Linimassa.id – Astrologi diperkirakan sudah berkembang sejak 3.000 SM. Di masa kekaisaran Romawi, ahli astrologi menjadi bagian penting, seperti Kaisar Tiberuis yang memiliki ramalan tentang takdir dan jalan hidupnya.
Astrologi dikenal sebagai ilmu yang mempelajari pergerakan benda langit, seperti matahari, bulan, dan bintang, serta pengaruhnya terhadap kehidupan manusia.
Ahli astrologi percaya bahwa dengan memahami pengaruh benda-benda langit, mereka dapat memprediksi kejadian di masa depan.
Astrologi menunjuk kepada beberapa sistem pengetahuan untuk mengerti, dan menerjemahkan tentang kenyataan dan keberadaan manusiawi, berdasarkan posisi dan gerak-gerik relatif berbagai benda langit, terutama matahari, bulan, planet, dan lunar node seperti dilihat pada waktu dan tempat lahir atau lain peristiwa dipelajari. Bagi banyak astrologer, hubungan itu tidak perlu sebab musabab.
Bentuk umum astrologi termasuk Astrologi Barat, Astrologi Tionghoa, Jyotish (Astrologi Weda) dan Astrologi Kabbalistik. Yang lebih tidak tak biasa ialah Astrologi Horary. Kebanyakan astrologer barat mendasarkan kerja mereka di zodiak tropikal, tetapi para astrologer barat dan Jyotish menggunakan zodiak sideral. Yuk simak beberapa fakta tentang Astrologi.
Astrologi Bukan Astronomi
Astrologi tidak sepenuhnya sama dengan astronomi. Astronomi sering dikelirukan dengan astrologi, dan sebaliknya. Karena banyak ilmuwan menganggap bahwa astrologi tidak mengikuti metode ilmiah, maka kebanyakan mereka secara umum menolak astrologi untuk menjadi ilmu astronomi dan cukup mengklasifikasikan sebagai ilmu semu.
Astrologi secara mendalam pernah digabungkan dengan astronomi, dan perbedaan jelas di antara keduanya diungkap kembali pada masa Galileo. Dia ialah orang pertama yang menggunakan metode ilmiah untuk menguji pernyataan objektif tentang langit.
Astronomi bermaksud mengerti jalannya fisik alam semesta. Hal ini secara khusus sangat menarik dan relevan di astrologi. Fokus utama kebanyakan bentuk astrologi atas korelasi yang tak terbukti antara gerakan fisik badan langit, dan berbagai urusan manusiawi, seperti peristiwa dunia, peristiwa di jiwa pribadi orang, dan bawaan sejak lahir ciri kepribadian. Astrologer yang lain memperpanjang korelasi ini sampai gejala geologis tak berhubungan sampai aktivitas manusiawi, seperti gempa bumi dan letusan vulkanik.
Banyak bilangan menonjol di sejarah purbakala astronomi Barat, termasuk Tycho Brahe, Johannes Kepler, dan Galileo sendiri, juga hidup dari usaha mereka mempraktikan astrologi bagi bangsawan kaya. Isaac Newton kadang-kadang disebutkan sebagai mempunyai minat di astrologi, tetapi usulan bukti tidak tahan untuk memeriksanya. Tidak ada satu kata tercatat di tangan Newton yang mengatakan subjek, dan genggam buku itu di miliknya yang berisi referensi sampai astrologi terutama dikenai dengan alkemi.
Astrologi Menurut Pandangan Agama
Astrologi telah lama menjadi bagian dari adat budaya dan agama di berbagai belahan dunia. Banyak di antara suku-suku adat yang mempercayai dan mempraktikan hal ini, yang terkenal seperti astrologi Tionghoa, Hindu, dll. Di lain pihak, dalam agama monotheis praktik-praktik peramalan astrologi yaitu menghubungkan nasib dan kejadian di Bumi dengan aktivitas benda langit adalah suatu yang terlarang dan dianggap sebagai bagian dari paganisme.
Sejarah astrologi mengkaji perkembangan astrologi dari masa ke masa dalam berbagai kebudayaan di berbagai belahan dunia. Astrologi merupakan suatu jenis kegiatan ramal-meramal terhadap bumi dan manusia berdasarkan berbagai pengamatan serta intrepertasi dari benda-benda langit seperti bintang dan konstelasinya, Matahari, Bulan, dan planet-planet.
