linimassa.id – Pernah menjadi benda penting dalam berkirim surat atau mengirim paket dan dokumen, prangko pernah menjadi primadona pada masanya. Laman Kominfo.go.id menyebut, prangko bukan saja sebagai alat bukti pembayaran pengiriman jasa-jasa pos, tetapi juga dapat digunakan untuk sarana pendidikan generasi penerus bangsa.
Melalui prangko, dapat mempelajari kebudayaan suatu bangsa, sejarah dunia, perkembangan cara orang saling berkomunikasi, dan sejarah teknologi percetakan.
“Karena pada umumnya dari nilai sejarah, flora, fauna, kebudayaan, sumber daya alam, dan para tokoh pahlawan, keindahan alam tanah air ditampilkan dalam prangko-prangko yang diterbitkan, sehingga dapat menjadi sarana pendidikan bagi generasi penerus,” kata Menkominfo Tifatul Sembiring pada Acara World Stamp Championship 2012, di Jakarta beberapa waktu lalu.
Ini alasan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) akan terus membuat prangko sebagai sarana pendidikan untuk mencerdaskan generasi penerus bangsa.
Begitu besarnya manfaat yang didapatkan melalui prangko itu, membuat pemerintah menempatkannya didalam undang-undang (UU) tentang pos yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada 2009.
Ini merupakan satu-satunya di dunia yang memasukkan hal tersebut didalam sistem perundangan,
Dalam 10 tahun terakhir, banyak masyarakat yang tertarik untuk mengoleksi perangko-perangko tersebut, mulai dari yang berusia puluhan tahun hingga ratusan tahun yang melekat dengan nilai sejarah sehingga mempunyai harga mahal.
Asal Usul
Kata prangko berasal dari bahasa Belanda: franco, berarti dengan ongkos kirim yang dibayar oleh pengirim. Ini adalah label atau carik, atau teraan di atas kertas dengan bentuk dan ukuran tertentu, baik bergambar maupun tidak bergambar, yang memuat nama negara penerbit atau tanda gambar yang merupakan ciri khas negara penerbit, dan mempunyai nilai nominal tertentu berupa angka dan/atau huruf.
Prangko ditempelkan pada amplop, kartu pos, atau benda pos lainnya sebelum dikirim. Pembayaran menggunakan prangko menjadi cara pembayaran yang paling populer dibanding cara lain, seperti menggunakan aerogram.
Prangko pertama kali diperkenalkan pada 1 Mei 1840 di Britania Raya sebagai reformasi pos oleh Rowland Hill. Oleh karena itu sampai sekarang Britania Raya mendapat perlakuan khusus. Negara ini adalah satu-satunya negara yang tidak perlu mencantumkan nama negara di atas prangko.
Prangko pada hakekatnya adalah secarik kertas bergambar yang diterbitkan oleh pemerintah yang pada bagian belakang umumnya memuat perekat, sedangkan pada bagian depannya memuat suatu harga tertentu yang dimaksudkan untuk direkatkan pada kiriman pos.
Dengan menempelkan prangko pada sepucuk surat berarti biaya pengiriman surat tersebut telah dilunasi oleh pengirim surat, dan sebagai imbalannya pos berkewajiban menyampaikan surat tersebut kepada alamatnya di tempat tujuan.
Kegiatan surat-menyurat dan sistem perposan sebenarnya sudah dikenal manusia sebelum dikenalnya prangko. Dan setiap pemerintahan membangun sarana dan prasarana untuk menunjang kegiatan sistem perposan. Sebagai contoh, Jalan Raya Anyer-Panarukan yang dibangun oleh gubernur jenderal Hindia Belanda (Herman Willem Daendels), dikenal dengan nama Jalan Pos Raya.
Prangko dipergunakan pertama kali oleh Sir Rowland Hill, di Inggris pada 6 Mei 1840, dan merupakan prangko pertama yang resmi di dunia. Sebelumnya pada 1837, ia mengajukan proposal dalam bentuk pamflet dengan judul “Post Office Reform its Importance and Practibility”.
Perkumpulan bagi para pengumpul prangko di Indonesia muncul pada 29 Maret 1922. Sampai dengan kini (25/5/2016) bernama Perkumpulan Filatelis Indonesia.
Pada 1 September 2012 satu lagi perkumpulan Filatelis di Indonesia dengan nama Komunitas Kolektor Prangko Indonesia (KKPI) hadir.
Pada mulanya prangko-prangko diterbitkan dalam bentuk persegi panjang sesuai dengan bingkai potret raja (yang dijadikan gambar prangko) dari negara penerbitnya. Kemudian digunakan bentuk persegi panjang mendatar yang lebih serasi untuk prangko-prangko peringatan.
Beberapa bentuk prangko di antaranya ialah bentuk bujur sangkar yang pertama kali dipergunakan oleh Bavaria pada tahun 1849, bentuk segitiga yang pertama kali dipergunakan oleh Cape of Good Hope (Afrika Selatan) pada tahun 1853, bentuk segi delapan dipergunakan Yunani pada 1898 dan masih ada lagi bentuk-bentuk lainnya.
Prangko-prangko yang pernah digunakan di Indonesia diterbitkan dalam bentuk persegi panjang, segiempat sama sisi dan segitiga sama sisi (terbitan pemerintah Hindia Belanda). (Hilal)