linimassa.id – Kebaya menjadi identitas wanita Indonesia. Walaupun dikenal sebagai budaya dari Jawa, ternyata kebaya memiliki cerita tersendiri. Yuk disimak.
Penggunaan kata kebaya merujuk pada sejenis pakaian bagian atas yang secara tradisional dikenakan oleh wanita di Asia Tenggara, terutama di Indonesia. Bukan hanya di Indonesia ternyata Malaysia, Brunei, dan Singapura juga memiliki baju jenis ini.
Kebaya juga dikenakan di daerah di luar Asia Tenggara, yakni pemakaian oleh orang Orang Jawa, Melayu dan orang Eurasia Portugis di Kepulauan Cocos, Pulau Natal, pesisir India dan Sri Lanka, Makau serta Afrika Selatan.
Umumnya, kebaya memiliki karakteristik terbuka di bagian depan dan dibuat secara tradisional dari kain ringan seperti brokat, katun, kasa, renda, atau voile, dan terkadang dihiasi sulaman.
Bagian depan diamankan dengan kancing, pin, atau bros. Sedangkan pakaian bagian bawah untuk pakaian ini biasanya dikenal sebagai sarung, kemben atau sepotong kain panjang yang dililitkan di pinggang dan dapat berupa batik, ikat, songket atau tenun
Meski dipakai di berbagai negara, kebaya secara resmi diakui sebagai pakaian nasional dan juga ikon busana Indonesia.
Meskipun juga penggunaan kebaya hanya dipakai di Jawa, Sunda dan orang Bali secara berkala, namun di Malaysia, Singapura dan Brunei, kebaya diakui sebagai salah satu pakaian etnis terutama di kalangan komunitas etnis Melayu dan peranakan.
Kebaya biasanya dikenal di wilayah tersebut sebagai “sarung kebaya” yang berasal dari penamaan komponen lengkapnya. Gaya sarung kebaya ini bervariasi antara satu tempat dengan tempat lainnya.
Kebaya telah menjadi ikon mode Asia Tenggara, dengan banyak maskapai penerbangan berbendera Asia Tenggara termasuk Singapore Airlines, Malaysia Airlines, Royal Brunei Airlines dan Garuda Indonesia telah mengadopsi pakaian tradisional ini sebagai seragam untuk pramugari.
Awal Mula
Sekadar informasi, istilah “kebaya” diyakini berasal dari kata serapan Arab kaba atau qaba yang berarti “pakaian”. Istilah ini tidak jauh berhubungan dengan kata Arab abaya yang berarti jubah atau garmen longgar. Istilah tersebut kemudian diperkenalkan ke Nusantara melalui kata serapan dari bahasa Portugis, cabaya.
Asal-usul kebaya diduga berasal dari Timur Tengah dikarenakan komposisi akar budayanya. Hal ini dibuktikan dengan adanya keterkaitan kebaya dengan qaba dari Arab yang merupakan sejenis jubah panjang kendur yang dikemukakan oleh orientalis Henry Yule dan Arthur Burnell pada 1886.
Pakaian-pakaian dari tanah Arab memang sudah dikenal sejak abad ke-7 masehi, beberapa jejak sejarah bahkan menunjukkan bahwa Nabi Islam Muhammad mendapatkan hadiah berupa aqbiya (yang merupakan bentuk jamak dari qaba) dalam beberapa kejadian.
Banyak ahli berpendapat bahwa orang Persia merupakan asal-usul utama dari qaba. Selain itu dengan adanya penyebaran agama Islam melalui proses perdagangan dan sebagainya, tata busana seperti ini tidak lagi hanya ditemukan di tanah Arab, tetapi juga di tanah Persia, Turki, dan Urdu.
Dilihat bentuk fisiknya, banyak sumber yang menyatakan, kebaya berasal dari busana Muslim yang dinamai sebagai qaba, habaya, al akibiya al turkiyya dan djubba. Klaim bahwa kebaya kemungkinan berasal dari Dunia Arab sangatlah mungkin, sebagaimana Islam merambah ke Dunia Melayu pada abad ke-15 masehi dan para wanita Melayu mulai mengikuti norma busana Islamik.
Sebelum adanya Islam, para penduduk wanita memang memakai pakaian dengan helai yang lebih sedikit karena kelembapan dan iklim yang panas dan agama pra-Islamik di tanah Melayu tidak melarang hal seperti itu.
Kebaya dikenakan perempuan bangsawan Jawa pada abad ke-19. Beberapa sumber lain menyatakan, bentuk paling awal kebaya berasal dari istana Kerajaan Majapahit yang dikenakan para permaisuri atau selir raja, sebagai sarana untuk memadukan pakaian kemben perempuan yang sudah ada–yaitu kain pembebat dan penutup dada perempuan bangsawan–menjadi lebih sopan dan dapat diterima.
