SERANG, LINIMASSA.ID – Terkait polemik di SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, akademisi dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Ahmad Sururi, turut memberikan pandangannya.
Meskipun persoalan antara pihak sekolah dan siswa yang terlibat telah diselesaikan secara kekeluargaan, Sururi menilai insiden ini membuka tabir persoalan yang lebih dalam: menurunnya penghormatan terhadap profesi guru, terutama dari kalangan siswa.
Menurut Sururi, melihat apa yang terjadi di SMAN 1 Cimarga, guru tidak sekadar pengajar, namun juga sosok pendidik yang memikul tanggung jawab moral dan kelembagaan dalam membentuk karakter peserta didik.
Sebaliknya, siswa pun memiliki kewajiban untuk menghormati gurunya, termasuk menaati tata tertib sekolah seperti larangan merokok di lingkungan pendidikan. “Menjadi memprihatinkan ketika guru merasa tidak aman dan tidak dihargai. Ini berpotensi melemahkan upaya membangun karakter siswa di sekolah,” ujar Sururi, Rabu 15 Oktober 2025.
Ia juga menilai bahwa kasus di SMAN 1 Cimarga ini mencerminkan adanya kelemahan struktural dalam pengelolaan pendidikan di daerah.
Kenakalan remaja yang terjadi secara terbuka di ruang publik, menurutnya, menunjukkan perlunya evaluasi sistemik terhadap ekosistem pendidikan di Banten.
Tolak Kekerasan di SMAN 1 Cimarga
Kendati demikian, Sururi menolak pembenaran terhadap segala bentuk kekerasan fisik dalam proses pembinaan siswa. Ia mendorong agar kasus SMAN 1 Cimarga dijadikan momentum untuk melakukan pembenahan menyeluruh pada kebijakan pendidikan.
Hal ini menurutnya, guna menciptakan keseimbangan antara perlindungan terhadap siswa dan penghormatan terhadap guru.
“Guru harus diberi ruang dan dukungan untuk menanamkan nilai disiplin tanpa merasa terancam atau takut dilaporkan secara hukum,” tegasnya.
Sururi juga menekankan pentingnya peran pemangku kebijakan pendidikan di Banten untuk memberikan perlindungan hukum serta dukungan kelembagaan kepada para guru dalam menjalankan fungsinya sebagai pendidik.
“Proses pembentukan karakter siswa baik di SMAN 1 Cimarga atau di sekolah manapun tidak akan berjalan maksimal jika guru selalu dalam posisi tertekan atau rentan terhadap kriminalisasi. Karena itu, diperlukan keseimbangan antara otoritas pendidikan, perlindungan lembaga, dan budaya masyarakat yang menjunjung tinggi martabat guru,” tutupnya.