Penggiat astrologi mempercayai bahwa dengan memahami pengaruh planet-planet dan berbagai bintang terhadap peristiwa yang terjadi di Bumi mereka dapat memperkirakan dan mempengaruhi takdir atau jalan hidup dari suatu individu, kelompok, bahkan negara. Meskipun dalam kajian sejarah astrologi dulunya sempat dianggap sebagai bagian dari sains, saat ini praktik-praktik astrologi dinilai sama sekali bertentangan terhadap kaidah-kaidah ilmiah keilmuan modern.
Praktik-praktik astrologi dapat terlacak di berbagai kelompok masyarakat atau kebudayaan dalam berbagai periode waktu. Astrologi memiliki asal-usul sejak zaman prasejarah dan terus berkembang hingga ke zaman modern, yang mana bisa dimengerti melalui kajian etnoastronomi–astronomi yang dipraktikan dalam masyarakat.
Astrologi dalam Kebudayaan Barat
Dalam kebudayaan Barat, astrologi berasal dari peradaban Mesopotamia kemudian berkembang pada peradaban Yunani Kuno, telah mengalami berbagai pengkajian oleh peneliti-peneliti terkait. Namun, terdapat pula tradisi astrologi yang berkembang pada kebudayaan masyarakat India yang tetap bertahan selama 2.000 tahun.
Sistem astrologi yang cukup kompleks juga dikembangkan kebudayaan Tiongkok dan Mesoamerika, ketika saat itu seluruh masyarakat tengah mencari keterkaitan aspek sosial-religius terhadap makna dari benda-benda langit dan pergerakannya
Astrologi Pada Peradaban Lampau
Mesopotamia
Daerah Mesopotamia sering kali disebut sebagai tempat lahirnya peradaban manusia, dikarenakan banyak dari gagasan dan teknologi dari peradaban kuno di daerah ini yang kemudian diadopsi ke dalam peradaban modern.
Pada tulisan-tulisan di kuneiform (sejenis prasasti) yang ditemukan, diketahui bahwa sejak akhir abad ke-30 SM, peradaban di Mesopotamia telah mengidentifikasi dan membuat daftar yang berisi nama “bintang” dan konstelasinya di langit.
Bintang dalam pengertian kebudayaan Mesopotamia adalah segala objek tampak yang ada di langit termasuk planet, komet, meteor, ataupun bintang dan konstelasinya. Dari berbagai kajian arkeoastronomi, benda-benda langit diketahui mempunyai peran yang sangat penting dalam tradisi Mesopotamia terutama untuk yang berkaitan dengan kepercayaan dan ritual peribadataan masyarakat.[8] Salah satu tradisi peninggalan peradaban Mesopotamia yang paling terkenal adalah tradisi ramal-meramal atau pembacaan pertanda dengan merujuk fenomena-fenomena yang terjadi di langit.
Tradisi ini juga diperkirakan telah muncul bersamaan dengan saat catatan-catatan mengenai pengamatan bintang dibuat, yakni di awal abad ke-30 SM dan kemudian menjadi cikal-bakal astrologi oleh masyarakat modern. Saat ini, terdapat ratusan peninggalan kuneiform yang menjelaskan berbagai pertanda atau ramalan yang dapat disimpulkan dari pengamatan benda-benda langit.
Mesir pada Era Helenistik
Pada tahun 525 SM, Mesir ditaklukan oleh Bangsa Persia dan diyakini setelah itu terdapat banyak pengaruh terhadap astrologi Bangsa Mesir yang diberikan oleh astrologi kebudayaan Mesopotamia. Pengaruh dari kebudayaan Mesopotamia dicontohkan pada dua simbolisasi dalam zodiak bangsa Mesir–zodiak Libra dan Scorpio pada zodiak Dendera bangsa Mesir.
Setelah pendudukan oleh Iskandar Agung pada 332 SM, Mesir berada dibawah kekuasaan dan pengaruh Bangsa Yunano. Kota Alexandria merupakan kota yang dicetuskan oleh Iskandar Agung setelah penaklukan tersebut pada abad ke-3 hingga ke-2 SM.
