linimassa.id – Saat mendengar kata cuka, yang terlintas di pikiran yakni sebotol cuka yang digunakan untuk membuat acar atau yang selalu ada di meja warung bakso?
Cuka dibutuhkan untuk membuat masakan semakin berasa. Buat penggemar bakso dan makanan kuah lainnya, keberadaan cuka sangat dibutuhkan.
Ini merupakan larutan yang utamanya mengandung campuran 3 asam asetat (CH3COOH) dan air. Asam asetat ini dihasilkan dari fermentasi etanol oleh bakteri asam asetat.[1] Cuka saat ini sering digunakan sebagai bahan tambahan memasak.
Menurut sejarah, ini adalah golongan asam lemah yang paling mudah didapat. Cuka memiliki ragam penggunaan: industri, kedokteran dan kebutuhan sehari-hari, beberapa di antaranya (misalnya penggunaannya sebagai cairan pembersih rumah tangga ) yang masih sering digunakan hingga saat ini.
Asam dari cuka bagaikan kejutan. Dalam dunia pangan, cuka banyak dimanfaatkan sebagai bumbu masakan hingga pengawet makanan.
Jauh sebelumnya, ini diolah menjadi minuman yang dikonsumsi oleh kaum kelas bawah di Yunani. Seiring waktu, budaya konsumsi ini melahirkan beragam produk cuka dan sider yang dijual luas dan diyakini berkhasiat bagi tubuh.
Masam
Jika ditinjau dari pengertian cuka dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, cuka adalah cairan yang masam rasanya, dibuat dari nira dan sebagainya; zat cair yang mengandung 3-6 persen asam asetat, diperoleh pada oksidasi etanol karena tindakan bakteri pada anggur atau bir.
Dalam buku The Story of Food: An Illustrated History of Everything We Eat (2018) disebutkan, kata cuka dikenal dari abad ke-13 melalui deskripsi berbahasa Perancis vinaigre atau anggur asam. Namun, tidak semua cuka berbahan anggur.
Definisi cuka mengacu pada kandungan asam asetat di dalamnya. Dulunya, para prajurit dan kaum kelas bawah di Yunani mengonsumsi cuka dalam bentuk posca atau sejenis minuman dari cuka anggur yang diencerkan dengan air dan diberi tambahan rempah.
Cuka juga digunakan sebagai campuran saus dan acar dengan air garam oleh masyarakat Roma. Cuka yang berasal dari daerah Eropa terbuat dari berbagai jenis buah-buahan, rempah, bunga, dan sereal.
Sementara di daerah Asia Timur dan Asia Tenggara, cuka terbuat dari fermentasi beras. Jika sekarang kita mengenal cuka beras sebagai bumbu masakan, rupanya cuka jenis itu telah dibuat di China sejak sekitar 1200 SM.
Tinggi
Harga cuka jenis tertentu memang cukup tinggi. Tidak perlu kaget, sebab proses pembuatannya pun tidak instan. Bahkan, beberapa cuka membutuhkan durasi fermentasi lebih dari belasan tahun untuk menghasilkan rasa dan aroma yang khas.
Dalam buku itu disebutkan, metode pembuatan cuka anggur pada abad pertengahan di Orléans, Perancis, menggunakan tong kayu ek sebagai wadahnya. Ekstrak anggur dimasukkan ke dalam tong kayu bersama dengan biang cuka (mother) yang mengandung selulosa dan mikroba Acetobacter hasil fermentasi tahapan (batch) sebelumnya. Selanjutnya, tong kayu ditutup rapat dan difermentasi selama beberapa waktu.
Asetat
Asam asetat, asam etanoat atau asam cuka adalah salah satu senyawa organik yang berada dalam golongan asam alkanoat.
Asam asetat pekat (disebut asam asetat glasial) adalah cairan higroskopis tak berwarna, dan memiliki titik beku 16,7°C. Asam asetat adalah komponen utama cuka (3–9%) selain air.
Asam asetat berasa asam dan berbau menyengat. Selain diproduksi untuk cuka konsumsi rumah tangga, asam asetat juga diproduksi sebagai prekursor untuk senyawa lain seperti polivinil asetat dan selulosa asetat. Meskipun digolongkan sebagai asam lemah, asam asetat pekat bersifat korosif dan dapat menyebabkan iritasi pada kulit.
Asam asetat merupakan salah satu asam karboksilat paling sederhana, setelah asam format. Larutan asam asetat dalam air merupakan sebuah asam lemah, artinya hanya terdisosiasi sebagian menjadi ion H+ dan CH–.
Asam asetat merupakan pereaksi kimia dan bahan baku industri yang penting. Asam asetat digunakan dalam produksi polimer seperti polietilena tereftalat, selulosa asetat, dan polivinil asetat, maupun berbagai macam serat dan kain.
Dalam industri makanan, asam asetat, dengan kode aditif makanan E260, digunakan sebagai pengatur keasaman. Di rumah tangga, asam asetat encer juga sering digunakan sebagai pelunak air. Sebagai aditif makanan, asam asetat disetujui penggunaannya di banyak negara, termasuk Kanada, Uni Eropa, Amerika Serikat, Australia dan Selandia Baru.
