linimassa.id – Indonesia dikenal memiliki berbagai bahasa dan adat istiadat. Namun jangan bahagia terlebih dahulu, faktanya adalah data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mencatat sebanyak 11 bahasa daerah di Indonesia telah punah.
Dari 11 bahasa ini, Provinsi Maluku menjadi daerah yang paling banyak kehilangan bahasa daerah yakni sebanyak delapan bahasa. Tiga bahasa lainnya berasal dari Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua.
Bahasa daerah yang punah ini antara lain Bahasa Tandia dari Papua Barat, Bahasa Mawes dari Papua, dan Bahasa Ternateno dari Maluku Utara.
Bahasa lainnya yang punah adalah Bahasa Kajeli/Kayeli, Bahasa Piru, Bahasa Moksela (Monks Ela), Bahasa Palumata, Bahasa Hukumina, Bahasa Hoti, Bahasa Serua, dan Bahasa Nila dari Maluku.
Penyebab kepunahan 11 bahasa daerah itu berbeda-beda. Kepala Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbudristek, M Abdul Khak menyebut, secara umum disebabkan oleh globalisasi yang mengarah ke monolingualisme, kawin silang atau campur antaretnis, migrasi dan mobilitas tinggi, serta sikap bahasa penutur jati.
Selama ini, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek mengategorikan status bahasa daerah di Indonesia menjadi kategori aman, stabil tetapi terancam punah, mengalami kemunduran, terancam punah, kritis, dan punah.
Kategori status aman disematkan pada bahasa daerah yang masih dipakai oleh semua anak dan semua orang dalam etnik tersebut. Ada 25 bahasa daerah yang masuk dalam status aman.
Sedangkan status stabil tetapi terancam punah artinya anak-anak dan kaum tua menggunakan bahasa daerah tetapi jumlah penutur sedikit. Ada 19 bahasa daerah yang masuk dalam status ini.
Sementara status mengalami kemunduran yakni sebagian penutur anak-anak, kaum tua, dan sebagian penutur anak-anak lain tak menggunakan bahasa daerah. Ada tiga bahasa daerah yang masuk dalam status ini.
Pada status terancam punah yakni semua penutur 20 tahun ke atas dan jumlahnya sedikit, sementara generasi tua tidak berbicara kepada anak-anak atau di antara mereka sendiri. Ada 25 bahasa daerah yang masuk dalam status ini.
Pada status kritis, penutur bahasa daerah berusia 40 tahun ke atas dan jumlahnya sangat sedikit. Ada enam bahasa daerah yang masuk dalam status kritis.
Untuk status punah, tidak ada lagi penutur bahasa daerah. Ada 11 bahasa daerah yang masuk dalam status punah.
Kemendikbudristek juga menyatakan, setidaknya lima bahasa daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) masuk dalam program revitalisasi bahasa daerah di 2022. Lima bahasa ibu tersebut yakni bahasa Dawan, bahasa Manggarai, bahasa Kambera, bahasa Rote, dan bahasa Abui.
Saat ini, NTT merupakan provinsi ketiga di Indonesia dengan jumlah bahasa daerah terbanyak. Dari 718 bahasa daerah di Indonesia, 72 di antaranya berasal dari NTT.
Sementara menurut data yang disampaikan oleh jurnal masyarakat dan budaya sebagaimana dikutip dari Etnolog Lenguages of The World 2005, Indonesia memiliki kekayaan 742 bahasa daerah.
Dari jumlah tersebut sebagian sudah mengalami kepunahan seiring makin minimnya penutur.
Bahkan 11 bahasa daerah di Indonesia yang telah punah berdasarkan catatan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau Kemendikbud sejak 2017. (Hilal)