linimassa.id – Kerap terlihat di uang Rp10.000, belum banyak yang mengetahui siapa Frans Kaisiepo. Ia adalah pahlawan nasional pencetus nama Irian.
Ia diangkat menjadi Pahlawan Nasional pada 14 September 1993 melalui Surat Keputusan Presiden No 077/TK/1993. Atas jasanya tersebut, Frans Kaisiepo menjadi salah satu pahlawan yang gambarnya terpampang di uang kertas Rp10.000.
Ia lahir di Wardo, Biak, 10 Oktober 1921. Dikutip dari laman papua.go.id, Frans Kaisiepo terlahir dari pasangan Alberthina dan Albert Kaisiepo di Kampung Wardo, Biak barat, Kabupaten Biak Numfor, Papua, pada 10 Oktober 1921.
Mengutip Laman Facebook Bandar Udara Internasional Frans Kaisiepo, jiwa kebangsaan putra Papua ini tumbuh semenjak berkenalan dengan guru di sebuah Taman Siswa yang diasingkan ke Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua.
Pada Juli 1946, Frans menggagas berdirinya Partai Indonesia Merdeka (PIM) di Biak. Pada tahun yang sama, saat Belanda mengadakan Konferensi Malino di Provinsi Sulawesi Selatan yang membahas rencana pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT), Frans Kaisiepo menjadi anggota sebagai wakil Papua.
Pada konferensi tersebut, ia menentang rencana Belanda. Bahkan, dia kemudian mengganti nama Netherland Nieuwe Guinea dengan nama Irian yang merupakan singkatan dari Ikut Republik Indonesia Anti Netherland.
Frans pernah terlibat dalam Konferensi Malino pada 1946. Irian sendiri sebenarnya merupakan kata dalam bahasa Biak yang berarti beruap. Sejak saat, Frans Kaisiepo dan rakyat Biak terus mengadakan perlawanan menentang penjajah kompeni Belanda yang berada di Irian.
Salah satu bentuk perlawanan Frans dia bahkan menolak diangkat sebagai anggota Delegasi Belanda, saat Konferensi Meja Bundar (KMB).
Akibatnya Frans dihukum dan diasingkan ke daerah yang sangat terpencil. Konferensi Meja Bundar tersebut menghasilkan sebuah keputusan pengakuan kedaulatan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, Belanda bersikeras, bahwa Irian termasuk ke dalam wilayahnya.
Sebagai upaya pembebasan Irian dari Belanda, kemudian pada 19 Desember 1961, Presiden Soekarno menginstruksikan Tri Komando Rakyat atau Trikora yang dilanjutkan dengan operasi militer.
Frans pernah mengenyam pendidikan guru agama Kristen di Manokwari dan sekolah kursus peawai Papua. Ia juga merupakan tokoh yang mendukung bergabungnya Nugini Belanda (sekarang Papua) ke Indonesia.
Frans pernah ditangkap pada 1954 hingga 1961 lantaran terlibat dalam pemberontakan melawan Belanda.
Sebelumnya, dia menolak ditunjuk sebagai pemimpin delegasi Nugini Belanda dalam Konferesi Meja Bundar lantaran merasa didikte.
Setelah bebas dari penjara, ia mendirikan Partai Irian untuk mempercepat bergabungnya Nugini Belanda bergabung dengan Indonesia.
Hal ini bersamaan dengan pidato Tri Komando Rakyat (Trikora) yang dikumandangkan Presiden RI Soekarno.
Frans Kaisiepo berperan membantu TNI untuk dapat mendarat di Irian Barat. Setelah Trikora berakhir, selanjutnya perjuangan pembebasan Papua dari Belanda ditempuh dengan jalur diplomasi.
Pada 1 Mei 1963, secara resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerahkan Irian Barat kepada pemerintahan Indonesia. Frans Kaisiepo diangkat menjadi gubernur pertama Papua dan bertugas melaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).
Belanda, yang ditekan Amerika Serikat, akhirnya memutuskan menyerahkan wilayah Irian Barat ke Indonesia. Ini seiring ditandatanganinya Perjanjian New York pada 1962. Frans Kaisiepo lalu menjadi Gubernur Irian Barat pada 1964 hingga 1973.
Setelah itu, melansir laman djpb.kemenkeu.go.id, atas upaya Frans mempersatukan Papua dengan Indonesia, dia terpilih menjadi anggota parlemen untuk Papua pada pemilihan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada 1973.
Frans juga diangkat menjadi Dewan Pertimbangan Agung pada 1977 sebagai wakil untuk urusan Papua.
Setelah menjadi gubernur, ia lalu menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1973 dan anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) pada 1977.
Ia wafat pada 10 April 1979 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cendrawasih di Kampung Mokmer, Kabupaten Biak Numfor. Namanya kini juga diabadikan sebagai bandara di Biak.
Frans Kaisiepo wafat pada 10 April 1979 di usianya yang ke-57 tahun. Jasadnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cendrawasih di Biak. Atas jasa-jasanya terhadap Indonesia, Frans Kaisiepo dianugerahi penghargaan Bintang Maha Putra Adi Pradana Kelas Dua.
Nama Frans Kaisiepo juga diabadikan menjadi salah satu kapal perang TNI AL, KRI Frans Kaisiepo 368, serta nama Bandar Udara Internasional di Pulau Biak, Papua. Pada 2016, potret Frans diabadikan dalam lembaran uang rupiah Emisi 2016 dalam pecahan Rp. 10 ribu. (Hilal)