LINIMASSA.ID – Isu mengenai gaji dan tunjangan anggota DPR kembali menjadi topik hangat di ruang publik. Bukan tanpa alasan, nominal yang diterima para wakil rakyat dianggap tidak sebanding dengan gaji pokok yang sebenarnya cukup kecil.
Berdasarkan aturan lama dalam PP Nomor 75 Tahun 2000, gaji pokok anggota DPR hanya berkisar Rp 4,2 juta per bulan. Ketua DPR mendapat Rp 5,04 juta, sementara Wakil Ketua menerima Rp 4,62 juta.
Meski terlihat kecil, jika dihitung antara angka gaji dan tunjangan anggota DPR tersebut tidak menggambarkan realita sepenuhnya. Gaji DPR sebenarnya membengkak karena ditambah berbagai tunjangan resmi.
Ada tunjangan jabatan sekitar Rp 9,7 juta, tunjangan komunikasi Rp 15,5 juta, tunjangan kehormatan Rp 5,6 juta, serta tunjangan sidang Rp 2 juta. Bahkan ada komponen lain seperti tunjangan beras hingga tunjangan pajak.
Jika dihitung secara keseluruhan, total gaji dan tunjangan anggota DPR bisa meleset hingga puluhan juta per bulan. Beberapa kalkulasi menunjukkan jumlah take-home pay rata-rata anggota DPR dapat mencapai sekitar Rp 54 juta. Nilai ini sudah termasuk kombinasi gaji pokok, tunjangan jabatan, hingga tunjangan kesejahteraan lainnya.
Tak hanya itu, kebijakan baru mengenai perumahan memperbesar penerimaan para legislator. Sebelumnya, mereka disediakan rumah dinas, tetapi kini diganti dengan tunjangan uang sekitar Rp 50 juta per bulan. Skema ini memungkinkan anggota DPR untuk menyewa atau mencicil rumah pribadi menggunakan fasilitas negara.
Tambahan gaji dan tunjangan anggota DPR

Dengan adanya tambahan gaji dan tunjangan anggota DPR tersebut, penghasilan bersih gaji DPR bisa mendekati angka Rp 100 juta per bulan.
Hal inilah yang membuat publik menyoroti kebijakan penggajian wakil rakyat, terutama di tengah kondisi ekonomi nasional yang masih penuh tantangan.
Melihat faktanya, isu ini bukan hanya sekadar nominal, namun menyentuh persoalan keadilan sosial. Banyak yang menilai bahwa di tengah kesenjangan ekonomi, para wakil rakyat seharusnya lebih berhati-hati dalam menerima dan mengelola fasilitas negara.
Tingginya penghasilan mereka idealnya diimbangi dengan kinerja yang nyata, transparansi dalam penyusunan kebijakan, serta komitmen kuat untuk memperjuangkan kesejahteraan masyarakat yang mereka wakilkan.
Sorotan publik terhadap gaji dan tunjangan anggota DPR bukan hanya terkait jumlah yang dianggap fantastis, tetapi juga menyangkut prinsip keadilan.
Masyarakat menuntut agar besarnya penghasilan itu sepadan dengan kerja nyata wakil rakyat, mulai dari menghadiri sidang tepat waktu, menyusun regulasi yang berpihak pada rakyat, hingga mendorong solusi konkret atas permasalahan bangsa.
Di sisi lain, beberapa legislator membela diri dengan menyatakan bahwa tunjangan tersebut sah secara hukum dan sudah diatur dalam peraturan yang berlaku.
Menurut mereka, fasilitas gaji dan tunjangan anggota DPR tersebut bukanlah bentuk kemewahan, melainkan bagian dari kompensasi agar tugas legislatif bisa dijalankan secara maksimal.
Namun, narasi pembelaan ini tidak selalu mampu meredam kritik publik yang menilai adanya jarak besar antara kesejahteraan gaji dan tunjangan anggota DPR sebagai wakil rakyat dan kondisi riil masyarakat sehari-hari.