Kota Alexandria di Mesir ini yang kemudian menjadi tempat bercampurnya astrologi Mesir dengan astrologi yang berasal dari periode akhir kebudayaan Mesopotamia. Astrologi Mesir kemudian memasukan berbagai konsep yang terdapat pada kebudayaan Mesopotamia seperti pentingnya pengaruh planet, konsep tripolisitas, dan pengaruh gerhana.
Bersama dengan ini, Bangsa Mesir menggabungkan konsep pembagian zodiak kedalam 36 segmen (decan) pada suatu lingkaran langit, dan memberi penekanan terhadap konstelasi bintang yang dominan, sistem dewa-dewa Yunani yang berkaitan dengan planet, pertanda dari pemerintahan, dan empat elemen utama (air, udara, tanah, api).
Romawi-Yunani
Penaklukan wilayah Asia oleh Iskandar Agung membuka jalan bagi peradaban Yunani untuk mengelaborasikan gagasan dan tradisi mereka terhadap gagasan lain yang berasal dari Suriah, Mesopotamia, dan Asia Tengah.
Peradaban Yunani kemudian mempelajari bahasa dan huruf yang terdapat pada kuineform sebagai bagian dari transmisi kebudayaan tersebut. Pada kurun tahun 280 SM, Brossus, seorang pendeta dari kota Babylon, melakukan perjalanan ke Pulau Kos di Yunani untuk mengajarkan astrologi dan kebudayaan Babilonia kepada masyarakat Yunani.
Pada abad pertama sebelum Masehi, terdapat dua jenis astrologi yang berkembang di Yunani, salah satu jenis membutuhkan pemahaman terhadap horoskop untuk mengetahui detail akurat dari masa lalu, saat ini, dan masa depan, sementara yang satunya lagi bersifat sangat magis dan mengedepankan kuasa dewa-dewi yang ditunjukan dalam pertanda-pertanda yang muncul di langit.
Namun, pembagian-pembagian ini tidak bersifat eksklusif dan bisa jadi saling beririsan, jenis astrologi pertama bertujuan untuk mencari informasi tentang suatu kehidupan, sementara jenis kedua lebih menaruh perhatian pada suatu transformasi yang bersifat pesonal di mana astrologi dianggap sebagai suatu jenis komunikasi terhadap dewa-dewa.
Seperti wilayah lainnya di bagian selatan Eropa, astrologi pada peradaban Romawi kuno sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani. Di antara kebudayaan Romawi dan Yunani, kebudayaan Babilonia mengidentifikasi astrologi merupakan suatu ilmu ramal meramal yang menggunakan planet-planet dan bintang sebagai pertanda. Ahli astrologi menjadi bagian penting dari kekaisaran Romawi pada masa itu.
Peradaban Islam klasik
Astrologi mulai masuk dalam kajian para pemikir Islam ketika jatuhnya kota Alexandria kepada Bangsa Arab pada abad ke-7 Masehi, dan juga sejak berdirinya Kesultanan Abbasiyah pada abad ke-8 Masehi.
Khalifah kedua dari kesultanan ini, Muhammad Al-Mansur mendirikan kota Baghdad sebagai pusat pembelajaran, termasuk di dalamnya terdapat perpustakaan sebagai pusat terjebahan yang dikenal juga sebagai Bayat al-Hikma “Rumah Kebijaksanaan”, yang mana perpustakaan ini menerima banyak karya-karya astrologi dari periode Helenistik Eropa dan kemudian diterjemahkan dalam bahasa Arab.
Salah satu penerjemah awal diantaranya Mashallah ibn Athari, yang membantu memilih waktu pendirian kota Baghdad, dan Sahl ibn Bishr, yang karya-karyanya kemudian memberi pengaruh langsung terhadap ahli astrologi Eropa seperti Guido Bonatti pada abad ke-13 Masehi, dan William Lilly pada abad ke-17 Masehi. Literatur-literatur pengetahuan peradaban Islam klasik mulai dibawa masuk ke dalam kebudayaan Eropa pada abad ke-12 Masehi dan kemudian memberi pengaruh besar terhadap revolusi ilmiah yang terjadi di Eropa.
Diantara nama-nama ahli astrologi dalam kebudayaan Arab, salah satu yang paling terkenal adalah Abu Maʿshar, dengan karyanya yang berjudul Kitāb al‐mudkhal al‐kabīr yang kemudian menjadi salah satu risalah astronomi terkenal di Eropa. Selain itu, nama Al-Khwarizmi tidak hanya dikenal sebagai ahli matematika, ia juga dikenal sebagai ahli astronomi, astrologi, dan geografi.
