linimassa.id – Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat (AS) baru-baru ini menyetujui rancangan undang-undang bipartisan yang memaksa TikTok memutuskan hubungan mereka dengan Partai Komunis Tiongkok. RUU ini mendapat dukungan dari Partai Demokrat maupun Partai Republik.
Steve Scalise dari Partai Republik menegaskan pentingnya RUU ini dalam keterangan resminya: “DPR baru saja mengesahkan rancangan undang-undang bipartisan yang memaksa TikTok memutuskan hubungan mereka dengan Partai Komunis Tiongkok. Ini adalah masalah keamanan nasional yang penting. Senat harus mengambil tindakan ini dan mengesahkannya.”
Respon CEO TikTok
CEO TikTok, Shou Zi Chew, menyampaikan kekecewaannya terhadap anggota DPR AS yang percaya penyimpanan data platform media sosial itu tidak aman. Dia memastikan bahwa data pengguna TikTok AS terjaga dengan aman, tanpa intervensi dari pemerintah China. Shou mengungkapkan hal ini melalui video yang diunggah di akun TikTokPolicy pada Kamis (14/3/2024).
Dampak Pelarangan TikTok
Shou Chew menyebut larangan TikTok akan merugikan banyak pihak, termasuk pengguna biasa dan para pebisnis. Ia memperkirakan lebih dari 300.000 orang AS akan terdampak kebijakan pelarangan TikTok karena tidak dapat lagi meraih keuntungan dari platform tersebut.
Respons Kementerian Luar Negeri China
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Wang Wenbin, menanggapi rencana DPR AS dengan keras. Wenbin menyebutnya sebagai tindakan sepihak yang akan mengganggu tatanan perdagangan internasional dan pada akhirnya akan menjadi bumerang bagi AS sendiri.
Perdebatan antara AS dan China
Konfrontasi antara AS dan China di bidang teknologi canggih dan keamanan data semakin sengit. AS telah membatasi ekspor teknologi canggih dan arus keluar uang ke China, sementara China juga melancarkan langkah-langkah pembalasan.
Dalam konteks ini, ByteDance, perusahaan induk TikTok, telah menyatakan bahwa TikTok tidak dimiliki atau dikendalikan oleh pemerintah China, dan tidak akan membagikan data pengguna AS kepada pemerintah China.
RUU pemblokiran TikTok merupakan salah satu upaya AS dalam merespon kekhawatiran keamanan nasional terhadap China, namun langkah ini juga menimbulkan perdebatan mengenai dampaknya terhadap privasi pengguna dan hubungan perdagangan internasional.