Sebelum adanya pengaruh Islam, masyarakat Jawa pada abad ke-9 telah mengenal beberapa istilah untuk mendeskripsikan jenis pakaian, seperti kulambi (bahasa Jawa: klambi, baju), sarwul (bahasa Jawa: sruwal, celana), dan ken (kain atau kain panjang yang dililit di pinggang).
Selama periode terakhir Kerajaan Majapahit, pengaruh Islam mulai berkembang di kota-kota pesisir utara Jawa sehingga perlu penyesuaian busana Jawa dengan agama Islam yang baru dipeluknya.
Blus yang dirancang khusus, sering dibuat dari kain tipis yang halus, dikenakan setelah kemben untuk menutupi bagian belakang, bahu dan lengan, agar wanita istana terlihat lebih sopan.
Adopsi busana yang lebih sopan dikaitkan dengan pengaruh Islam di Nusantara. Aceh, Riau, Johor, dan Sumatra Utara mengadopsi gaya kebaya Jawa sebagai sarana ekspresi status sosial dengan penguasa Jawa yang lebih alus atau halus.
Versi lain menyebut, kebaya telah dicatat oleh Portugis saat mendarat di Indonesia. Kebaya dikaitkan dengan jenis blus yang dikenakan oleh wanita Indonesia pada abad ke-15 atau 16.
Sebelum tahun 1600, kebaya di pulau Jawa dianggap sebagai pakaian khusus yang hanya untuk dikenakan oleh keluarga kerajaan, bangsawan, dan priyayi.
Kemudian banyak yang berpendapat, kebaya berkaitan dengan pakaian tunik perempuan pada masa Dinasti Ming di China. Kebaya sampai ke Nusantara setelah terjadi migrasi besar-besaran dari China.
Pada masa penjajahan Belanda, Kebaya digunakan sebagai busana resmi wanita Eropa. Saat itu, kebaya hanya menggunakan bahan tenun mori.
Pada abad ke-19, kebaya menjadi pakaian sehari-hari bagi semua kelas sosial. Baik perempuan Jawa maupun peranakan Belanda.
Kebaya juga diadopsi oleh masyarakat umum, khususnya para petani wanita di Jawa. Hingga hari ini di desa-desa pertanian di Jawa, para petani wanita masih menggunakan kebaya sederhana, khususnya di kalangan wanita tua.
Kebaya sehari-hari yang dikenakan oleh petani terbuat dari bahan sederhana dan dikancingkan dengan jarum sederhana atau peniti.
Kebaya perlahan-lahan menyebar ke daerah-daerah tetangga melalui perdagangan, diplomasi, dan interaksi sosial ke Malaka, Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Kesultanan Sulu, dan Mindanao.
Kebaya Jawa seperti yang ada sekarang telah dicatat oleh Thomas Stamford Bingley Raffles pada 1817, sebagai sutra, brokat dan beludru, dengan pembukaan pusat dari blus diikat oleh bros, bukan tombol dan tombol-lubang di atas batang tubuh bungkus kemben, kainnya — pembungkus tanpa jahitan yang panjangnya beberapa meter, keliru diberi istilah sarong di Inggris (sarung, aksen Malaysia: sarong) yang dijahit untuk membentuk tabung, seperti pakaian Barat.
Bukti fotografi paling awal tentang kebaya yang dikenal saat ini berasal dari tahun 1857 yang bergaya Jawa, Peranakan, dan Oriental
Pada kuartal terakhir abad ke-19, kebaya telah diadopsi sebagai busana yang disukai wanita di Hindia Belanda yang beriklim tropis, baik dikenakan oleh pribumi Jawa, kolonial Europa dan orang Indo, serta Tionghoa Peranakan.
Di Indonesia, kebaya memiliki ragam. Seperti kebaya Kartini yang digunakan oleh wanita bangsawan Jawa, kebaya Kutubaru, kebaya Jawa, kebaya Encim yang menunjukkan adanya budaya China, dan kebaya Modern yang sudah dimodifikasi.
Kebaya sempat menjadi pakaian wajib perempuan Belanda yang berdatangan ke Hindia Belanda (Indonesia).
Kebaya juga pernah mengalami kemerosotan status pada masa penjajahan Jepang. Waktu itu, kebaya diasosiasikan sebagai pakaian yang dikenakan oleh pribumi tahanan dan pekerja paksa perempuan.
Di masa kemerdekaan, kebaya dan kain batik menjadi simbol perjuangan dan nasionalisme. Nilai dan status kebaya kembali naik dan dijadikan sebagai busana di acara resmi maupun kenegaraan.
Kebaya memiliki makna memikat, menarik hati, indah dan mempesona. Terlepas dari sejarah naik turunnya pamor kebaya, perkembangan kebaya sangat bervariasi.
Kini, kebaya berkembang bukan hanya sebagai busana resmi. Banyak desainer yang melakukan terobosan dengan memadupadankan kebaya dengan bawahan, aksesori, maupun motif yang lebih kasual.
Kebaya juga tak melulu diasosiasikan sebagai busana ibu-ibu. Kebaya telah meluas penggunaannya hingga bagi para remaja juga. (Hilal)