linimassa.id – Semakin hari semakin langka becak yang bisa ditemukan di sekitar kita. Sebelum benar-benar langka, mari cari tahu sejak kapan ada becak?
Sebenarnya, awal mula becak belum jelas sejak kapan dikenal di Indonesia. Lea Jellanik dalam Seperti Roda Berputar menulis becak didatangkan ke Batavia dari Singapura dan Hongkong pada 1930-an.
Jawa Shimbun terbitan 20 Januari 1943 menyebut becak diperkenalkan dari Makassar ke Batavia pada akhir 1930-an.
Ini diperkuat dengan catatan perjalanan seorang wartawan Jepang ke berbagai daerah di Indonesia, termasuk Makassar.
Versi Time Indonesia, sejarah alat transportasi becak yangy makin langka ini berawal dari sebuah bentuk kesetiaan seorang suami kepada istrinya.
Sekitar tahun 1865, adalah seorang misionaris Amerika, Jonathan Goble. Dia berupaya membuat sebuah alat bantu jalan untuk istrinya, Eliza Weeks. Istrinya mengalami kelumpuhan, ide itu muncul saat Goble jalan-jalan di Yokohama, Jepang.
Dia menggambar sketsa kereta kecil tanpa atap di atas selembar kertas. Sketsa tersebut dikirimkan kepada seorang sahabatnya, Frank Pollay.
Rancangan tersebut lalu diserahkan ke seorang pandai besi bernama Obadiah Wheeler. Jadilah sebuah kendaraan yang ditarik oleh tenaga manusia. Orang-orang Jepang menyebutnya Jinrikisha.
Keberadaan jinrikisha menarik perhatian sejumlah bangsawan di Jepang. Jinrikisha kemudian identik dengan kendaraan para bangsawan.
Sejak 1870, pemerintah Jepang memberikan lisensi kepada tiga orang Jepang: Izumi Yosuke, Suzuki Tokujiro, dan Takayama Kosuke untuk membuat jinrikisha.
Popularitas jinrikisha menyeberang ke kota-kota di daratan China. Melintasi Asia Selatan (India), Asia Tenggara, bahkan hingga ke Afrika Selatan.
Dalam perkembangannya, jinrikisha tak lagi dioperasikan dengan cara ditarik melainkan dikayuh (cycle-rickshaw).
Di Indonesia, jinrikisha mengalami modifikasi. Berawal dari seorang Seiko-san, pemiliki toko sepeda di Makasar. Dia modifikasi jinrikisha menjadi alat transportasi roda tiga.
Modifikasi tersebut dilakukan, karena penjualan sepeda angin miliknya mengalami hambatan dan penumpukan.
Dia memutar otak agar tumpukan sepeda yang tak terjual bisa berkurang dan terciptalah sebuah alat transportasi baru beroda tiga.
Menurut Lea Jellanik dalam buku ‘Seperti Roda Berputar’. Dia menuliskan jinrikisha awalnya didatangkan ke Batavia dari Singapura dan Hongkong pada 1930-an.
Jawa Shimbun terbitan 20 Januari 1943 menyebut alat transportasi roda tiga ini diperkenalkan dari Makassar ke Batavia Akhir 1930-an.
Ini diperkuat dengan catatan perjalanan seorang wartawan Jepang ke berbagai daerah di Indonesia, termasuk Makassar.
Kata Becak berasal dari betjak/betja/beetja. Kata ini baru digunakan pada 1940 ketika becak mulai digunakan sebagai kendaraan umum. Kata Becak berasal dari bahasa Hokkien yakni ‘Be Chia’ yang artinya kereta kuda.
Dalam catatan berjudul “Pen to Kamera” terbitan 1937 itu disebutkan becak ditemukan orang Jepang yang tinggal di Makassar bernama Seiko-san yang memiliki toko sepeda.
Karena penjualan seret, pemiliknya memutar otak agar tumpukan sepeda yang tak terjual bisa dikurangi. Dia membuat kendaraan roda tiga, dan terciptalah becak.
