linimassa.id – Pada 30 Agustus diperingati sebagai Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional. Ini adalah sebuah pengertian global untuk mengutuk tindakan kejam serta mendorong tindakan kolektif untuk melindungi martabat manusia dan hak asasi manusia.
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan peringatan ini sebagai seruan untuk melawan penculikan paksa secara brutal yang merampas Hak Asasi Manusia (HAM) dan merendahkan hakikat kemanusiaan.
Awal Mula
Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional diperingati setiap 30 Agustus. Pada 21 Desember 2010, Majelis Umum PBB, melalui Resolusi No. 65/209, menyatakan penghilangan paksa telah terjadi di banyak negara, sehingga hal ini menjadi masalah serius yang harus ditangani secara serius dan kolektif oleh komunitas internasional.
Upaya ini merupakan kelanjutan dari Deklarasi 18 Desember 1992 tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa.
Sejak deklarasi tersebut, Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa diratifikasi pada 20 Desember 2006. Konvensi ini bertujuan untuk mengisi kesenjangan kerangka hukum di tingkat global untuk mencegah dan menyelesaikan kasus penghilangan paksa di masa depan.
Kasus Penghilangan Paksa di Indonesia
Indonesia tidak terlepas oleh peristiwa penghilangan paksa. Pada tahun 1965/1966 terjadi pembantaian massal dan diperkirakan ratusan ribu orang hilang. Pola yang sama terjadi pada kasus Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, Penembakan Misterius, Darurat Militer Aceh, Wasior, Wamena, Abepura, pelanggaran HAM Timor Leste yang salah satunya mengakibatkan ribuan anak terpisah dari orang tuanya (stolen children).
Pada tahun 1997-1998 terjadi upaya masif penculikan aktivis pro demokrasi, yang hingga kini 13 orang aktivis tersebut masih dinyatakan hilang. Pada November 2016, Ruth Rudangta Sitepu yang merupakan seorang warga negara Indonesia dinyatakan hilang oleh otoritas Malaysia.
Angin segar setidaknya dapat dirasakan oleh keluarga korban penghilangan paksa. Rencana Ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa telah membuahkan kemajuan, dalam Audiensi Terbuka Dorongan Ratifikasi Konvensi Internasional Anti Penghilangan Paksa (25/08/2021) yang diinisiasi oleh Koalisi Sipil Anti Penghilangan Paksa, proses ratifikasi saat ini dalam tahap menunggu penandatanganan dari Presiden melalui Menteri Sekretaris Negara.
Berikut beberapa tragedy yang terkait peringatan hari ini:
- Hilangnya Aktivis Politik Tahun 1997-1998
Dilansir pada KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), penculikan dan penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998 terjadi pada Pemilihan Presiden Republik Indonesia (Pilpres) periode 1998-2003.
Ada dua agenda politik besar pada saat itu yakni Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1997 dan Sidang Umum Majelis Rakyat (MPR) pada bulan Maret 1998 untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang pada saat itu masih dijabat oleh Soeharto.
Kasus penculikan dan penghilangan paksa terjadi pada aktivis, generasi muda, dan mahasiswa yang ingin membela keadilan dan demokrasi pada masa pemerintahan Orde Baru.
Mereka yang mengkritik kebijakan pemerintah dipandang sebagai kelompok yang mengancam dan melemahkan wibawa negara.
Ide dan pemikiran mereka dipandang sebagai ancaman yang dapat mengganggu fungsi pemerintahan.
Terdapat 9 korban yang berhasil kembali dari penculikan, sedangkan 13 korban lainnya masih dinyatakan hilang dan belum dikembalikan hingga detik ini.
- Kasus Tanjung Priok 1984
Pada 10 September 1984, kabar tersebut tersebar di lingkungan Gang 4 Koja. Diberitakan pada 8 September 1984, seorang Babinsa (Bintara Pembina Desa) setempat bernama Sertu Hermanu memasuki musala tanpa melepaskan sepatunya.
