linimassa.id – Sebelum ada GPS dan Google map juga perangkat penunjuk arah digital, peta sangat dibutuhkan untuk mengarahkan tujuan yang benar.
Ternyata Muhammad al-Idrisi adalah pembuat peta dunia pertama yang begitu informatif yang sudah selesai dikerjakan pada 1154.
Muhammad al-Idrisi, salah satu ilmuwan besar dalam sejarah. Ahli kartografi itu dikenang sebagai “Bapak Peta Global”. Dialah yang pertama kali merancang peta dunia yang detail dan akurat.
Orang-orang Eropa barat menyebutnya Edrisi atau Dreses. Muhammad al-Idrisi as-Sabtah asy-Syarif ash-Shaqli lahir pada 1100 M di Ceuta atau Sabtah, kawasan pesisir Maghribiyah, Afrika utara. Kota yang hanya berjarak 40 km dari bibir pantai Spanyol tersebut waktu itu dipimpin oleh Murabithun.
Muhammad Gharib Jaudah dalam 147 Ilmuwan Terkemuka Dalam Sejarah Islam menjelaskan, al-Idrisi berasal dari keluarga Idrisiyah, yang termasuk kelompok al-Alawiyah. Karena itu, dirinya bergelar asy-Syarif. Garis nasabnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW melalui Hasan bin Ali bin Abi Thalib.
Ia juga bertitel ash-Shaqli lantaran cukup lama menetap di Pulau Sisilia (Shiqiliyyah). Pada 1154 M, kartografer Muslim tersebut berhasil membuat peta dunia yang terlengkap pada masanya. Hasil kerja kerasnya selama 15 tahun itu diberi judul “Nuzhat al-Musytaq fii Ikhtiraq al-Afaq,” ‘gejolak kerinduan untuk menembus batas cakrawala.’
Namun, masyarakat Barat lebih mengenalnya sebagai “Tabula Rogerania” atau ‘Peta Roger.’ Sebab, pembuatan karya itu disponsori raja Sisilia, Roger II.
Jaudah menuturkan, al-Idrisi memulai pendidikan dasarnya di Sabtah, sebelum hijrah ke Fas. Saat berusia remaja, ia menyeberangi Selat Jabal Thariq hingga sampai di Kordoba. Selama beberapa tahun, ia tinggal di kota yang pernah menjadi pusat pemerintahan Bani Umayyah tersebut.
Walaupun kekuasaan Umayyah telah tergantikan berturut-turut oleh eksistensi taifa (negara-kota) dan Murabithun, Kordoba tetaplah memesona. Inilah salah satu mercusuar peradaban yang harum namanya bukan hanya di Iberia, melainkan juga seluruh Eropa. Ada banyak majelis ilmu dan sekolah tinggi di sana yang menjadi pusat kegiatan intelektual dengan beragam spesialisasi.
Merantau
Republika menyebut, selama merantau di Kordoba, al-Idrisi mempelajari matematika dan ilmu astronomi.
Jaudah mengatakan, selama merantau di Kordoba, al-Idrisi mempelajari matematika dan ilmu astronomi. Perhatiannya juga tercurah pada kajian ilmu botani, farmasi, biologi, dan kedokteran. Bagaimanapun, dirinya kemudian memilih tekun pada bidang geografi.
Waktunya juga digunakan untuk banyak membaca. Beruntunglah dirinya berada di Andalusia, khususnya kota permata seperti Kordoba. Ada banyak perpustakaan umum di sana dengan koleksi ribuan buku. Penguasa Muslim setempat menyediakan seluruh fasilitas publik itu secara cuma-cuma.
Dari beragam buku yang dibacanya, beberapa judul berkaitan dengan studi ilmu bumi. Sebut saja, karya-karya al-Mas’udi, sang pengelana, ahli sejarah dan geografi sekaligus dari Daulah Abbasiyah abad kesembilan.
Berhasil
Peta yang dibuat al-Mas’udi berhasil menggambarkan garis pantai di tiga benua, yaitu Asia, Eropa, dan Afrika. Saintis kelahiran Baghdad itu juga menyajikan skala pemetaan yang lebih proporsional ketimbang peta-peta sebelumnya yang dihasilkan kartografer Eropa.
Dalam petanya tampak sehamparan daratan yang terletak di seberang Afrika, yang besarnya nyaris sama dengan Benua Hitam itu. Para sejarawan modern menduga, gambar tersebut menunjukkan bagian bumi yang kini dinamakan Benua Amerika.
