linimassa.id – Tahu kukusan? Perabot dapur yang terbuat dari bambu yang dibelah tipis-tipis lalu dianyam sedemikian rupa hingga berbentuk seperti piramida bulat terbalik ini masih bisa ditemukan hingga hari ini.
Sebagian kecil kukusan dibuat lebih pendek jadinya menyerupai sebuah bukit yang terbalik. Anyaman tak dibuat benar-benar rapat, namun menyisakan rongga-rongga kecil dengan tujuan uap panas bisa lewat.
Pada masa lalu, memiliki peran penting bagi masyarakat pedesaan dalam pengolahan makanan yang tiap hari disantap. Dengan perabotan ini di dapur bisa menanak nasi, singkong kukus, tiwul, apem dan aneka makanan kukus lainnya.
Untuk mengukus, kukusan harus berpasangan dengan dandang yang berfungsi sebagai wadah air yang akan dipanaskan. Dandang di bawah, kukusan di atasnya. Dandang yang bagus terbuat dari logam tembaga yang panasnya lebih stabil. Karena berasal dari tembaga/kuningan inilah konon di masa lalu dandang laku digadaikan.
Sekadar informasi, mengukus atau menanak makanan dengan kukusan tak mudah, dan perlu kerja beberapa kali.
Kesulitan dimulai dengan ‘cethik geni’ yang tak selalu jadi sekali sulut. Beras juga mesti ‘diliwet’ dulu setengah matang dengan ‘ketel’ sebelum akhirnya ‘ditumpangke’ ke kukusan.
Api yang terlalu besar atau pengukusan yang terlalu lama berisiko membuat nasi atau makanan lain ‘mblodot’ sehingga kurang enak dimakan. Belum lagi kalau air di dandang sampai ‘asat’ maka akan sangitlah makanan itu.
Kesulitan-kesulitan inilah yang membuat kukusan ditinggalkan para ibu, terlebih ibu-ibu milenial yang anti ribet.
Perkakas elektrik canggih semacam magic com yang menawarkan kecepatan, kemudahan dan keamanan telah menggantikan peran kukusan secara besar-besaran. Alat ini nyaris tak lagi mendapat tempat bahkan di kalangan para orangtua sekalipun.
Dari fenomena ini, perkakas ini bakal menjadi salah satu perkakas memasak warga pedesaan yang paling berpeluang lenyap dari peradaban. Bersama kepang, irik, keranjang bambu, siap menjadi artefak sejarah
Keunggulan
Kukusan bambu punya keunggulan tersendiri yang tak main-main. Memasak nasi putih atau tiwul menggunakan kukusan bambu akan menghasilkan nasi lebih pulen dan mekar.
Menanak nasi menggunakan alat ini pun dinilai lebih sehat. Nasi yang dimasak menggunakan kukusan memiliki kadar gula lebih rendah.
Dikutip dari Jurnal Bidan Komunitas, pengolahan beras menjadi nasi sebelum dikonsumsi dapat memengaruhi karakteristik yang dimasak.
Dari berbagai penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan menemukan bahwa nasi yang dimasak menggunakan kukusan bambu, akan menghilangkan racun kimia yang terkandung dalam pestisida dan pupuk urea sehingga jauh lebih aman dikonsumsi.
Secara nasi yang dimasak menggunakan kukusan bambu lebih rendah kadar gula di dalamnya, ini sangat baik dikonsumsi para penderita diabetes melitus.
Bukan hanya itu, alat ini juga berfungsi sebagai penyaring agar nasi matangnya merata, tidak gosong, dan tidak menjadi intip (kerak). Berbeda dengan memasak nasi yang menggunakan panci, biasanya akan meninggalkan kerak di bawahnya.
Tersisihkan
Meskipun sudah ada sejak zaman dahulu, kukusan bambu menjadi salah satu alat dapur konvensional yang tersisihkan.
Perlengkapan masak yang mirip topi penyihir ini dulunya ditemukan oleh nenek moyang saat melakukan perjalanan melewati hutan rimba.
Agar kebutuhan para pejalan terpenuhi, mereka kerap memanfaatkan kekayaan alam yang ada di sekitarnya, salah satunya pohon bambu.
Melihat banyaknya bambu di sekitar, para pejalan berinisiatif untuk membuat alat masak menggunakan anyaman bambu, yang kini dikenal dengan nama kukusan. Konon, pada zaman dahulu alat ini digunakan untuk mengukus berbagai bahan makanan, seperti singkong, ubi jalar, dan umbi-umbi lainnya.
Selain sarat akan nilai-nilai sejarah, kukusan bambu juga memiliki makna dan filosofi yang cukup mendalam.
Nasi sendiri diibaratkan gejolak jiwa atau perasaan manusia. Jika gejolak jiwa tidak dikontrol akan meluap dan memunculkan sikap berlebihan yang tidak baik.
Rongga-rongga yang ada pada kukusan diasumsikan sebagai penyaring atau filter nafsu manusia. Apabila nafsu ini tidak dikontrol dan dikelola dengan baik, akan menimbulkan angkara murka. Hal ini tentu sesuai dengan ajaran agama mana saja, di mana setiap manusia harus memiliki sikap kontrol diri.
Namun kini masyarakat di pedesaan sudah mulai meninggalkan peralatan dapur tradisional dan menggantinya dengan alat-alat yang modern. Padahal, kukusan bambu merupakan peninggalan nenek moyang yang harus tetap dijaga kelestariannya. (Hilal)