linimassa.id – Kasus korupsi di Indonesia dari tahun ke tahun tidak pernah sepi. Sebagai umat muslim yang menduduki peringkat pertama terbanyak di Indonesia, seharunsya paham kalau Islam sangat melarang untuk melakukan perilaku ini.
Dilansir dari laman Islam NU, tindak pidana perbuatan yang sangat merugikan negara ini secara tegas sudah disebutkan dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Pada zaman Nabi Muhammad saw, sudah ditemukan sejumlah kasus korupsi dalam beberapa bentuknya. Nabi saw kemudian mewanti-wanti kepada para umatnya agar perbuatan tercela ini dihindari betul-betul.
Salah satunya adalah saat beliau mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman untuk membina masyarakat setempat mengenai zakat. Sebelum berangkat, Rasul sempat berpesan kepada Mu’adz agar tidak korupsi sesampainya di sana.
Nabi saw kemudian mengingatkan Mu’adz bahwa orang yang melakukan tindakan korupsi kelak akan memperoleh balasan dosanya di hari kiamat. Peristiwa ini direkam oleh hadits riwayat Imam At-Tirmizi berikut. Diriwayatkan:
عن معاذ بن جبل قال بعثني رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى اليمن فلما سرت أرسل في أثري فرددت فقال أتدري لم بعثت إليك لا تصيبن شيئا بغير إذني فإنه غلول ومن يغلل يأت بما غل يوم القيامة لهذا دعوتك فامض لعملك
Artinya, “Dari Mu’az bin Jabal, ia berkata, ‘Rasulullah saw mengutus saya ke Yaman. Ketika saya baru berangkat, beliau memerintahkan seseorang untuk memanggil saya kembali. Maka saya pun kembali dan beliau berkata, ‘Apakah engkau tahu aku mengirimmu orang untuk kembali? Janganlah kamu mengambil sesuatu tanpa izin saya, karena hal itu adalah ghulul (korupsi). Dan barangsiapa berlaku ghulul, maka ia akan membawa barang yang digelapkan atau dikorupsi itu pada hari kiamat. Untuk itulah aku memanggilmu. Sekarang berangkatlah untuk tugasmu.’” (HR At-Tirmidzi)
Ayat yang Nabi kutip pada hadits di atas adalah firman Allah ta’ala surat Ali Imran ayat 161 sebagai berikut:
وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ اَنْ يَّغُلَّ ۗوَمَنْ يَّغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ ۚ ثُمَّ تُوَفّٰى كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُوْنَ
Artinya, “Dan tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang). Barangsiapa berkhianat, niscaya pada hari Kiamat dia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu. Kemudian setiap orang akan diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang dilakukannya, dan mereka tidak didzalimi.” (QS. Ali Imran: 161).
Imam ath-Thibi mengatakan, maksud ‘barang yang digelapkan atau dikorupsi itu pada hari kiamat’ pada ayat di atas adalah, kelak dosa koruptor diwujudkan dalam bentuk seekor unta yang menjerat leherhnya.
Hal ini mengacu pada hadits Nabi riwayat Imam Ahmad berikut. Diriwayatkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَامَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فَذَكَرَ الْغُلُولَ فَعَظَّمَهُ وَعَظَّمَ أَمْرَهُ ثُمَّ قَالَ لَا أُلْفِيَنَّ يَجِيءُ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ بَعِيرٌ لَهُ رُغَاءٌ فَيَقُولُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي فَأَقُولُ لَا أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا
“Dari Abu Hurairah, dia berkata, ‘Pada suatu hari Rasulullah saw berada di tengah tengah kami, lalu beliau menyebut-nyebut tentang ghulul dan menganggap hal itu bukan perkara enteng, kemudian Rasul bersabda, ‘Aku belum pernah mendapatkan seorang dari kalian pada hari kiamat yang pada lehernya terdapat seekor unta yang bersuara.’” (HR Muslim). (Al-Mula Ali al-Qari, Mirqatul Mafatih, juz VI, halaman 2435).
Kecurigaan
Berkaitan dengan sebab turunnya ayat di atas terjadi perbedaan pendapat, meski konteksnya sama yaitu berkaitan dengan kasus korupsi (ghulul). Sebagian riwayat menjelaskan, sebab turun ayat ini adalah kecurigaan sebagai kelompok terhadap Nabi atas pembagian harta perang.
