linimassa.id – Kalian punya gak temen yang sudah lulus kuliah dari empat tahun lalu tapi sampai sekarang masih kesulitan mencari pekerjaan? Well, jangankan ngomongin temen, mungkin beberapa dari kita juga ngalamin hal yang sama ya? Dan yess, belakangan ini topik tentang sulitnya nyari kerja emang semakin sering diomongin.
Masalah ini bahkan sampai disuarakan oleh Menaker Ida Fauziyah. Pada Bulan Februari 2023, ia mengungkapkan bahwa di tahun 2022 jumlah pengangguran lulusan sarjana dan diploma masih di angka 12 persen, dan masalah besarnya adalah persoalan link-and-match.
Buat kalian yang belum familiar, istilah link-and-match menggambarkan penyesuaian antara lulusan lembaga pendidikan dan kebutuhan industri. Hal ini menarik mengingat Presiden Jokowi sebenernya udah memperhatikan masalah ini sejak lama.
Pada Bulan Mei 2019, Jokowi menyebutkan link-and-match antara industri dan pendidikan sangat diperlukan. Penunjukan Nadiem Makarim sebagai Mendikbudristek bahkan disebut-sebut demi menjawab permasalahan itu.
Namun, kenapa ya persoalan link-and-match itu masih ada hingga sekarang? Dan seberapa besar sebetulnya angka pengangguran kita? Well, get your coffee and let’s get it started Survei Sakernas yang dirilis BPS, per Agustus 2022 menunjukkan jumlah pengangguran terbuka berjumlah 8,4 juta jiwa.
Hampir satu juta di antaranya merupakan lulusan sekolah tinggi. Dari angka itu Sebanyak 673,49 ribu merupakan lulusan universitas dan sebanyak 159,49 ribu merupakan lulusan akademi atau diploma. Angka-angka ini hanyalah puncak gunung es, karena di sisi lain ada juga masalah timpangnya jumlah kelulusan dengan lowongan kerja yang tersedia.
Pada 2022, misalnya, data dari Kemendikbudristek menunjukkan jumlah mahasiswa yang lulus sebanyak 1,85 juta. Sementara jumlah lowongan kerja hanya 59.276. Jumlah itu merosot drastis dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 507.799 lowongan. Sekalipun jumlahnya tidak berkurang alias tetap 500 ribu lowongan, terdapat 1,3 juta mahasiswa yang tidak mendapatkan pekerjaan alias menganggur.
Itu pun harus bersaing dengan mereka yang lulus pada tahun-tahun sebelumnya dan mereka yang sudah memiliki pengalaman kerja. Dan kalau kita tarik, masalah ini muncul karena tidak adanya link-and-match tadi. Konsep link-and-match sebenarnya bukan sesuatu yang baru.
Ketika zaman Orde Baru, Mendikbud Wardiman Djojonegoro, sudah lebih dulu mempopulerkan istilah ini. Nah, dengan fakta link-and-match yang sudah diusahakan sejak pemerintahan Soeharto, ini menunjukkan bahwa sepertinya terdapat ganjalan besar yang membuat sistem ini tidak berjalan.
Mungkin, alasan utamanya adalah kampus dan industri memang sulit untuk bekerja sama. David Casado Lopez dan Johannes Fussenegger dalam penelitian Challenges in University- Industry Collaborations, menyebutkan setidaknya ada tiga alasan kenapa perguruan tinggi dan industri pekerjaan sulit bersinergi.
Pertama, soal perbedaan tujuan. Industri memiliki satu tujuan sederhana, yakni mencari profit atau keuntungan. Industri menilai penting teori dari sejauh mana kemampuannya untuk diterapkan dan menghasilkan keuntungan.
Sementara, kampus memiliki idealisme sebagai tempat belajar. Tidak banyak mata kuliah di kampus yang mengajarkan bagaimana mendapatkan uang. Alasan kedua, penelitian yang dibuat industri memiliki tujuan komersial dan sangat ketat menjaga kerahasiaan kajiannya.
Sementara, kampus ingin penelitiannya disebarkan seluas mungkin. Kampus juga cenderung anti terhadap tujuan-tujuan komersial. Dan alasan ketiga, karena memiliki orientasi profit jangka pendek, industri ingin penelitian dilakukan dalam waktu cepat.
Sementara, kampus melakukan penelitian dalam jangka waktu yang lama karena mengejar kedalaman dan ketepatan analisis. Perbedaan-perbedaan ini jelas menciptakan pola pikir dan paradigma yang sangat berbeda. Masing-masing pihak merasa tujuannya lah yang paling penting dan pada akhirnya mendorong mereka merasa lebih baik dari satu sama lain.
Singkatnya, kampus dan industri kerap kali terjebak sikap inklusif satu sama lain. Keduanya memiliki ego sektoral masing-masing. Ibarat mencari pasangan di aplikasi kencan, kita baru bisa berkomunikasi alias match apabila kedua belah pihak menggeser ke kanan atau menyukai satu sama lain.
Kalau tidak menemukan kesukaan satu sama lain, tentu kita gak akan match. Nah, kalau secara alamiah link-and-match memang gak akan berfungsi baik, lantas apakah kita bisa menyalahkan Presiden Jokowi atas tingginya pengangguran, khususnya dari lulusan perguruan tinggi? Well, jawabannya jelas tidak.
Kalau pemerintah memang benar-benar ‘ niat menyelesaikan persoalan ini, Presiden Jokowi sebenarnya dapat menggunakan “kekuatan negara” untuk memaksakan link-and-match agar terwujud. Dan tidak ada kekuatan negara yang lebih kuat dari hukum. Pakar hukum Roscoe Pound menyebutkan bahwa hukum pada dasarnya adalah tool of social engineering atau alat untuk membentuk perilaku masyarakat.
Kalau persoalan pengangguran dan link-and-match adalah masalah yang begitu besar, maka seharusnya Jokowi menerbitkan aturan hukum yang sesuai. Oleh karena itu, untuk dapat mengeksekusi link-and-match, salah satu langkah yang dilakukan Jokowi misalnya adalah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu. Ini juga sesuai dengan syarat dikeluarkannya Perppu, yakni adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat ketika aturan yang ada kurang memadai.
Dengan mengeluarkan Perppu, pemerintah bisa memanggil kampus dan industri untuk duduk bersama. Lalu, membuat berbagai aturan seperti industri harus membuka program magang sebesar 10 persen dari total pekerja. Kemudian, kampus juga diwajibkan untuk mengirim setiap mahasiswa untuk magang di industri.
Jika mahasiswa dinilai menjalankan program magang dengan baik, pemerintah dapat memaksa industri untuk merekrut mereka setelah lulus. Ini sekiranya jauh lebih efektif daripada program Prakerja yang saat ini tidak jelas hasilnya.
Pemerintah kemudian harus melakukan monitoring ketat setelah kampus dan industri dipaksa menyepakati perjanjian atau aturan hukum tertentu Nantinya, harus terdapat skema sanksi tegas apabila kampus atau industri tidak mematuhi atau menjalankannya.
Namun, sampai saat ini hal-hal seperti di atas belum diberlakukan. Kita pun perlu bertanya kembali, bukankah masalah pengangguran adalah sesuatu yang sangat mendesak? Pada akhirnya ini menjadi catatan bagi kita semua. (AR)