Linimassa.id – Dalam beberapa pakaian tradisional di Indonesia, para lelaki memakai blangkon. Blangkon adalah tutup kepala yang dibuat dari batik dan digunakan oleh kaum pria sebagai kelengkapan dari pakaian tradisional Jawa.
Selain sebagai pelindung terhadap sinar matahari Blangkon juga mempunyai fungsi sosial yang menunjukkan martabat atau kedudukan sosial bagi pemiliknya.
Sebutan blangkon berasal dari kata Blanco dari bahasa Belanda, istilah yang dipakai masyarakat etnis Jawa untuk mengatakan sesuatu yang siap pakai.
Hal itu atas perintah pemerintah Kolonial Belanda karena bangsawan Jawa bila dikumpulkan dalam pertemuan rutin selalu terlambat dengan alasan lamanya mengikat kain yang diletakan di kepala atau udeng.
Di balik blangkon, ada makna filosofis yang mendalam, berupa pengharapan dalam nilai-nilai hidup. Masyarakat Jawa kuno meyakini bahwa kepala seorang lelaki memiliki arti serius dan khusus sehingga penggunaan blangkon sudah menjadi pakaian keseharian atau pakaian wajib bangsawan Jawa.
Asal Mula
Dahulu, pembuatan blangkon tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Hal ini karena terdapat penetapan pakem atau aturan tersendiri.
Jadi, hanya seniman yang memahami dan memiliki keahlian terkait pakem tersebut yang boleh membuat blangkon.
Blangkon sebenarnya bentuk praktis dari iket yang merupakan tutup kepala yang dibuat dari batik dan digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian tradisional Jawa.
Untuk beberapa tipe blangkon ada yang menggunakan tonjolan pada bagian belakang blangkon yang disebut mondholan.
Mondholan ini menandakan model rambut pria masa itu yang sering mengikat rambut panjang mereka di bagian belakang kepala, sehingga bagian tersebut tersembul di bagian belakang blangkon. Lilitan rambut itu harus kencang supaya tidak mudah lepas.
Sekarang, lilitan rambut panjang yang menjadi mondholan sudah dimodifikasi karena orang sekarang kebanyakan berambut pendek dengan membuat mondholan yang dijahit langsung pada bagian belakang blangkon.
Blangkon Surakarta memiliki mondholan trèpès atau gepeng, sedangkan mondholan gaya Yogyakarta berbentuk bulat seperti onde-onde, sedangkan Mondholan gaya Ponorogo berbentuk ulekan yang lebih besar dari mondholan gaya Yogyakarta.
Selain itu terdapat hiasan blangkon yang berasal dari gaya Ponorogo, Seperti kain segita menjulur pada depan Blangkon yang disebut ilatan sedangkan pada bagian blangkon terdapat tali kain yang panjang sepunggung yang sebagai simbol Pendekar Warok Ponorogo yang kemudian diterapkan pada Blangkon kerakyatan Yogyakarta dan Surakarta, karena pada lingkungan Kraton tidak menggunakan tali kain pada belakang Blangkon dan kain segitiga pada depan Blangkon.
Meski demikian, terdapat tali kain yang berdiri tegap pada Blangkon Jathil, Blangkon Gemblak, Blangkon Warok Sepuh di Ponorogo. (Hilal)