linimassa.id – Identik dengan Islam, seni kaligrafi seringkali dianggap berasal dari Arab. Seni kaligrafi ini dikenal sebagai salah satu warisan Islam dalam sektor seni budaya.
Kaligrafi adalah sebuah seni khat atau menulis indah dengan menggunakan huruf Arab. Biasanya, kaligrafi tidak untuk dibaca, melainkan hanya sebuah karya seni. Seniman kaligrafi Islam umumnya mengambil huruf dari ayat-ayat Alquran. Namun, dalam perkembangannya, tidak hanya huruf Arab yang digunakan dalam seni kaligrafi, ada pula yang menggunakan huruf latin.
Pengertian kaligrafi secara etimologi, kaligrafi berasal dari bahasa Yunani, yakni kaligraphia atau kaligraphos, yang tersusun dari dua kata, kallos, yang artinya indah dan grapho memiliki arti tulisan. Dengan demikian, kaligrafi dapat diartikan sebagai tulisan yang indah.
Sementara dalam bahasa Arab, kaligrafi disebut dengan khat, yang berarti dasar garis, coretan pena, atau tulisan tangan. Sehingga, kaligrafi dapat dimaknai sebagai suatu ilmu yang memperkenalkan bentuk-bentuk huruf tunggal, letak-letaknya, dan cara merangkainya menjadi tulisan yang tersusun.
Namun untuk asal-usul, seni tulisan indah atau khat ini masih ada perbedaan pendapat di kalangan sejarawan.
Ada yang berpendapat, kaligrafi pertama kali ditemukan di relief makam raja-raja purba yang banyak dijumpai di Abidos. Kaligrafi ditemukan pula di papyrus tumbuhan kawasan sungai Nil, seperti yang dilansir dari Al quran dan Kaligrafi Arab Peran Kitab Suci dalam Transformasi Budaya karya Ilham Khoiri R.
Pada buku Seni Kaligrafi karya D Sirojuddin, kaligrafi disebut sudah ada sejak masa kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan. Saat itu, seni kaligrafi mulai lahir ketika Khalifah Utsman mengembangkan ide untuk mengumpulkan mushaf Alquran.
Ide dari Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq yang pernah memerintahkan para sahabat dan penghafal Alquran untuk menuliskan ayat-ayat Quran dalam batu, dedaunan, hingga pelepah kurma juga berpegaruh pada seni kaligrafi.
Khalifah Utsman pun mengembangkan cara penulisan ayat suci Alquran agar umat Islam tertarik untuk membaca dan mempelajarinya. Hingga lahirlah seni tulis menulis indah Alquran ini yang disebut kaligrafi. Ini menjadi alasan seni kaligrafi memiliki kaitan erat dengan Alquran.
Pada buku ini tertulis, pada dasarnya, seni ini mengandung ayat Alquran, hadits, syair, dan kata-kata yang diukir dengan indah di dinding-dinding masjid, tembok istana, dan gedung megah.
Versi lain menyebut, asal-usul kaligrafi sebelum agama Islam muncul di Arab, masyarakat banyak yang tidak bisa membaca dan menulis. Mereka terbiasa dengan tradisi menghafal.
Masyarakat Arab yang bisa membaca dan menulis hanya berasal dari kalangan tertentu, seperti kalangan bangsawan. Di sisi lain, sudah ada bentuk kaligrafi yang diciptakan oleh masyarakat Arab, tetapi bentuknya masih kuno.
Hingga era kedatangan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad hingga akhir dari Kekhalifahan Khulafaur Rasyidin, model kaligrafi masih dalam bentuk kuno. Perkembangan seni kaligrafi mulai marak pada era pengumpulan naskah-naskah Al Quran untuk diseragamkan.
Beberapa tokoh yang mengembangkan adalah Zaid bin Tsabit dan Ali bin Abi Thalib, yang kemudian melahirkan jenis kaligrafi Islam seperti Al-Hairi, Al-Anbari, dan Al-Kufi.
Perkembangan
Kaligrafi Arab mengalami perkembangan di berbagai budaya dunia, seperti di Barat (Eropa, Amerika) dan Timur (Arab, Cina, Jepang, India, Indonesia, dan negara di Asia lainnya).
Kemajuan seni kaligrafi Islam dapat dibuktikan dari banyaknya seniman Eropa yang menggunakan tulisan Arab dalam lukisan mereka. Salah satunya ada Giotto yang menjadi seniman Barat pertama yang menggunakan tulisan Arab dalam karyanya.
Seni kaligrafi terus berkembang di era Dinasti Umayyah (661-750) di Damaskus. Pada era Dinasti Umayyah, beberapa seniman kaligrafi Islam mulai tidak puas dengan seni kaligrafi Al-Kufi. Para penulis khat era Dinasti Umayyah kemudian mengembangkan seni kaligrafinya sendiri yang melahirkan model Tumar, Jalil, Nisf, Suluts, dan Sulutsain.
Di Era Dinasti Umayyah, muncul beberapa nama seniman kaligrafi, salah satunya adalah Qutbah Al-Muharrir. Sementara itu, di Era Dinasti Abbasiyah (750-1261), perkembangan seni kaligrafi semakin pesat dengan munculnya beberapa nama seniman kaligrafi, seperti Al Dahhak bin Dajlan dan Ibn Muqlah.
Ibn Muqlah berperan besar dalam pengembangan geometrikal pada kaligrafi, yang terdiri dari tiga unsur kesatuan baku, yaitu titik, huruf Alif, dan lingkaran.
Di Indonesia, menurut Repositori IAIN Kudus, seni kaligrafi masuk ke Indonesia ditandai dengan bukti makam-makam kuno yang berasal dari luar Indonesia hingga sumber-sumber media, seperti kitab, mushaf Alquran tua atau naskah perjanjian (qaulul haq) pada abad ke 13-19 M.
Masuknya agama Islam ke Indonesia juga menyebabkan penyebaran aksara Arab di kalangan masyarakat. Pada abad ke-12, muncul kreativitas seni memahat dalam pembuatan kaligrafi dengan berbagai gaya dan ciri yang khas.
Aksara Arab pada masa ini masih berbahasa Melayu yang disebut Pegon, huruf Jawi atau huruf Melayu. Kemudian, pada abad ke 18-20, kaligrafi kemudian dituangkan dalam kegiatan kreasi seniman Indonesia. Mereka mengaplikasikannya dalam berbagai media seperti, kertas, kayu, logam, dan medium lainnya.
Karya ini biasanya merupakan produk keraton Cirebon, Yogyakarta, Surakarta, atau Palembang. Namun hingga akhir periode angkatan perintis kaligrafi di Indonesia ini, tidak ada seniman kaligrafi yang dikenal namanya.
Kemudian, antara abad ke-16 hingga abad ke-19, corak pahatan kaligrafi mulai diambil dari kalimat-kalimat tauhid. Salah satu contohnya adalah pada makam kuno di Gowa-Tallo, Bima, Ternate, dan Tidore. Sedangkan pada abad ke-20, seni kaligrafi Indonesia mulai berubah sifatnya, yakni untuk kegiatan rekreasi seniman dengan memanfaatkan berbagai media, seperti kertas, kayu, logam, dan kaca. (Hilal)