Asal tahu, becak dari bahasa Hokkien: be chia berarti kereta kuda. Ini adalah moda transportasi beroda tiga yang umum ditemukan di Indonesia dan juga di sebagian Asia.
Kapasitas normal becak adalah dua penumpang dan pengemudi. Masuk ke Indonesia pertama kali pada awal abad ke-20 untuk keperluan pedagang Tionghoa mengangkut barang.
Di 1937, demikian tertulis dalam Star Weekly, becak dikenal dengan nama “roda tiga” dan kata betjak/betja/beetja baru digunakan pada 1940 ketika becak mulai digunakan sebagai kendaraan umum.
Awalnya pemerintah kolonial Belanda merasa senang dengan transportasi baru ini. Namun belakangan pemerintah melarang keberadaan becak karena jumlahnya terus bertambah, membahayakan keselamatan penumpang, dan menimbulkan kemacetan.
Jumlah becak justru meningkat pesat ketika Jepang datang ke Indonesia pada 1942. Kontrol Jepang yang sangat ketat terhadap penggunaan bensin serta larangan kepemilikan kendaraan bermotor pribadi menjadikan becak sebagai satu-satunya alternatif terbaik moda transportasi di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya.
Bahkan penguasa membentuk dan memobilisasi kelompok-kelompok, termasuk tukang becak, demi kepentingan perang melalui pusat pelatihan pemuda, yang mengajarkan konsep politik dan teknik organisasi.
Becak dilarang untuk beroperasi di Jakarta karena alasan tidak manusiawi atas dasar Perda 11 Tahun 1988, yang di dalamnya tercantum bahwa kendaraan resmi hanya kereta api, taksi, bis, dan angkutan roda tiga bermotor.
Becak setelah berkembang di Batavia/Jakarta kemudian berkembang ke Surabaya pada tahun 1940, Jawa Shimbun terbitan 20 Januari 1943 menyebut becak diperkenalkan dari Makassar ke Batavia akhir 1930-an.
Pasca perang, ketika jalur dan moda transportasi kian berkembang, becak tetap bertahan. Bahkan ia menjadi transportasi yang menyebar hampir di seluruh Indonesia.
Pada pertengahan hingga akhir 1950-an ada sekira 25.000 hingga 30.000 becak di Jakarta. Jumlah becak membengkak dan pada tahun 1966 jumlah becak ada 160 ribu –jumlah tertinggi dalam sejarah.
Gubernur Ali Sadikin mengeluarkan aturan mengenai larangan total angkutan yang memakai tenaga manusia, membatasi beroperasinya becak, dan mengadakan razia mendadak di daerah bebas becak.
Kebijakan serupa dilanjutkan oleh gubernur-gubernur berikutnya: Suprapto, Wiyogo Atmodarminto, Suprapto, dan Sutiyoso.
Becak dianggap biang kemacetan, simbol ketertinggalan kota, dan alat angkut yang tak manusiawi.
Di sisi lain, becak juga mulai menghadapi pesaing dengan kehadiran ojek motor, mikrolet, dan metromini.
Pada 1980, misalnya, pemerintah mendatangkan 10.000 minica (bajaj, helicak, minicar) untuk menggantikan 150.000 becak.
Pemerintah ketika itu memprogramkan para tukang becak beralih profesi menjadi pengemudi kendaraan bermotor itu. Bahkan pemerintah menggaruk becak dan membuangnya ke Teluk Jakarta untuk rumpon, semacam rumah ikan. Karena sulit, Gubernur Suprapto sampai bilang: “becak-becak akan punah secara alamiah.”
Popularitas jinrikisha menyeberang ke kota-kota di daratan China. Melintasi Asia Selatan (India), Asia Tenggara, bahkan hingga ke Afrika Selatan.
Dalam perkembangannya, jinrikisha tak lagi dioperasikan dengan cara ditarik melainkan dikayuh (cycle-rickshaw).
Itulah seputar becak. Akankah becak menghilang tergeser transportasi yang lebih modern? (Hilal)