linimassa.id – Hari hakim wanita internasional yang diperingati setiap 10 Maret merupakan hari yang bertujuan untuk upaya mengatasi permasalahan integritas peradilan tekait gender dan memasukan isu representasi perempuan di dalam sistem peradilan.
Umumnya, setelah ditetapkan oleh majelis umum PBB pada April 2021, hari besar hakim wanita internasional ditetapkan pada tanggal 10 Maret. Sejak ditetapkan hari besar tersebut, keterwakilan wanita dalam lembaga peradilan pidana dapat bertindak sebagai agen perubahan dan berkontribusi lebih besar untuk menegakan keadilan terutama bagi wanita.
Asal Mula
Majelis umum PBB mendeklarasikan tanggal 10 Maret menjadi hari hakim wanita internasional. Keputusan tersebut dilansir berdasarkan resolusi majelis umum PBB 75/274 tahun 2021.
Penetapan peringatan tersebut menjadi upaya global dalam mencapai pembangunan yang berkelanjutan, perdamaian, dan demokrasi.
Kondisi tersebut terjadi karena keterlibatan wanita memang meningkat dalam kehidupan publik. Menurut UNODC yang mencanangkan strategi inti dari mengatasi kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.
Hal ini bertujuan untuk mengimplementasikan Deklarasi Doha guna mempromosikan budaya hukum di seluruh dunia, dan menyediakan pendidikan, pelatihan, dan mendukung partisipasi penuh perempuan di setiap bidang profesional.
Berdasarkan data dari PBB, kontribusi perempuan dalam dunia hakim sudah berkembang dari tahun ke tahun, berikut perinciannya: Tahun 2008 hakim perempuan sebanyak 35%; Tahun 2017 hakim yang memiliki genre perempuan mencapai 40%;
Di sebagian besar negara Eropa lainnya, 41% hakim di mahkamah agung nasional itu perempuan dan hanya 25% menjadi ketua pengadilan. Disisi lain, tahun 1937, Justice Anna Chandy menjadi hakim wanita pertama di India yang kemudian ia menjadi hakim pengadilan tinggi sehingga ia dinobatkan sebagai hakim wanita pertama di dunia. Lalu, Jasmine Twitty dinobatkan sebagai hakim wanita termuda di Amerika Serikat.
Kontribusi
Laman PBB menuliskan, wanita dalam sistem peradilan pidana dapat bertindak sebagai agen perubahan dan berkontribusi lebih besar.
Keterwakilan mereka di lembaga peradilan adalah kunci untuk memastikan bahwa pengadilan mewakili warganya, menangani masalah mereka, dan memberikan keputusan yang tepat.
Empat puluh persen hakim adalah perempuan pada tahun 2017, 35 persen lebih banyak dibandingkan tahun 2008.
Pada 1946, Eleanor Roosevelt terkenal menulis “surat terbuka kepada perempuan di dunia,” mendesak peningkatan keterlibatan mereka dalam urusan nasional dan internasional.
Di sebagian besar negara Eropa, terdapat lebih banyak hakim atau hakim profesional perempuan dibandingkan laki-laki; namun, perempuan mewakili 41 persen hakim di mahkamah agung nasional dan hanya 25 persen ketua pengadilan.
Peringatan ini menandai tonggak penting dalam upaya global untuk memastikan kesetaraan gender dan dibangun di atas upaya mencapai pembangunan berkelanjutan, perdamaian dan demokrasi. (Hilal)