linimassa.id – Menggunjing atau mengghibah menjadi fenomena massif. Tidak hanya dilakukan Wanita tapi juga pria. Mulai dari anak-anak, remaja hingga dewasa pasti pernah menggunjing.
Dalam Islam menggunjing sangat dilarang karena dapat menyebabkan terlanggarnya kehormatan, keselamatan hati dan ketenangan di masyarakat.
Perbuatan menggunjing, merupakan salah satu dosa besar yang membinasakan, merusak agama para pelakunya, baik sebagai pelaku ataupun orang yang rela ketika mendengarkannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dalam Alquran :
وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
Dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yaang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. [al Hujurat/49 : 12].
Laman Al Manhaj menyebut, menggunjing orang lain, tidak lepas dari salah satu dari tiga istilah, yang semuanya disebutkan Alquran. Yaitu : ghibah, ifku dan buhtan.
Apabila yang disebutkan tentang seseorang itu ada padanya, maka inilah ghibah. Apabila menyampaikan semua yang didengar, maka ini adalah ifku. Dan apabila yang disebutkan tidak ada pada diri seseorang, maka ini adalah buhtan.
Ghibah (menggunjing) adalah, setiap yang dapat dipahami dengan maksud penghinaan, baik berupa perkataan, isyarat atau tulisan. Ghibah ini, juga bisa berupa penghinaan terhadap seseorang tentang agama, kondisi fisik, akhlak, harta dan keturunannya. Barangsiapa yang mencela ciptaan Allah, berarti ia telah mencela penciptanya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyeru pelaku perbuatan ini dengan sabdanya:
يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ الْإِيمَانُ قَلْبَهُ لَا تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِينَ وَلَا تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعُ اللَّهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَّبِعِ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِي بَيْتِهِ
Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya, namun keimanan itu belum masuk ke dalam hatinya! Janganlah kalian mengghibah (menggunjing) kaum Muslimin. Jangan pula mencari-cari aib mereka. Barangsiapa yang mencari-cari aib mereka, (maka) Allah akan mencari-cari aibnya. Dan barangsiapa yang Allah mencari-cari aibnya, niscaya Allah akan membeberkan aibnya, meskipun dia di dalam rumahnya.
Tentang bahaya menggunjing ini, al Hasan berkata : “Ghibah, demi Allah, lebih cepat merusakkan agama seseorang daripada ulat yang memakan tubuh mayit”.
Maka sungguh aneh, jika ada orang yang mengaku sebagai ahlul haq dan ahlul iman, ternyata ia melakukan perbuatan ghibah (menggunjing), sedangkan dia mengetahui akibat buruk perbuatan tersebut. Firman Allah Ta’ala mengingatkan :
أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ
Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? [al Hujarat/49 : 12].
Seburuk-buruk ghibah, yaitu menggunjing para pemimpin, para ulama, orang-orang berkedudukan, orang-orang shalih, dan orang yang mengajak berbuat adil.
Pelaku ghibah ini telah mencabik-cabik kehormatan orang-orang terpandang yang memiliki kedudukan. Pelaku ghibah ini juga merendahkan kedudukan mereka, menghilangkan kewibawaan mereka, menghilangkan kepercayaan terhadap mereka, mencela perbuatan dan usaha mereka, dan meragukan kemampuan mereka.
Bahaya Ghibah
Hanya karena keasikan mengobrol atau justru untuk membuat obrolan menjadi semakin menarik, ghibah menjadi salah satu jebakan setan yang tak pernah berhenti bekerja menggoda manusia dan menjerumuskannya pada dosa.
Laman islamic-center.or.id menyebut, setan selalu berinovasi dan mempunyai cara-cara yang sangat halus sehingga kita tidak menyadari bahwa apa yang kita lakukan sudah termasuk dosa.
Sebagai contoh adalah, salah satu jerat setan yang dinamakan ghibah. Ternyata banyak model ghibah yang sering terjadi dan tidak disadari. Padahal sejatinya itu adalah dosa ghibah.
Hanya saja dipoles lebih halus dan kreatif, sehingga tidak disadari sebagai ghibah.
Padahal kita tahu, betapa besar bahaya daripada dosa ghibah ini. Di samping menginjak-injak harga diri saudaranya sesama muslim tanpa hak, juga akan menjadi beban berat di hari kiamat kelak (bila orang yang dighibahi tidak memaafkan).