Dikisahkan, pada satu peperangan (tidak disebutkan nama perangnya) Nabi membagi harta rampasan. Agar tertib, ada sebagian yang Nabi saw akhirkan jatahnya. Kamudian sekelompok orang tida-tiba mendatangi Nabi dan menyuarakan protes, “Apakah kami tidak mendapat jatah?!” Nabi kemudian menjawab, “Andaikan hak kalian senilai gunung emas, niscaya aku tidak akan menyembunyikannya satu dirham pun. Apakah kalian kira saya melakukan korupsi atas ghanimah?” Riwayat lain mengatakan, ayat di atas turun pada tahun 2 H di momen Perang Badar.
Dikisahkan, usai perang para sahabat kehilangan sebuah rampasan perang (ghanimah) berupa beludru merah. Kemudian, sebagian orang menaruh curiga terhadap Rasulullah saw. “Jangan-jangan Rasulullah yang mengambilnya,” kata orang tersebut.
Sebagian riwayat mengatakan, ayat di atas turun pada tahun 625 M bertepatan dengan momen Perang Uhud. Dikisahkan, saat itu Nabi kecewa dengan pasukan pemanah yang tidak mematuhi instruksi beliau karena tergiur harta rampasan perang sehingga mereka melalaikan tugasnya.
Hal ini yang kemudian menjadi celah bagi musuh untuk melakukan serangan telak. Akibat hal itu, Nabi berkata kepada mereka, “Apakah kalian kira saya akan berbuat korupsi atas harta rampasan ini?” (Ar-Razi, Tafsirul Kabir, juz IX, halaman 71)
Dilarang
Secara tegas, Allah SWT menyatakan larangan memakan harta dengan cara batil (QS al-Baqarah [2]: 188). Demikian pula Rasulullah SAW telah memperingatkan kepada umatnya tentang bahaya dan maraknya dosa korupsi sejak lima belas abad yang lalu.
Dalam sebuah riwayat yang dinilai valid, Nabi SAW bersabda, “Sungguh akan datang kepada manusia suatu zaman, yang saat itu seseorang tidak peduli lagi dari mana dia mendapatkan harta, apakah dari jalan halal atau jalan haram.” (HR Bukhari).
Republika menuliskan, harta yang diperoleh dengan cara yang halal saja akan menyebabkan siksa keras jika pemiliknya tidak menginfakkannya di jalan Allah. Harta yang diperolehnya itu semata-mata dikumpulkan dan disimpan hanya untuk bermegah-megahan saja.
Menuruti nafsu mencapai kesenangan duniawi. Sementara kewajiban menunaikan infak, zakat, sedekah, dan wakaf sama sekali ditinggalkan.
Dalam Alquran, ancaman bagi orang seperti itu adalah neraka jahanam (QS at-Taubah [9]: 34-35). Jadi, harta yang didapatkan dengan cara halal, tapi tidak digunakan di jalan Allah, ancaman siksaannya begitu dahsyat dan pedih. Apalagi, jika harta itu diperoleh dengan cara batil dan haram, seperti korupsi, merampok, riba, suap, dan lain-lain.
Dalam kitab Hudud, orang yang mencuri tameng seharga tiga dirham saja, hukumannya potong tangan. Demikian juga bagi pencuri sebutir telur dan seutas tali, selain dipotong tangannya, ia juga mendapat laknat dari Allah SWT. (HR Bukhari dan Muslim).
Bagaimana dengan korupsi hingga jutaan, miliaran, dan triliunan rupiah, tentu saja hukuman berupa potong tangan itu lebih layak diterimanya. Sehingga tidaklah aneh, jika belakangan ini muncul pula usulan hukuman mati bagi para koruptor itu.
Dari Jabir bin Abdillah RA, Rasulullah SAW bersabda: “Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari makanan haram.” (HR Ibn Hibban).
Berdasarkan keterangan nash tersebut, mengambil dan memakan harta dengan cara batil seperti korupsi adalah dosa besar. Pelakunya layak dilemparkan ke neraka jahanam dan tidak akan masuk surga.
Kecuali kalau dirinya segera bertobat, beristighfar, beriman dan beramal baik. Selain itu, ia pun benar-benar menyesali perbuatannya dan berazam untuk tidak melakukannya kembali.
Azab bagi pelaku korupsi tidak hanya di akhirat, di dunia saja akan merasakan kehinaan dan penderitaan hidup. Harta yang tadinya melimpah itu perlahan-lahan berkurang, bahkan habis tidak tersisa karena terkuras untuk biaya pengobatan penyakit yang dideritanya.
Dan boleh jadi, dalam waktu yang singkat hidupnya menjadi melarat. Sebab, harta hasil korupsinya itu disita negara. Selain itu, harus menanggung hukuman sosial. (Hilal)