Eropa Abad Pertengahan-renaisans
Di saat astrologi dan ilmu-ilmu lainnya sedang berkembang pesat di wilayah Asia—seperti pada kebudayaan India, Persia, dan Islam klasik—pasca runtuhnya kekaisaran Romawi, astrologi dunia Barat di periode yang sama mengalami kemunduran dikarenakan hilangnya sumber-sumber ilmu astronomi yang berasal dari peradaban Yunani dan juga akbiat hukuman yang diberikan oleh Gereja pada praktik-praktik astronomi yang bertentangan.
Hingga kemudian terjemahan dari karya-karya berbahasa Arab mulai memasuki peradaban Eropa melalui Spanyol pada abad ke-10 hingga abad ke-12 Masehi, di mana peristiwa transmisi ilmu pengetahuan ini menyebabkan keilmuan di peradaban Eropa “mengalami dorongan hebat”.
India
Dalam kebudayaan masyarakat India, astrologi atau jyotisha, adalah bagian dari “vedanga”, salah satu cabang “pengetahuan” yang dibutuhkan untuk memaham literatur-literatur Weda yang dianggap sakral.
Tradisi astrologi telah mengakar dalam kebudayaan India dan terus bertahan sejak literatur-literatur astrologi horoskopis peradaban Yunani kuno digabungkan dengan pandangan astrologi Hindu pada milena pertama tahun Masehi.
Literatur utama yang dikaitkan dengan astrologi kebudayaan masyarakat India yang paling terkenal diantaranya Bṛhat Parāśara Horāśāstra dan Sārāvalī yang ditulis oleh Kalyāṇavarma. Horāśāstra adalah kumpulan karya-karya yang membentuk 71 bab, yang mana volume pertama dari buku ini (bab 1-51) memiliki penanggalan pada kurun abad ke-7 hingga awal abad ke-8 Masehi, dan volume ke-2 memiliki penanggalan pada akhir abad ke-8 Masehi.
Sementara Sārāvalī memiliki penanggalan sekitar kurun tahun 800-an Masehi. Terjemahan bahasa Inggris dari literatur-literatur ini diterbitkan oleh N.N. Krishna Rau dan V.B. Choudhari pada tahun 1961 dan 1963.
Tiongkok
Astrologi kebudayaan Tiongkok memiliki kaitan erat dengan konsep filsafat yang berkembang di daerah tersebut (konsep tiga keharmonisan: langit, bumi, dan manusia) seperti penggunaan konsep yin dan yang, lima elemen atau fase (air, api, tanah, logam, dan kayu), 10 Batang langit, 12 Cabang Bumi, dan shichen (時辰 pembagian jam kebudayaan Tiongkok; 1 hari = 12 sichen).
Penggunaan awal dari sistem astrologi Tiongkok lebih diutamakan untuk kepentingan politis, menghubungkan fenomena langit dengan fenomena tak biasa di masyarakat, mengidentifikasi pertanda-pertanda buruk, dan penentuan hari-hari suci atau penting.[21]
Kebudayaan Tiongkok menggunakan pembagian sistem konstelasi yang berbeda dari zodiak di Asia Barat ataupun di Eropa, kebudayaan Tiongkok membagi langit menjadi Tiga Batasan (三垣 sān yuán), dan 28 Rumah Besar (二十八宿 èrshíbā xiù) yang kemudian masuk ke dalam 12 zodiak atau shio.[22] Zodiak kebudayaan Tiongkok disimbolkan oleh 12 jenis hewan dan diyakini setiap shio merepresentasikan 12 kepribadian yang berbeda pula.
Perhitungan shio ini didasarkan oleh siklus tahun, perubahan fase bulan, dan sichen. Zodiak Tiongkok secara tradisional umumnya dimulai dari zodiak/shio Tikus dan kemudian secara siklik diikuti oleh 11 shio hewan lainnya yaitu: Kerbau, Harimau, Kelinci, Naga, Ular, Kuda, Kambing, Monyet, Ayam Jago, Anjing, dan Babi.
