linimassa.id – Jika mendengar kata rawit, yang terlintas dalam benak yakni pedas level tak tertahankan. Cabai rawit alias Capsicum frutescens merupakan buah dan tumbuhan anggota genus Capsicum yang buahnya tumbuh menjulang menghadap ke atas.
Warna buahnya hijau kecil sewaktu muda dan jika telah masak berwarna merah tua. Bila ditekan buahnya terasa keras karena jumlah bijinya sangat banyak.
Cabai ini sulit dipisahkan dari kudapan jalanan, yaitu gorengan yang biasa dimakan bersama cabai rawit muda mentah.
Varietas
Cabai rawit mempunyai dua varietas besar, yaitu rawit hijau dan rawit putih atau merah. Yang sering dipakai untuk kudapan gorengan ialah varietas rawit hijau, sedangkan rawit putih biasanya dipakai sebagai bumbu masakan atau disambal. Ada kemungkinan varietas rawit putih adalah hasil persilangan.
Selain di Indonesia, cabai ini tumbuh dan populer sebagai bumbu masakan di negara-negara Asia Tenggara lainnya.
Di Malaysia dan Singapura, cabai ini dinamakan cili padi, di Filipina siling labuyo, dan di Thailand phrik khi nu. Di Kerala, India, terdapat masakan tradisional yang menggunakan cabai rawit dan dinamakan kanthari mulagu. Dalam bahasa Inggris dia dikenal dengan nama Tabasco chili pepper atau bird’s eye chili pepper.
Buah cabai rawit berubah warnanya dari hijau menjadi merah saat matang. Meskipun ukurannya lebih kecil daripada varietas cabai lainnya, dia dianggap cukup pedas karena kepedasannya mencapai 50.000-100.000 pada skala Scoville.
Kadar airnya rendah sehingga dapat disimpan hingga 12 hari setelah dipetik serta tahan pengangkutan jarak jauh.
Petani akan mulai memanen 60 hari setelah tanam dan berlangsung hingga 14 bulan kalau perawatan intensif masa panen lebih lama lagi.
Masa panen yang panjang sangat menguntungkan petani karena dapat menikmati hasil penjualan. Di tingkat konsumen harganya pernah mencapai Rp20,000/kilogram saat pasokan cabai rawit kosong.
Asal Mula
Menurut Sejarawan Kuliner, Fadly Rahman, meski telah melekat sebagai bahan pokok kuliner Indonesia, ternyata cabai bukanlah tanaman asli Indonesia.
Cabai mulanya berasal dari Benua Amerika dan dibawa masuk bersama sekitar 2000-an jenis tumbuhan lainnya pada abad ke-16 oleh para pelaut Portugis dan Spanyol ke Asia Tenggara.
Kata cabai, sebelum chilli dari Benua Amerika masuk ke Indonesia, ternyata masyarakat Nusantara telah mengenal tanaman bernama cabya yang memiliki nama latin Piper retrofractum vahl.
Cabya merupakan jenis tanaman dari genus lada dan sirih-sirihan yang punya sifat sebagai rempah pemedas untuk mengolah makanan.
Merujuk pada Kamus Jawa Kuna – Indonesia dari Zoetmulder dan Robson (1997) serta riset arkeologis Timbul Haryono dalam Inventarisasi Makanan dan Minuman dalam Sumber-Sumber Arkeologi Tertulis (1997), kata cabya telah disebut-sebut dalam beberapa prasasti dan naskah kuna di Jawa dari abad ke-10 M.
Pada masa kuno cabya banyak tumbuh di wilayah Jawa dan masyarakat setempat menyebutnya sebagai cabe jawa atau cabai atau lombok.
Nah pada saat itu, tanaman Capsicum dibudidayakan secara masif di Nusantara. Namun ternyata hal itu menyebabkan turunnya popularitas cabya jawa.
Adapun pesaing cabya jawa yang populer adalah lada yang memiliki nama latin Piper nigrum. Jenis bahan pemedas ini adalah salah satu komoditas rempah yang umum diperjual-belikan di Nusantara pada masa niaga rempah-rempah.
Di tengah menurunnya popularitas cabya jawa, lada masih bertahan sebagai pecitarasa pedas masakan. Namun, masyarakat Nusantara sendiri umumnya lebih memilih menyukai Capsicum ketimbang lada dengan alasan lebih nyaman di mulut dan lambung.
Atas dasar perubahan selera inilah Capsicum lantas naik statusnya menjadi bahan pemedas primadona baru di Nusantara dan disebut sebagai cabai. (Hilal)