Linimassa.id – Dalam acara “Hari Gotong Rumah,” ratusan warga Desa Wates, Kabupaten Majalengka, bergotong-royong membawa replika rumah panggung bambu dihiasi hasil bumi.
Acara ini diikuti oleh pria berpakaian tradisional Sunda, pangsi, dan perempuan berkebaya yang menyusuri jalan sepanjang dua kilometer.
Kegiatan ini bukan sekadar festival budaya, tetapi merupakan simbol perjuangan masyarakat Wates yang mengklaim hak mereka atas tanah leluhur di tengah konflik agraria berkepanjangan.
Kenangan pada Masa Penjajahan Jepang
“Hari Gotong Rumah” adalah momen tahunan untuk memperingati peristiwa pengungsian besar-besaran yang terjadi pada 1942. Ketika itu, warga setempat dipaksa meninggalkan tanah adat mereka saat Jepang membangun landasan udara di Desa Beber.
Setelah Jepang angkat kaki pada 1945, warga kembali namun menemukan tanah mereka telah diklaim oleh TNI Angkatan Udara pada 1950.
Ulpah Azhar, salah satu generasi muda Wates, menyatakan acara ini sangat berarti bagi warga desa. “Acara ini pengingat bagi kami semua, terutama generasi muda, bahwa tanah ini milik nenek moyang kami, tetapi diklaim oleh pihak TNI AU,” ujar Ulpah dalam pernyataannya.

Klaim Sepihak dan Konflik yang Tak Kunjung Usai Pemicu “Hari Gotong Rumah“
Sejak klaim sepihak tersebut, sembilan desa di wilayah tersebut kesulitan untuk mendapatkan hak kepemilikan tanah secara resmi.
TNI AU, yang mengklaim lahan itu sebagai kawasan pertahanan, tidak memiliki bukti kepemilikan, begitu pula warga Wates. Agus Rudianto, kepala desa Jatisura, menegaskan, “Tanah ini bukan milik TNI AU, tapi milik masyarakat adat kami.” Namun, tanpa dokumen yang sah, warga kerap berhadapan dengan tindakan hukum yang membatasi hak mereka.
Museum dan Perjuangan Kultural untuk Menegaskan Hak Tanah
Pada 2017, warga mulai menggunakan cara kultural, dengan mendirikan Museum Wakare dan menggelar festival budaya untuk memperkuat klaim mereka.
Usaha ini didukung oleh pengakuan Museum Tarrawara di Australia yang menyatakan bahwa budaya di tanah Wates adalah milik sah masyarakat setempat.
Ismal Muntaha, pendiri Badan Kajian Pertanahan, menyampaikan bahwa proses hukum tidak mudah bagi warga yang menghadapi institusi kuat seperti militer.
“Kami tidak memiliki surat tanah, dan TNI AU juga tidak punya bukti hukum yang jelas,” ungkap Ismal, menunjukkan kesulitan dalam memperoleh pengakuan resmi atas tanah tersebut.
Harapan akan Penyelesaian yang Adil
Meskipun berbagai usaha telah dilakukan, konflik agraria ini belum menemukan titik terang. Diah Mardiah, warga yang telah turun-temurun tinggal di Wates, mengungkapkan rasa frustrasinya, “Indonesia sudah merdeka, tetapi kami masih merasa terjajah.”
Dengan semangat yang tetap menyala, warga Wates terus berharap pemerintah akan memberikan pengakuan atas hak tanah mereka sebagai wujud keadilan yang selama ini dinantikan. (PS)