linimassa.idlinimassa.id
  • News
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Bisnis
  • Gaya Hidup
  • Khazanah
  • Berita Video
Reading: Hari Puputan Badung Bali Diperingati Setiap 20 September
linimassa.idlinimassa.id
  • News
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Bisnis
  • Gaya Hidup
  • Khazanah
  • Berita Video
Cari di sini
  • News
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Bisnis
  • Gaya Hidup
  • Khazanah
  • Berita Video
Punya akun? Sign In
Follow US
  • Disclaimer
  • Privacy
  • Redaksi
  • Info Iklan
© 2023 linimassa.id. Designed by dezainin.com
linimassa.id > Indeks > Pendidikan > Hari Puputan Badung Bali Diperingati Setiap 20 September
Pendidikan

Hari Puputan Badung Bali Diperingati Setiap 20 September

Hilal Ahmad 23 September 2023
Share
waktu baca 6 menit
Monumen Puputan Badung Bali.
Monumen Puputan Badung Bali.
SHARE

linimassa.id – Setiap 20 September diperingati sebagai Hari Puputan Badung Bali. Pemerintah menetapkan ini sebagai peringatan terhadap peristiwa heroik perlawanan rakyat Badung Bali terhadap armada pasukan Belanda yang dikenal dengan nama Perang Puputan.

Contents
VersiBlokadeGugur

Perang Puputan itu berlangsung pada 1906. istilah Puputan berasal dari kata “puput” yang berarti selesai, habis atau mati.

Versi budaya, puputan adalah tradisi masyarakat Bali dalam berperang yang dilakukan dengan pantang menyerah dan secara habis-habisan.

Penyebab terjadinya perang ini karena permasalahan kecil antara seorang pedagang dari China bernama Kwee Tek Tjiang dan masyarakat Badung.

Sebelum pecah pertempuran, permasalahan datang ketika Kwee Tek Tjiang, yang kapal dagangnya berbendera Belanda, terdampar di Sanur pada Mei 1904. Setelah terdampar, mereka melakukan pembongkaran dan meminta Syahbandar Sanur untuk menjaga barangnya.

Saat melakukan pengecekan, Kwee Tak Tjieng membuat laporan palsu bahwa uangnya dalam jumlah besar telah dicuri. Ia lantas menghadap Raja Badung untuk meminta ganti rugi dengan nominal lebih besar.

Raja Badung bersumpah bahwa rakyatnya tidak ada yang mencuri sehingga enggan untuk memberi ganti rugi. Permasalahan ini menjadi rumit hingga terdengar oleh pemerintah kolonial Belanda.

Gubernur Hindia Belanda, Van Heutsz, tidak terima dengan sikap penguasa Kerajaan Badung dan siap membalasnya dengan melakukan blokade ekonomi hingga mengirim ekspedisi militer ke Bali.

Raja Badung saat itu, I Gusti Ngurah Made Agung, tetap yakin dengan kejujuran rakyatnya dan berpegang teguh pada pendiriannya.

I Gusti Ngurah Made Agung pun tidak gentar dengan ultimatum dari pemerintah kolonial Belanda yang berlaku sampai 9 Januari 1905.

- Advertisement -
Ad imageAd image

Karena ultimatumnya tidak dipenuhi, pemerintah kolonial Belanda mengirim pasukan angkatan laut untuk memblokade perairan di sekitar Badung.

 

Versi

Versi Belanda, kapal itu dijarah. Lain lagi versi warga Sanur, Serangan dan Suwung, yang mengaku kapal itu terhempas dan tidak berisi muatan berharga.

Tidak seperti Jawa dan Sumatra, pemerintah kolonial Belanda belum benar-benar menguasai Bali.

Dari situlah mereka berusaha mencari kesalahan pemerintahan setempat demi berkuasa.

Belanda kemudian menuntut kerugian kepada raja Badung sebesar tiga ribu ringgit atau sekitar kurang lebih 7.500 gulden.

Sebelum mengiyakan, raja Badung melakukan peneyelidikan dengan saksama mengenai tuduhan tersebut.

Dari penyelidikannya ia tidak menemukan kesalahan dari warga Sanur, justru yang ada para warga menolong menyelamatkan penumpang kapal layar itu.

Bahkan warga sampai bersumpah di pura kalau tidak merampas apapun milik kapal Sri Komala.

Persoalan tersebut berlarut-larut hingga tahun 1906. Pada 12 September 1906, utusan Belanda yang terakhir menghadap raja Badung saat itu, I Gusti Ngurah Made Agung, dengan memberikan ultimatum.

