Linimassa.id – Pedagang asongan merujuk pada pedagang yang menjajakan buah-buahan dan sebagainya di dalam kendaraan umum, di perempatan jalan, dan lainnya.
Pedagang asongan adalah seorang penjual yang biasanya beroperasi di jalanan atau trotoar dengan membawa dagangan mereka dalam keranjang, tas, atau di atas alat beroda seperti gerobak.
Mereka menjual berbagai barang dagangan, seperti makanan ringan, minuman, barang-barang kecil, atau produk-produk sehari-hari seperti tisu atau permen.
Istilah “asongan” berasal dari bahasa Indonesia, dan istilah serupa juga digunakan di negara-negara Asia Tenggara lainnya.
Istilah ini mungkin digunakan karena para pedagang ini membawa dagangan mereka secara portabel, biasanya dalam wadah yang dapat digendong atau digulung, sehingga mereka dapat dengan mudah berpindah lokasi untuk mencari pelanggan yang berpotensi.
Pedagang asongan sering kali beroperasi di tempat-tempat umum, seperti pasar tradisional atau area dengan banyak pejalan kaki, dan seringkali berfungsi sebagai sumber pendapatan tambahan bagi mereka.
Asal Mula
Pedagang di trotoar atau sering kita sebut pedagang kaki lima memiliki sejarahnya sendiri. Gambaran cara berdagang mereka menggambarkan sebuah paradoks. Di satu sisi, pedagang kecil dan sepele ini menunjang ekonomi individu, kota bahkan negara.
Mereka sering dianggap kumuh, tidak tertib, dan sembarang berjualan di trotoar. Perjuangan pedagang kecil ini pun tidak sampai dengan ditertibkan aparat yang tak kadang represif. Ada saja oknum yang mengeksploitasi mereka dengan meminta jatah.
Belum lagi komunitas pejuang hak pejalan kaki. Di satu sisi, banyak pejalan kaki juga dimudahkan dengan kehadiran pedagang kaki lima menggelar lapaknya.
Dunia
Sebelumnya, Jalur Sutra dan Warisan Romawi Kuno Jalur Sutra (Silk Road) yang membentang dari Jawa sampai Eropa di abad 300 SM, mungkin adalah awal komersialisasi lahan berjualan di pinggir jalan.
Barang yang diperdagangkan seperti emas, perak, rempah, kulit samak, sampai sutra digelar di jalan kota Tiongkok di dinasti Han. Atau, para pedagang batu berharga di jalan di kota Susa di Persia (Iran masa kini).
Sejak 2.000 tahun lalu para pedagang sudah memadati jalan-jalan di kota Romawi Kuno. Para penduduk kota Roma misalnya, menjual roti di sebuah bar terbuka di pinggir jalan yang disebut couponae.
Sedang pada hari-hari besar, banyak pedagang yang berkerumun di Macellum untuk berdagang makanan. Makanan pokok seperti roti, pork, didatangkan dari pulau Sicily dan Sardinia. Sedang minuman seperti beer atau anggur berasal dari daerah Selatan kerajaan. Umumnya makanan untuk rakyat dijatah oleh kaisar August dengan dikelola geraja.
Bagi rakyat yang non-petani di kota Roma, bisa membeli di sebuah pasar bernama Trajan. Tradisi pedagang di jalan ini dibawa saudagar ke negeri Inggris mulai abad ke-14. Sebuah daerah di London yang bernama Leadenhall Market, dahulu adalah tempat berkumpulnya pedagang kaki lima.
Makanan ringan seperti shepe fete atau strabery rype dijual para perempuan dengan keranjang yang disunggi di atas kepala. Karena populasi kota London mencapai lebih dari 3 juta orang di tahun 1871, pedagang jalanan di London tumbuh menjadi 6.000 vendor.
Para costermonger atau pedagang jalan ini banyak menjajakan makanan. Seperti acar whelks (sejenis kerang-kerangan), sup kacang, ikan goreng sampai yang umum dijumpai seperti pie. Baru pada abad 20, kuliner dari India, Asia dan Afrika dijajakan di jalanan kota London.
Pedagang di trotoar abad 20 dan problematikanya Di negara lain seperti Mesir, barang lebih ekstrem dijual di pinggir jalan. Sejak dikolonisasi oleh Napoleon pada tahun 1800-an, kebudayaan Mesir Kuno menjadi banyak menjadi perhatian orang Barat.