Kabar tersebut semakin memicu kemarahan ketika terungkap bahwa Babinsa juga menggunakan air kotor dari selokan untuk menghapus pamflet berisi protes terhadap asas Pancasila dan kebijakan pemerintah lainnya yang ditempel di papan pengumuman mushola.
Sebelum penangkapan, situasi di Jakarta Utara, khususnya Tanjung Priok, sudah cukup panas. Sebab, karena banyaknya kajian agama yang menolak penerapan asas tunggal Pancasila, memihak etnis Cina dan kebijakan pemerintah lainnya, sehingga emosi dan semangat masyarakat untuk menentang pemerintah pun ikut melintas.
Memang, isu penghapusan Piagam Jakarta dan penerapan asas tunggal Pancasila sudah menjadi perbincangan hangat sejak awal 1980-an. Ulama dan mubaligh yang berkonsultasi memutuskan untuk menyelenggarakan serangkaian Tabligh Akbar di Jakarta dan sekitarnya.
Akibat ceramah-ceramah yang provokatif tersebut, emosi para peserta tabligh yang sebagian besar berasal dari kalangan bawah, terdiri dari berbagai suku dan tinggal di daerah padat penduduk, semakin tidak stabil dan muncul kericuhan.
Terdengar suara tembakan dari arah polisi yang menghadang, membuat massa panik saat tembakan diarahkan ke arah mereka. Durasi penembakan sekitar 5-10 menit. Banyak rekannya yang terjatuh akibat tembakan, ada yang luka-luka dan ada pula yang tewas di tempat.
Menurut Panglima ABRI saat itu, L.B. Moerdani mencatat 18 orang tewas dan 53 orang luka-luka, sedangkan laporan investigasi Komnas Perempuan menemukan 23 orang tewas, 36 orang luka-luka, dan 19 orang luka tidak dirawat, sehingga totalnya berjumlah 78 orang.
- Kasus Talangsari 1989
Dikutip dari detikSumut, kekerasan yang terjadi dalam konteks peristiwa Talangsari merupakan tindakan berlebihan yang dilakukan sebagai kelanjutan dari kebijakan pemerintahan Soeharto. Kebijakan ini terlihat pada penyerangan yang dilakukan tentara (ABRI) terhadap warga sipil.
Kasus ini dilanjutkan dengan persidangan, penangkapan, penyiksaan, penangkapan dan persidangan terhadap para korban dan pihak yang terlibat dalam kasus Talangsari.
Hasil survei pro-keadilan Komnas HAM (2006) menyebutkan adanya dugaan pelanggaran HAM berat seperti pembunuhan terhadap 130 orang, deportasi paksa 77 orang, perampasan kemerdekaan 53 orang, penyiksaan terhadap 46 orang dan penganiayaan terhadap sedikitnya 229 orang.
Pada 30 Agustus 2011, Majelis Umum PBB menetapkan Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional sebagai upaya untuk merawat ingatan kolektif serta dukungan moral terhadap keluarga korban yang ditinggalkan. Upaya ini adalah kelanjutan dari Deklarasi tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa yang dilangsungkan pada 18 Desember 1992.
Dari deklarasi tersebut, disahkanlah Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa pada 20 Desember 2006. Konvensi ini bertujuan untuk mengisi kekosongan kerangka hukum di tingkat global guna mencegah serta menyelesaikan kasus-kasus penghilangan paksa terjadi di masa depan.
Penghilangan paksa menjadi masalah global yang terjadi di banyak negara yang militerisme dan otoritarianismenya kuat. Secara umum, dalam kasus penghilangan paksa, terdapat tiga deretan unsur yang saling terpaut. Diantaranya adalah: adanya perampasan kemerdekaan baik berupa penangkapan, penahanan, atau penculikan, dan lainnya, terhadap seseorang; perampasan kemerdekaan baik secara langsung atau tidak langsung yang dilakukan dengan keterlibatan otoritas negara; dan adanya penyangkalan atas terjadinya perampasan kemerdekaan tersebut. (Hilal)