Dalam petanya tampak sehamparan daratan yang terletak di seberang Afrika, yang besarnya nyaris sama dengan Benua Hitam itu.
Al-Idrisi juga menelaah karya-karya Muhammad Abul Qasim bin Hauqal. Petualang yang lahir di Daulah Abbasiyah pada abad ke-10 itu selalu mencatat keadaan geografis tempat-tempat yang dikunjunginya.
Berbagai catatan yang dibuat sang pengelana, khususnya yang terhimpun dalam kitab Shurah al-‘Ard, ‘Wajah Bumi’, amat berfaedah bagi generasi berikutnya. Tidak terkecuali, pemuda yang sedang meniti kariernya dalam bidang kartografi ini.
Tentunya, perpustakaan-perpustakaan di Kordoba juga menyimpan manuskrip dari kebudayaan pra-Islam, semisal Yunani dan Romawi Kuno. Misalnya, naskah-naskah yang merekam buah pemikiran Klaudius Ptolemaeus. Ahli ilmu bumi dari Yunani itu hidup pada abad kedua Masehi. Risalahnya yang terkenal, Geographia, menjadi bahan kajian yang amat menarik bagi kaum terpelajar di Andalusia saat itu.
Tidak cukup dengan membaca buku-buku, al-Idrisi juga melakukan perjalanan ke berbagai negeri. Kawasan pertama yang dijelajahinya adalah daerah pesisir Mediterania di Eropa, termasuk Portugal, Prancis, Italia, dan Sisilia. Menurut Jaudah, rihlah yang dilakukan orang Ceuta itu telah memberikan pelbagai informasi faktual dan ilmiah mengenai wilayah-wilayah yang disambanginya.
Langkah kakinya juga sampai di Maroko, berdekatan dengan daerah tempatnya lahir. Selanjutnya, ia menuju ke Mesir, Syam, dan Konstantinopel.
Di ibu kota Romawi Timur atau Bizantium tersebut, dirinya mencatat banyak hal mengenai riset yang dilakukan Ptolemaeus. Beberapa sumber menyebutkan, sarjana Muslim itu bepergian hingga sejauh Hongaria dan Inggris.
Peta dunia karya al-Idrisi sudah selesai dikerjakan pada 1154. Ditulis dalam dwibahasa, yakni Arab dan Latin, peta berjudul “Nuzhat al-Musytaq fii Ikhtiraq al-Afaq” itu nyaris tidak berbeda dengan peta yang dibuat pada era modern kini. Jelas sekali bahwa al-Idrisi memproyeksikan bumi sebagai sebuah bola—bukan bidang datar. Dalam perhitungannya, keliling bumi adalah 37 ribu km; tidak jauh meleset dari kalkulasi modern, yakni sekira 40 ribu km.
Mengikuti tradisi kartografi dari zaman Yunani klasik, al-Idrisi membagi peta dunia menjadi tujuh zona iklim. Dibandingkan dengan peta-peta yang dibuat sebelumnya, karya sang saintis Muslim terbilang unggul karena sangat informatif.
Ia tidak hanya menyajikan gambar muka bumi, yang terdiri atas tujuh benua dan tujuh samudra. Di petanya itu, ia juga menunjukkan rute-rute perdagangan, nama-nama danau, sungai, kota-kota besar, lautan, daratan, dan gunung. Itu semua disertai dengan keterangan atau data tentang jarak dan tinggi suatu tempat.
Gambaran umum wilayah, daftar kota-kota utama, laporan lengkap dari setiap kota, dan jarak antarkota—itu semua tak ketinggalan disampaikannya. Umpamanya, keterangan perihal perjalanan dari Fas menuju Ceuta di Maghribiyah. Rihlah itu, tulis al-Idrisi, membutuhkan waktu tujuh hari perjalanan.
Agak berbeda dengan peta modern, sisi atas peta al-Idrisi adalah belahan selatan. Adapun belahan utara diletakkannya di sisi bawah peta. Ini berkaitan dengan cara pandang atau perspektif yang digunakannya, yakni dari titik Andalusia.
Sayangnya, “Nuzhat al-Musytaq” atau “Tabula Rogerania” tidak seluruhnya selamat sampai ke masa modern. Sebagian besar karya al-Idrisi yang tak ternilai itu turut rusak dalam peristiwa kerusuhan di Sisilia pada 1160 M. Alhasil, pemahaman orang saat ini tentang legasi sang kartografer didasarkan pada versi singkat yang dinukil dari buku kedua yang ditulisnya untuk putra Roger II, William II. (Hilal)