Dalam setahun, kebutuhan dunia akan asam asetat mencapai 6,5 juta ton per tahun. 1,5 juta ton per tahun diperoleh dari hasil daur ulang, sisanya diperoleh dari industri petrokimia, terutama dengan bahan baku metanol. Cuka adalah asam asetat encer, sering kali diproduksi melalui fermentasi dan oksidasi lanjutan etanol.
Asal Mula
Cuka merupakan jenis asam asetat yang telah dikenal manusia sejak dahulu kala dan pertama kali ditemukan pada 5000 SM saat seorang pelayan istana dari Babilonia menemukan anggur berubah menjadi minuman anggur ketika dibiarkan di ruang terbuka .
Penggunaan cuka dilakukan pertama kali untuk alkimia pada abad ke-3 Sebelum Masehi. Saat itu, Filsuf Yunani Kuno Theophrastus menjelaskan bahwa cuka bereaksi dengan logam-logam dan membentuk berbagai pigmen, misalnya timbal putih (timbal karbonat), dan verdigris, yaitu zat warna hijau yang merupakan campuran garam-garam tembaga, seperti tembaga (II) asetat.
Bangsa Romawi Kuno menghasilkan sapa, sebuah sirup yang sangat manis, dengan mendidihkan anggur yang sudah diasamkan. Sapa yang direbus di sebuah panci berbahan timbal memiliki kandungan timbal(II) asetat yang tinggi. Sapa yang merupakan suatu zat manis disebut juga dengan nama gula timbal atau garam Saturnus. Konsumsi terhadap zat ini menyebabkan keracunan timbal yang terjadi pada kaum bangsawan Romawi Kuno.
Pada tahun 750 M, ilmuwan Persia Jabir ibn Hayyan merupakan ilmuwan pertama yang bisa menghasilkan asam asetat dari proses distilasi pada cuka.
Pada masa renaisans, asam asetat glasial dihasilkan dari distilasi kering tembaga asetat atau logam berat sejenis. Pada abad ke-16 ahli alkimia Jerman Andreas Libavius menjelaskan prosedur tersebut, dan membandingkan asam asetat glasial yang dihasilkan terhadap cuka.
Ternyata asam asetat glasial memiliki banyak perbedaan sifat dengan larutan asam asetat dalam air sehingga kimiawan, seperti Antoine Lavoisier mencoba untuk membedakan kedua zat tersebut, tetapi tidak berhasil. Akhirnya, kimiawan Prancis Pierre Adet membuktikan bahwa kedua zat ini sebenarnya sama dan asam asetat glasial merupakan bentuk monohidrat dari senyawa asam asetat.
Pada 1847, kimiawan Jerman Hermann Kolbe berhasil mensintesis asam asetat dari zat anorganik untuk pertama kalinya. Reaksi kimia yang dilakukan adalah klorinasi karbon disulfida menjadi karbon tetraklorida, diikuti dengan pirolisis menjadi tetrakloroetilena dan klorinasi dalam air menjadi asam trikloroasetat, dan akhirnya reduksi elektrolisis menjadi asam asetat.
Sejak 1910 kebanyakan asam asetat glasial dihasilkan dari cuka kayu yang diperoleh dari distilasi kayu. Cairan ini direaksikan dengan kalsium hidroksida dan menghasilkan kalsium asetat yang kemudian diasamkan dengan asam sulfat untuk menghasilkan asam asetat.
Pada saat itu, Jerman memproduksi 10.000 ton asam asetat glasial, sekitar 30% dari yang digunakan untuk produksi zat warna indigo.
Karena metanol dan karbon monoksida merupakan bahan baku yang diperdagangkan secara umum, teknik karbonilasi metanol cukup lama menjadi prekursor yang menarik untuk memproduksi asam asetat. Pada awal tahun 1925, Henry Dreyfus mengembangkan rencara pabrik rintisan menggunakan teknik karbonilasi metanol di perusahaan British Celanese.
Namun, kurangnya bahan logam yang berfungsi sebagai wadah campuran reaksi korosif ini menyebabkan komersialisasi teknik produksi proses ini tertunda.
Proses karbonilasi metanol komersial pertama, menggunakan kobalt sebagai katalis. Teknik ini dikembangkan oleh perusahaan kimia Jerman BASF, pada tahun 1963. Pada tahun 1968, katalis berbasis rodium (cis−[Rh(CO)2I2]−) ditemukan yang dapat beroperasi secara efisien pada tekanan rendah dengan hampir tanpa produk sampingan.
Perusahaan kimia Amerika Serikat Monsanto Company membangun pabrik pertamanya menggunakan katalis ini pada tahun 1970, dan karbonilasi metanol dengan katalis rodium menjadi metode dominan pada produksi asam asetat (lihat proses Monsanto).
Pada tahun 1990-an, perusahaan kimia BP Chemicals mengembangkan teknik menggunakan katalisator ([Ir(CO)2I2]−) yang mengandung iridium sebagai promotor. Teknik ini diberi nama Cativa , untuk efisiensi yang lebih besar dan mengomersialkannya pada tahun 1995.
Proses Cativa berkatalis iridium dinilai lebih ramah lingkungan dan lebih efisien sehingga menggantikan proses Monsato. (Hilal)