Belanda siap menyerang Badung jika saja tuntutannya tidak dipenuhi. Dengan jatuhnya Kayumas, maka tentara Belanda semakin mendekati Puri Denpasar.

Pada pagi buta tanggal 20 September 1906, kapal perang Belanda menyerang kota Denpasar dengan meriam secara terus menerus.

Pukul 7 pagi, tentara Belanda sudah masuk Denpasar. I Gusti Ngurah Made Agung pun berkesimpulan, Badung sudah tidak dapat dipertahankan.

 

Blokade

Aksi blokade yang dilakukan Belanda terbukti membuat Kerajaan Badung mengalami kerugian yang sangat besar. Ketegangan semakin meningkat ketika pihak Belanda memperbesar tuntutan biaya ganti rugi dengan menambahkan biaya blokade lautnya.

Belanda memberikan tenggat waktu hingga 1 September 1906, dan mengancam akan melakukan ekspansi militer apabila tuntutannya tidak dipenuhi.

Menolak tunduk terhadap Belanda, I Gusti Ngurah Made Agung tetap pada pendiriannya dan siap dengan berbagai risiko yang akan diterimanya.

Pada 12 September 1906, pemerintah kolonial Belanda akhirnya mengirim ekpedisi militernya ke Badung.

Perang Puputan Badung pecah pada 15 September 1906, yang membuat banyaknya jauth korban jiwa di pihak Badung.

Walau hanya bersenjatakan keris dan bambu runcing, laskar Badung pantang menyerah dan lebih memilih mati berperang daripada hidup dijajah.

Puncak Puputan Badung terjadi pada 20 September 1906, saat pasukan Belanda sampai di Puri Pemecutan dan menembakinya hingga mengalami kerusakan yang parah.

I Gusti Ngurah Made Agung beserta pengikut setianya bertempur hingga habis-habisan.

Tua, muda, laki-laki maupun perempuan, rakyat dan raja kemudian berperang tentara Belanda yang dilengkapi persenjataan yang jauh lebih modern.

Hasilnya tentu tak seimbang, puri Denpasar pun berhasil ditaklukkan setelah tentara Belanda menghabisi perlawanan rakyat Badung.

Dalam catatan Bali, sampai tiga ribuan yang meninggal orang Bali. Catatan Belanda menyebut seribu lima ratusan yang meninggal.

 

Gugur

Pada pertarungan sengit inilah, raja gugur bersama pasukannya dan sekaligus menandai berakhirnya Puputan Badung.

Untuk memeringati semangat para pejuang Bali saat itu, sebuah monumen yang dinamai Monumen Puputan Badung dibangun di jantung Kota Denpasar. Monumen Puputan Badung itu didirikan pemerintah pada 12 November 1997.

Monumen ini berupa tiga patung, yang terdiri dari perempuan, laki-laki, dan anak dengan pakaian serba putih memegang keris dan tombak sebagai senjata untuk berperang.

Bersamaan itu, diterbitkan Surat Keputusan Wali Kota Denpasar Tahun 2009 yang menetapkan nama lapangan dengan nama Lapangan Puputan Badung I Gusti Ngurah Made Agung yang biasa disebut dengan Lapangan Puputan Badung.

Sebagai pengingat sejarah, pemerintah Indonesia mendirikan Monumen Puputan Badung di Denpasar pada 12 November 1997.

Monumen ini berupa tiga patung, terdiri dari perempuan, laki-laki, dan anak dengan pakaian serba putih memegang keris dan tombak sebagai senjata untuk berperang. (Hilal)

Share This Article
Facebook X Whatsapp Whatsapp Telegram Copy Link Print
- Advertisement -
Ad imageAd image
- Advertisement -
Ad imageAd image
- Advertisement -
Ad imageAd image
- Advertisement -
Ad imageAd image
- Advertisement -
Ad imageAd image

Terkini

Kadin Cilegon minta jatah
Diduga Kadin Cilegon Minta Jatah Proyek Rp5 Triliun, Polda Banten Selidiki
News
Harga emas turun
Harga Emas Turun Rp21 Ribu, Kesempatan Buat Investasi
News
QRIS di Banten
Transaksi QRIS di Banten Capai Rp19.94 Triliun
Keuangan
Kejati dan Kejari di Banten
Kejati dan Kejari di Banten Bakal Dijaga Ketat
News
Investasi terbesar di Lebak
4 Negara Investasi Terbesar di Lebak, Segini Nilainya
News
linimassa.idlinimassa.id
Follow US
© 2023 linimassa.id. Designed by dezainin.com
  • Disclaimer
  • Privacy
  • Redaksi
  • Info Iklan
logo-linimassaid
Selamat datang kembali!

Login ke akunmu

Username or Email Address
Password

Lost your password?