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
“Siapa yang pernah menzalimi saudaranya berupa menodai kehormatan (seperti ghibah. pent) atau mengambil sesuatu yang menjadi miliknya, hendaknya ia meminta kehalalannya dari kezaliman tersebut hari ini.
Beberapa model ghibah terselubung, di antaranya:
Pertama, seorang menggunjing saudaranya untuk memeriahkan obrolan. Dia menyadari kalau ghibah ini tidak diteruskan, orang yang dia ajak bicara akan bosan, obrolan menjadi hambar.
Untuk itu, dia jadikan ghibah sebagai pemeriah obrolan. Agar lebih manis dan tahan lama obrolannya. Barangkali dia berkilah untuk memupuk keakraban dan membahagiakan saudaranya (yang sedang dia ajak ngobrol).
Kedua, mengumpat saudaranya di hadapan orang lain, untuk mengesankan bahwa dirinya adalah orang yang tidak suka ghibah, padahal sejatinya dia sedang mengghibahi saudaranya.
Sebagai contoh perkataan ini,” Bukan tipe saya suka ngomongin aib orang. Saya nda’ biasa ngomongin orang kecuali yang baiknya saja. Cuma, saya ingin berbicara tentang dia apa adanya… Sebenarnya dia itu orangnya baik. Cuma yaa itu.. dia itu begini dan begini (dia sebutkan kekurangannya).”
Padahal sejatinya bermaksud untuk menjatuhkan harga diri saudaranya yang ia umpat. Sungguh ironi, apakah dia kira Allah akan tertipu dengan tipu muslihat yang seperti ini, sebagaimana ia telah berhasil menipu manusia?
Ketiga, menyebutkan kekurangan saudaranya, dengan niatan untuk mengangkat martabatnya dan merendahkan kedudukan orang yang dia ghibahi.
Seperti perkataan seorang, “Dari kelas satu SMA sampai kelas tiga, rapornya selalu merah. Kalau saya alhamdulillah, walaupun enggak pernah rangking satu, tapi masuk tiga besar terus.”
Padahal ada maksud terselubung dari ucapan itu. Yaitu untuk mengangkat martabatnya dan menghinakan kedudukan orang lain.
Orang yang seperti ini sudah jatuh tertimpa tangga pula; dia sudah melakukan ghibah, di samping itu, dia juga berbuat riya’.
Keempat, ada lagi yang mengumpat saudaranya karena dorongan hasad.
Setiap kali ada orang yang menyebutkan kebaikan saudaranya, diapun berusaha untuk menjatuhkannya dengan menyebutkan kekurangan-kekuranganya.
Orang seperti ini telah terjurumus ke dalam dua dosa besar sekaligus; dosa ghibah dan dosa hasad.
Kelima, menyebutkan kekurangan orang lain, untuk dijadikan bahan candaan. Dia sebutkan aib-aib saudaranya, supaya orang-orang tertawa.
Dan lebih parah lagi, bila yang dijadikan bahan candaan adalah kekurangan guru atau ustadznya. -Nas alullah as-salaamah wal ‘aafiyah-.
Keenam, terkadang ghibah juga muncul dalam bentuk ucapan keheranan, yang terselebung motif menjatuhkan kedudukan orang lain.
Semisal ucapan,”saya heran sama dia.. dari tadi dijelaskan oleh ustadznya tapi tidak faham-faham.” atau ucapan lainnya yang semisal.
Ketujuh, mengumpat dengan ungkapan yang seakan-akan mengesankan rasa kasihan.
Orang yang mendengarnya menyangka bahwa dia sedang merasa kasihan dengan orang yang ia maksudkan. Padahal sejatinya dia sedang mengumpat saudaranya.
Seperti ucapan,” Saya kasihan sama dia. Sudah miskin, tapi tidak mau ikut gotong royong. Kalau ada pengajian juga nda’ pernah datang.. dst”
Kedelapan, mengumpat saat sedang mengingkari suatu maksiat.
Seperti perkataan seorang ketika melihat anak-anak muda yang sedang main gitar di poskamling,
“Kalian ini masih muda. Gunakanlah waktu kalian untuk hal-hal yang bermanfaat dan produktif. Supaya masa depan kalian lebih cerah, dan kalian bisa memetik buah manisnya nanti di masa tua. Jangan seperti anaknya Pak Lurah itu, kerjaannya hanya main kartu, gitaran, minum-minuman….” atau ucapan yang semisal.
Masyallah, semoga kita terhindar dari mengghibah ini ya. Amin. (Hilal)