LINIMASSA.ID – Belakangan ini, warganet kembali ramai membahas film How to Train Your Dragon.
Banyak yang menyangka ini adalah film baru, padahal sebagian besar dari kita sudah akrab dengan kisah ini sejak lebih dari satu dekade lalu.
Bagi generasi yang tumbuh bersama film How to Train Your Dragon animasi ini, kabar tersebut bukan hanya soal film baru tetapi juga tentang nostalgia yang dibungkus ulang dalam kemasan yang lebih nyata.
Cerita ini diadaptasi secara longgar dari buku anak-anak karya Cressida Cowell, dengan mengambil latar dunia bangsa Viking yang hidup berdampingan dan kadang bermusuhan dengan naga.
Film How to Train Your Dragon merupakan kisah fantasi yang pertama kali hadir dalam bentuk film animasi pada tahun 2010, diproduksi oleh DreamWorks Animation.
Tokoh utamanya adalah Hiccup, seorang remaja canggung dan tidak terlalu kuat secara fisik, yang merasa dirinya tidak cocok dengan budaya bertarung bangsanya.
Namun hidupnya berubah saat ia bertemu seekor naga Night Fury yang terluka, yang kemudian ia beri nama Toothless.
Alih-alih membunuh naga seperti yang diharapkan dari seorang Viking sejati, Hiccup justru menjalin persahabatan yang mengubah pandangan seluruh kaumnya terhadap naga.
Keunggulan Film How to Train Your Dragon

Film How to Train Your Dragon ini dipuji karena narasinya yang kuat, pengembangan karakter yang emosional, serta visualisasi yang menawan terutama dalam adegan-adegan terbang yang sinematik.
Bukan hanya sekadar tontonan anak-anak, film How to Train Your Dragon menyisipkan pesan tentang empati, keberanian, dan pentingnya menjadi diri sendiri di tengah tekanan tradisi.
Kesuksesan Film How to Train Your Dragon ini melahirkan dua sekuel dan beberapa serial pendek yang juga mendapat sambutan positif.
Kini, kabarnya, film ini akan di-remake dalam bentuk live-action, yang rencananya dirilis tahun 2025 oleh Universal Pictures, dengan sutradara aslinya Dean DeBlois kembali mengarahkan.
Film How to Train Your Dragon film yang menggambarkan sebuah cerita bisa bertahan lintas generasi dan terus menemukan bentuk baru untuk dicintai kembali.
Ketika kabar tentang versi live-action mulai mencuat, reaksi penggemar pun beragam. Sebagian antusias membayangkan dunia Berk yang realistis, namun tak sedikit pula yang was-was.
Apakah keajaiban visual dan emosi dalam versi animasinya bisa benar-benar diterjemahkan ke dunia nyata? Tantangan live-action bukan hanya soal teknologi CGI yang mumpuni, tapi juga menjaga jiwa cerita agar tetap terasa tulus dan menginspirasi, bukan hanya sekadar visual megah tanpa rasa.
Namun yang menarik, proyek Film How to Train Your Dragon ini kembali digarap oleh Dean DeBlois, sang sutradara yang juga membangun trilogi animasinya.
Ini memberi harapan bahwa versi live-action bukan sekadar proyek komersial, melainkan bentuk cinta dari penciptanya sendiri untuk menyajikan ulang kisah Hiccup dan Toothless bagi generasi baru.
Bukan tidak mungkin, kehadiran remake ini justru akan memperkenalkan makna persahabatan, keberanian, dan pengampunan kepada penonton muda yang belum sempat menyaksikan keajaiban versi aslinya.