linimassa.id – Sarung menjadi identitas muslim Indonesia. Selain digunakan sebagai pelengkap ibadah, sarung menjadi fashion muslim tersendiri.
Namun ternyata sarung yang selama ini menjadi warisan budaya bukan berasal dari Indonesia loh, Untuk pertama kalinya, sarung mulai dibawa dan diperkenalkan oleh para gujarat dari Arab dan India yang singgah di Indonesia.
Asal tahu, sarung pertama kali muncul di Indonesia pada abad ke-14. Saat itu, sarung merupakan pakaian yang dikenakan oleh saudagar laki-laki dari Arab dan India yang singgah di Indonesia.
Bentuknya yang simpel dan fleksibel untuk dikenakan, membuat kalangan pria pribumi menjadi tertarik untuk memakai sarung. Dari sinilah, sarung mulai diminati banyak orang mulai dari orangtua hingga anak-anak.
Perkembangan sarung di Indonesia justru begitu pesat, bahkan saat ini semakin banyak bermunculan motif sarung yang unik dari berbagai merek legendaris di antaranya seperti Atlas, Wadimor, BHS, hingga Mangga Dua. Menariknya lagi, kini kain sarung nggak hanya bisa dipakai untuk kalangan pria saja, tetapi juga mulai dilirik oleh para wanita.
Berbekal dari kemajuan dunia fashion, beberapa wanita urban telah mencoba berinovasi dengan kain sarung yang dijadikannya sebagai item fashion masa kini yang justru membuat penampilan mereka terlihat lebih eye catching dan anti mainstream.
Di sisi lain, saat menjelang Hari Raya tiba, kain yang menjadi ciri khas umat Islam di Tanah Air ini semakin banyak diburu untuk dipakai sebagai outfit Lebaran.
Menurut catatan sejarahnya, sarung merupakan pakaian khas Suku Badui yang tinggal di Yaman. Dulunya, sarung hanya sebuah potongan kain polos yang kemudian dicelupkan ke dalam bahan pewarna. Namun di Negeri Yaman, sarung lebih dikenal dengan sebutan nama futah. Ada beberapa variasi motif sarung dari Yaman yaitu meliputi al-kada, annaqshah, dan assafi.
Keturunan orang Arab di Yaman menganggap, sarung bukanlah pakaian resmi yang bisa digunakan untuk beribadah atau menghadiri sebuah acara keagamaan, melainkan lebih cocok dipakai sebagai baju tidur.
Seiring perkembangan zaman, keberadaan kain sarung mulai menyebar luas hingga menjangkau ke seluruh negara di dunia termasuk Indonesia.
Di Indonesia, sarung mulai diperkenalkan secara turun temurun dari nenek moyang, hingga melekat sebagai warisan kebudayaan Islam dunia yang kaya akan filosofi. Masuknya sarung ke wilayah Tanah Air, berhubungan saat Indonesia sedang berada dalam masa penjajahan Belanda.
Pada akhirnya, sarung dijadikan sebagai simbol perjuangan untuk melawan style fashion budaya barat.
Menariknya, kehadiran sarung di Indonesia justru mendapat keistimewaan, kain tersebut memiliki nilai kesopanan yang tinggi. Itulah sebabnya, sarung mulai digunakan untuk outfit beribadah yang dipadukan dengan baju koko dan peci. Namun baru-baru ini, sarung diinovasikan sebagai item fashion yang bisa dipadukan dengan outfit lain hingga menciptakan look yang fashionable.
Sepanjang banyak tempat di Asia Tenggara, terutamanya di Indonesia dan Malaysia, teknik pewarnaan kuno yang dikenal sebagai batik digunakan untuk menghasilkan warna dan pola yang khas pada kain dari tiap sarung. Potongan kain dengan bentuk seperti ini sering kali dipakai baik lelaki maupun wanita di Asia, Semenanjung Arab, dan tanduk Afrika.
Sarung adalah pakaian dari komunitas pelaut di Semenanjung Malaysia, Sumatra dan Jawa; Menurut Gittinger, sarung lalu diperkenalkan di pulau Madura dan sepanjang pantai utara Jawa. Di Malaysia, masyarakat biasanya memanggil Sarung dengan nama Kain Pelikat.
Sarung juga dikenal dengan nama izaar, wazaar atau ma’awis. Penggunaan sarung telah meluas, tak hanya di Sumatra, Jawa dan Semenanjung Malaya, namun juga mencapai Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika, Arab hingga Amerika dan Eropa.
Sarung untuk pakaian daerah dapat pula dibuat dari bahan tenun ikat, songket, serta tapis. Masing-masing jenis bahan sarung tersebut berasal dari daerah yang berbeda di Indonesia. Sarung dari NTT, NTB, Sulawesi, dan Bali menggunakan bahan yang terbuat dari tenun, sedangkan songket, sangat identik dengan ciri khas adat Minangkabau dan Palembang. Sementara tapis adalah kain khas yang berasal dari Lampung.
Sarung yang terbuat dari tenun menggunakan motif yang sederhana, cenderung lebih bermain warna, dibanding motif yang ‘ramai’. Sedangkan tapis dan songket, sekilas akan terlihat sama. Motif tapis memiliki unsur alam seperti flora dan fauna, sedangkan motif songket, terlihat lebih meriah dengan motif yang mengisi seluruh isi bahan. Persamaan keduanya adalah terbuat dari benang emas dan perak.
Motif kain sarung yang umum adalah garis-garis yang saling melintang (kotak-kotak). Nilai filosofisnya adalah setiap melangkah baik ke kanan, kiri, atas ataupun bawah, akan ada konsekuensinya. Hal ini juga serupa pada gradasi bermotif papan catur seperti sarung bali. Saat kita berada di titik putih, melangkah ke manapun, perbedaan menghadang. (Hilal)