Linimassa.id – Sampai saat ini sinetron menjadi hiburan favorit emak-emak di rumah saat malam hari.
Ternyata sinteron sudah ada di Indonesia sejak tahun 1926. Dengan judul pertama adalah Loetoeng Kasaroeng. Sinetron ini di Sutradarai oleh seorang kebangsaan Belanda, namun sudah melibatkan pemain dari Indonesia.
Sinetron (akronim dari sinema elektronik) adalah istilah bahasa Indonesia yang biasanya digunakan untuk acara televisi bergenre fiktif.
Tergantung definisi yang digunakan, istilah sinetron bisa mengacu pada acara dengan format tertentu atau genre yang lebih spesifik.
Berbagai tokoh telah disebut sebagai pencipta dan pemopuler istilah ini, di antaranya penulis Arswendo Atmowiloto, pengajar film Soemardjono, tokoh pertelevisian Indonesia Ishadi S.K., dan tabloid Monitor.
Dalam definisi baku Kamus Besar Bahasa Indonesia, sinetron mencakup semua film yang dibuat khusus untuk media elektronik.
Dalam praktiknya, istilah sinetron digunakan untuk film untuk media televisi saja, atau segala tayangan televisi yang menampilkan cerita secara visual.
Istilah “elektronik” dalam kepanjangan “sinema elektronik” sempat ditafsirkan sebagai syarat bahwa sinetron harus dibuat di atas video elektronik, meskipun istilah “sinema elektronik” dibuat dengan mengacu pada media pemancarnya (televisi) yang elektronik.
Komite Festival Sinetron Indonesia (FSI) awalnya menyaratkan film yang termasuk sinetron harus direkam di pita kaset video. Mulai tahun 1997, FSI baru menerima film yang direkam di seluloid sebagai sinetron.
Ada yang menyebut sinetron bisa berformat apa saja (serial ataupun lepas) serta bergenre apa saja, dan format atau genre bisa ditambahkan sebagai keterangan (contoh: “sinetron lepas”, “sinetron komedi”).
Ada pula yang mengaitkannya secara khusus dengan program televisi berformat serial yang bergenre opera sabun (bahasa Inggris: soap opera) atau telenovela, sedangkan sinetron lepas disebut FTV (film televisi).
Sebelum muncul istilah sinetron, lakon yang ditayangkan di televisi dan diproduksi di Indonesia disebut TV play (sandiwara televisi), atau sandiwara saja.
Istilah bahasa Indonesia lain yang bisa digunakan untuk acara televisi bergenre drama adalah teleseri (televisi serial).
Sinetron Pertama
Sumber lain menyebut, sinetron pertama di Indonesia adalah Sebuah Jendela yang ditayangkan oleh saluran televisi publik TVRI pada Desember 1962, saat istilah TV play masih digunakan untuk menyebut sinetron.
Karena posisi TVRI dalam negara Indonesia, sinetron yang diproduksi TVRI biasanya membawa pesan dari pemerintah atau lembaga-lembaga seperti BKKBN dan Kowani.
Mengutip Chu, Alfian, dan Pabottingi pada tahun 1981, terdapat tiga tipe sandiwara yang ditayangkan di TVRI, yaitu sandiwara yang mempromosikan program pembangunan secara resmi, sandiwara yang ditandai TVRI sebagai sandiwara pendidikan, dan sandiwara konvensional yang tidak diberi label resmi.
Perkembangan sinetron/film televisi dipacu oleh acara Sepekan Film Indonesia yang dimulai pada tahun 1981.
Sinetron TVRI awalnya dianggap kurang baik karena dibuat oleh pegawai saluran televisi tersebut yang bukan pekerja seni film.
Pada akhir tahun 1980-an, TVRI mulai bekerja sama dengan sutradara film yang berpengalaman agar film bisa ditampilkan dengan baik di televisi.
Pada masa ini, istilah sinetron (film untuk televisi) baru muncul dan program Sepekan Film Indonesia berganti menjadi Sepekan Sinetron TVRI.
Era 90-an
Indonesia mengalami peningkatan produksi sinetron pada 1990-an karena berkurangnya produksi film layar lebar dan meningkatnya keberadaan televisi swasta yang membutuhkan pasokan program.
Menurut seminar Litbang Pantap Festival Sinetron Indonesia pada tahun 1996, ada ketidaksiapan dari stasiun televisi swasta saat diwajibkan memperbanyak penyiaran acara lokal, sehingga mereka tidak memiliki pekerja sinetron yang memadai dan cerita sinetron cenderung dipanjang-panjangkan.
Pekerja sinetron dinilai belum punya etos kerja dan tidak disiplin waktu. Kewajiban mengikuti larangan pemerintah Orde Baru terkait menampilkan unsur SARA dan politik juga dinilai sebagai alasan kebanyakan sinetron cenderung jauh dari realitas sosial dan lebih mengarah ke drama percintaan dan rumah tangga.
Pada 2001, Rano Karno mengatakan kebanyakan sinetron yang diproduksi pada awal tahun 1990-an cenderung bermain aman dengan mengadaptasi formula telenovela Amerika Latin dan film India.
Di sisi keuangan, seminar Litbang Pantap Festival Sinetron Indonesia juga menyebut masalah pembayaran sebagai penghambat lainnya bagi usaha sinetron.
Menurut wawancara Maria Myutel dengan praktisi-praktisi media, pengusaha sinetron pada masa itu kesulitan mendapatkan pinjaman uang dari bank karena sinetron dianggap sebagai usaha yang masih baru dan berisiko secara finansial.
Kejar Tayang
Kebanyakan sinetron Indonesia menggunakan sistem “kejar tayang”, yaitu melakukan pengambilan gambar episode sinetron tidak lama (bisa kurang dari satu hari) sebelum waktunya episode tersebut ditayangkan.
Menurut rumah produksi sinetron, ini dilakukan untuk mempermudah pengubahan cerita untuk mengikuti rating, tren, atau permintaan stasiun televisi.
Penulis skenario Jujur Prananto menyebut alasan sistem kejar tayang digunakan adalah mencegah kerugian finansial, karena jika semua episode diproduksi dari awal sebelum ditayangkan, tidak ada jaminan episodenya laku.
Di sisi negatifnya, Jujur menilai kualitas skenario yang dibuat secara kejar tayang cenderung lebih buruk dari skenario yang diberi lebih banyak waktu persiapan.
Jujur juga mengatakan bahwa menulis skenario dengan cara itu melelahkan bagi penulis dan tidak memberikan kesempatan merevisi. (Hilal)