Suatu sistem peramalan terkait masa depan dan nasib dari seseorang dibangun oleh masyarakat kebudayaan Tiongkok berdasarkan, tanggal lahir, musim pada tanggal lahir tersebut, dan waktu kelahiran (dalam sichen) masih sering dipakai di dalam kebudayaan Tiongkok modern. Peramalan ini pun tidak bergantung pada pengamatan bintang secara langsung.
Peradaban Maya
Masyarakat Maya memiliki hubungan yang unik dengan berbagai benda-benda langit seperti Matahari, Bulan, planet-planet, konstelasi bintang, dan bahkan galaksi Bima Sakti. Untuk mengidentifikasi konsep astrologi bangsa Maya, maka perlu dijelaskan terlebih dahulu kaitan atau peran benda-benda langit tersebut dalam kebudayaan dan kepercayaan Bangsa Maya.
Dalam kebudayaan Maya, Matahari adalah salah satu benda langit paling penting. Matahari disimbolisasikan dalam beberapa jenis hewan seperti, burung makau merah, burung kolibri, dan puma.
Dewa Matahari dalam kepercayaan Maya bernama Kinich Ahau. Kinich Ahau merupakan salah satu dewa terkuat dalam kepercayaan Maya dan dikaitkan dengan Itzamna, salah satu sosok pencipta dalam kepercayaan Maya.
Kinich Ahau akan bersinar sepanjang hari sebelum berubah bentuk menjadi jaguar di malam hari untuk melewati XibalbaI, nama dari dunia bawah dalam kepercayaan Maya.
Bulan dalam kebudayaan masyarakat Maya hampir memiliki peran yang sama pentingnya dengan Matahari. Umumnya Bulan diidentikan dengan unsur feminin dalam kebudayaan Maya, meskipun terdapat juga penggambaran maskulin dari bulan dalam peninggalan-peninggalan seni di Meksiko tengah bahkan terdapat juga penggambaran yang menggambarkan Bulan memiliki unsur maskulin dan feminin sekaligus.
Penggambaran feminin dari Bulan adalah Dewi Ix Chel yang juga merupakan istri dari sosok pencipta Itzamna. Dewi Ix Chel sering kali dihubungkan dengan aktivitas yang biasanya dilakukan atau hanya terjadi pada kaum wanita seperti menenun, memintal, dan melahirkan.
Sementara itu, penggambaran maskulin Bulan dalam kebudayaan masyarakat maya berkaitan dengan peran laki-laki dalam masyarakat seperti bermain bola, atau kependetaan. Seperti matahari dan planet-planet, dinasti Maya juga sering kali mengklaim bahwa mereka merupakan titisan dari bulan.
Oseania
Di wilayah Polinesia, ahli astronomi tradisional yang berasal dari masyarakat di kepulauan ini terbagi ke dalam dua jenis: Sang pengamat langit yang bertugas mengawasi langit untuk melihat pertanda, menyelaraskan kalender, mengatur ritual kepercayaan dan festival, dan satunya lagi adalah Sang penunjuk jalan yang bertugas sebagai ahli navigasi di laut yang menjalankan tugasnya dengan memanfaatkan berbagai pertanda termasuk benda-benda langit.
Di Selandia Baru, suku Maori mengenal suatu kedudukan dalam tingkatan sosial mereka yang diberi nama tohunga kokrangi, tugas dari tohunga kokorangi adalah mengamati langit, termasuk pengukuran posisi benda-benda langit dan memprediksi pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat.
Salah satu praktik kebudayaan yang dilakukan oleh suku Maori adalah pengamatan okultasi bulan– ketika bulan lewat secara langsung di depan sesuatu yang mereka anggap bintang–yang merupakan salah satu pembacaan pertanda terkait militer yang sulit. Sebagai contoh, jika bintang muncul kembali setelah bulan melewatinya, maka masyarakat Maori mengartikan bahwa akan terdapat benteng yang akan diduduki.
Tohunga kokorangi akan terus mengawasi langit untuk mendapatkan pertanda serta mencoba berkomunikasi dengan ruh-ruh atau dewa-dewa yang ada di langit. Jika nantinya tohunga kokorangi melihat pertanda bahaya seperti contohnya komet, ia kemudian akan mengucapkan mantra tertentu untuk menetralisir ancaman dan melindungi. (Hilal)