Tak ayal, banyak situs kuno di Mesir dijebol. Mumi berusia ratusan/ribuan tahun pun dicuri. Mumi-mumi ini pun dijual bebas di pinggir jalan sejak 1865.
Negara-negara sampai Abad 20 sudah memiliki banyak sebutan untuk para pedagang di trotoar ini. Tidak hanya makanan, pedagang di trotoar berjualan mulai dari alat elektronik, aksesoris, baju, dan pernak-pernik cinderamata.
Di beberapa negara, pedagang trotoar juga dianggap mengganggu ketertiban dan indikasi pengangguran yang tumbuh.
Di kota-kota Spanyol dan Portugal pedagang ini dijuluki vendedores ambulantes. Istilah ini berarti pedagang (vendor) darurat karena harus berpindah-pindah.
Di Italia PKL hanya dijuluki ambulantes. Di Argentina pedagang jalanan dijuluki manteros yang berarti pedagang selimut (manta/mantle). Di Brazil dijuluki camel.
Saat ini di India, diperkirakan ada 10 juta pedagang di trotoar. Pedagang di trotoar di Mumbai yang tertinggi mencapai 250.000 vendor. Jutaan pedagang ini lalu membentuk National Association of Street Vendor of India (NASVI). Lembaga ini menyuarakan lebih dari 700 organisasi vendor untuk perundangan yang mengatur kesejahteraan dan ketertiban pedagang di trotoar pada tahun 2014.
Di Sri Lanka, pedagang di jalan/trotoar malah menghadapi problem pelik. Ribuan pedagang makanan dianggap turut mendorong ekonomi kota. Namun kini mereka ditertibkan secara represif oleh pemerintah kota seperti Colombo.
Menurut laporan pada tahun 2002, lapak/gerobak para pedagang makanan di jalan ini sampai dibakar oleh aparat ketertiban kota.
Kota di Thailand seperti Bangkok penuh sesak dengan pedagang di trotoar. Setidakny ada 3 alasan menjamurnya pedagangan ini. Pertama tradisi makan di luar (jajan) orang Thailand, lalu ada tingkat urbanisasi, dan jumlah wisatawan. Namun, sudah lama para penjaja makanan dan cinderamata di Bangkok dianggap penyebab kemacetan.
Sejak tingginya arus masuk imigran tahun 1960-an dari mainland China, jalanan kota Hong Kong dipenuhi jau gwei. Istilah Canton yang berarti lari dari hantu. Namun istilah ini mengacu pada penjaja makanan dan barang murah di trotoar yang sering ditertibkan pemerintah kota Hong Kong.
Dari 300.000 jau gwei pada tahun 70-an, jumlah mereka menurun dan pada tahun 2010 tersisa sekitar 6.000 lebih vendor. Kucing-kucingan antara penjual di trotoar dengan aparat penertiban kota masih sering terjadi.
Regulasi kesehatan yang ketat juga menyulitkan para pedagang ini. Ditambah model sewa tempat atau lokasi jualan yang dianggap kian memberatkan. Para jau gwei di kota Hong Kong masih sering dilarang berjualan, terutama saat Lunar Year atau Imlek.
Pada tahun 1998, jumlah pedagang jalanan di Singapura mencapai 23.000 lebih. Hampir 70 persen berjualan makanan. Jumlah pedagang makanan tradisional dan modern mulai seimbang. Namun, pengawasan ketat dinas kesehatan dan kebersihan membatasi ketat pedagang ini.
Di sisi lain, lapangan pekerjaan dari model perdagangan di jalanan ini membantu perekonomian. Di kota-kota besar di Afrika, fenomena pedagang di jalanan bak jamur di musim hujan.
Hal ini karena banyak kota-kota di Afrika pertumbuhan populasi tidak sejalan dengan pertumbuhan kota dan ekonominya. Contohnya di Nairobi, para pedagang ini bisa ditemui di semua sudut kota. Namun, lebih dari 50 persen omset harian mereka diminta oleh kanjo atau oknum pegawai negeri yang korup.
Di ibu kota Afrika Selatan, Johannesburg, pedagang di jalanan malah turun ke jalan pada tahun 2009. Para pedagang di jalanan ini memprotes aksi represif penertiban dan aturan berdagang di Johannesburg.
Sedangkan penduduk kota yang di didominasi orang kulit hitam terkungkung kemiskinan. Berdagang di jalanan adalah salah satu mata pencaharian mereka. (Hilal)