linimassa.id – Tim Penyidik KPK memanggil beberapa saksi terkait kasus korupsi di Liquefied Natural Gas (LNG) atau gas alam cair milik PT Pertamina dengan kerugian negara Rp 2,1 Triliun.
Salah satu penyidik yang hari ini dipanggil yaitu mantan Dirjen Migas Kementrian ESDM Evita Herawati.
“Hari ini bertempat di gedung Merah Putih KPK, tim penyidik menjadwalkan pemanggilan dan pemeriksaan saksi-saksi,” kata Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri kepada wartawan, Rabu (20/9/2023).
Evita diketahui pernah menjabat Dirjen Migas Kementerian ESDM periode 2008-2011. Dia juga menjabat Komisaris di Pertamina periode 2010-2013.
Evita akan diperiksa sebagai saksi untuk mantan Dirut PT Pertamina Karen Agustiawan, yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka. Selain Evita, tim penyidik memanggil Elvita M Tagor selaku Direktur SDM untuk diperiksa sebagai saksi.
Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan kasus ini diawali dari rencana pengadaan LNG yang dilakukan oleh Pertamina pada 2012. Wacana tersebut dipilih kala itu sebagai upaya mengatasi defisit gas di Indonesia.
“Saat pengambilan kebijakan dan keputusan tersebut, GKK alias KA secara sepihak langsung memutuskan untuk melakukan kontrak perjanjian perusahaan CCL tanpa melakukan kajian hingga analisis menyeluruh dan tidak melaporkan pada Dewan Komisaris PT Pertamina Persero,” ujar Firli di KPK, Jakarta Selatan, Selasa (19/9).
“Selain itu, pelaporan untuk menjadi bahasan di lingkup rapat umum pemegang saham (RUPS) dalam hal ini pemerintah tidak dilakukan sama sekali sehingga tindakan GKK alias KA tidak mendapatkan restu dari persetujuan pemerintah saat itu,” tambah Firli.
Kebijakan yang diambil Karen itu kemudian mengakibatkan kerugian negara. Kerugian tersebut berupa LNG yang telah dibeli dari CCL LLC Amerika Serikat tidak terserap di pasar domestik hingga menjadi oversupply.
Dia menambahkan, akibat kelebihan pasokan itu, LNG yang telah dibeli kemudian dijual dengan harga murah sehingga menimbulkan kerugian.
“Dari perbuatan GKK alias KA menimbulkan dan mengakibatkan kerugian keuangan negara sejumlah sekitar USD 140 juta yang ekuivalen dengan Rp 2,1 triliun,” pungkas Firli.