Linimassa.id – Situasi konflik agraria di Desa Pakel, Banyuwangi, kembali memanas dengan penangkapan Muhriyono, seorang petani yang dituduh melakukan pengeroyokan terhadap petugas keamanan PT Bumisari Maju Sukses.
Kasus ini mendapat perhatian serius dari berbagai organisasi, termasuk Walhi, yang menilai penangkapan tersebut sebagai bentuk kriminalisasi dalam konflik agraria yang sering terjadi di Indonesia.
Konflik Agraria Masalah yang Berakar dari Zaman Kolonial
Menurut pihak kepolisian, penangkapan Muhriyono merupakan kasus pidana biasa. Namun, warga Desa Pakel memandangnya lebih dari itu, sebagai persoalan sejarah panjang sejak masa kolonial Belanda.
Pada tahun 1929, warga memperoleh izin untuk menggarap lahan di bawah restu Bupati Banyuwangi, tetapi izin itu tidak pernah diubah menjadi hak milik resmi. Sejak saat itu, hak atas tanah selalu menjadi isu yang tak terselesaikan bagi warga setempat.
Masalah semakin kompleks ketika Orde Baru berkuasa. Pada 1985, PT Bumisari mendapat Hak Guna Usaha (HGU) atas wilayah yang mencakup sebagian besar lahan di sekitar Desa Pakel.
Namun, perusahaan ini juga mengklaim wilayah lain di desa tersebut yang, menurut Badan Pertanahan Nasional (BPN) Banyuwangi, bukan bagian dari HGU mereka. Meskipun BPN telah memberikan klarifikasi pada 2018, konflik di lapangan terus berlanjut.

Upaya Bertahan Hidup dan Bentrokan Hukum
Warga Desa Pakel, yang sebagian besar bergantung pada pertanian, mencoba mengelola lahan kosong di sekitar desa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Namun, perusahaan menuduh mereka melakukan perambahan liar. Tuduhan ini berulang kali memicu tindakan hukum yang dianggap warga sebagai cara perusahaan untuk menghalangi hak hidup mereka.
“Tanah bukan sekadar kepemilikan bagi kami; ini adalah sumber penghidupan dan keberlanjutan keluarga,” ujar salah satu warga yang enggan disebut namanya.
Ia menekankan bahwa perjuangan warga Desa Pakel melampaui persoalan ekonomi, menyangkut harga diri dan masa depan mereka.
Beberapa warga telah menjalani hukuman penjara atas tuduhan kekerasan dan penyebaran hoaks, meskipun beberapa dari mereka akhirnya dibebaskan oleh Mahkamah Agung.
Kritik Terhadap Janji Reforma Agraria
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa sejak masa pemerintahan Presiden Jokowi, lebih dari 2.400 warga mengalami kriminalisasi terkait konflik tanah, sementara 2.939 konflik agraria tercatat telah berdampak pada sekitar 1,75 juta keluarga di Indonesia.
Menurut KPA, janji reforma agraria pemerintah masih belum memberikan dampak yang signifikan.
Sebaliknya, pendekatan hukum yang sering represif dianggap memperlebar ketimpangan antara perusahaan besar dan masyarakat adat atau petani kecil.
Warga Desa Pakel menegaskan bahwa perjuangan mereka bukan tentang uang.
“Kami sudah menggarap tanah ini selama puluhan tahun; ini adalah bagian dari hidup kami,” tegas salah seorang warga. Dengan ancaman hukum yang terus mengintai, mereka bertekad untuk terus memperjuangkan hak atas tanah sebagai harapan terakhir mereka untuk masa depan yang lebih baik. (GP)