru menyebar ke Amerika. Bahan pembuatnya adalah tanah liat dan diproduksi besar-besaran.
Permainan
Laman Kumparan menyebut, permainan kelereng adalah jenis permainan tradisional yang berbentuk bulat dan terbuat dari kaca, tanah liat, atau agate. Ukuran kelereng umumnya memiliki diameter ½ inci atau 1,25 cm dari ujung ke ujungnya.
Kelereng dapat dijadikan sebagai permainan anak yang bersifat rekreatif, edukatif, dan kompetitif. Kelereng juga dapat dikoleksi dengan tujuan nostalgia karena memiliki warna dan motif yang estetik.
Pada beberapa daerah di Indonesia, kelereng memiliki sebutan lain yang berbeda-beda. Misalnya, di Jawa kelereng disebut dengan nekeran, di Betawi disebut dengan gundu, sementara di Palembang disebut ekar.
Cara Bermain
Kelereng adalah permainan yang bisa dimainkan secara ramai-ramai, baik individu melawan individu, maupun kelompok melawan kelompok.
Mengutip dari buku Permainan Tradisional: Prosedur dan Analisis Manfaat Psikologis karya Iswinarti, berikut cara bermain kelereng.
Pada dasarnya, kelereng memiliki beberapa model permainan yang dibedakan berdasarkan bentuk dari kumpulan kelereng yang dipertaruhkan. Namun, secara garis cara bermain dari ketiga model itu masih sama.
Tiga model permainan kelereng yang dirangkum dari buku Direktori Permainan Tradisional Kabupaten Banyuasin karya Irwan P. Ratu Bangsawan, yaitu sebagai berikut.
Kelereng lingkaran, yaitu model permainan kelereng dengan membentuk sebuah lingkaran untuk mengumpulkan kelereng yang dipertaruhkan.
Kelereng kubah, yaitu penempatan kelereng yang dijadikan sebagai taruhan diletakkan di area yang berupa gambar kubah dengan cara menyebar.
Kelereng lubang, merupakan model permainan kelereng dengan membuat lubang sedalam 1,5 cm dan diameter 5 cm, untuk bisa dimasuki sebuah kelereng.
Populer
Untuk bermain kelereng, pemain melemparkan gundu ke dalam lubang-lubang kecil atau target tertentu untuk mencetak poin. Permainan kelereng populer di berbagai negara dan sering dimainkan oleh anak-anak di seluruh dunia.
Kelereng menjadi populer di berbagai negara di seluruh dunia, dan namanya bervariasi dalam bahasa dan budaya yang berbeda.
Kelereng dalam bahasa Palembang disebut ekar. Di Amerika Serikat, mereka sering disebut sebagai “marbles”, sedangkan di Indonesia dan sebagian besar Asia Tenggara, mereka dikenal sebagai “kelereng”.
Selama berabad-abad, kelereng digunakan dalam berbagai permainan dan aktivitas, termasuk perjudian, olahraga, dan permainan anak-anak. Mereka juga memiliki nilai artistik dan kadang-kadang digunakan dalam seni dan dekorasi.
Awalnya, kelereng terbuat dari berbagai bahan, seperti batu, tanah liat, atau kaca. Namun, dengan perkembangan teknologi, kelereng modern sering terbuat dari kaca, plastik, atau logam.
Selama abad ke-20, kelereng menjadi sangat populer di kalangan anak-anak di seluruh dunia. Mereka digunakan dalam berbagai permainan seperti “ring taw”, “lagai” dan “war”.
Seiring dengan kemajuan teknologi, minat dalam kelereng mungkin telah menurun di beberapa tempat karena anak-anak lebih tertarik pada permainan video dan perangkat elektronik. Namun, permainan kelereng masih hidup dan populer di beberapa komunitas tradisional. (Hilal)