Linimassa.id – Selama ini nama Abu Nawas dikenal dalam dongeng-dongeng jenaka. Akalnya yang jenius, kerap mengelabui lawan dengan sejuta cara. Namun ternyata Abu Nawas bukan sekadar dongeng semata, ia nyata. Berikut fakta-faktanya.
Nama Asli
Abu Nawas atau dikenal sebagai Abu-Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakami (756-814), atau Abū-Nuwās merupakan pujangga Arab. Dia dilahirkan di kota Ahvaz di negeri Persia, dengan darah Arab dan Persia mengalir di tubuhnya.
Sumber lain menyebut, Abu Nawas terlahir pada tahun 747 M sebagai anak yatim di Kota Ahvaz, Iran. Sepeninggal ayahnya, Abu Nawas kemudian dibawa ibunya ke kota Basra, Irak. Dia di sana belajar beberapa ilmu agama seperti ilmu hadits, sastra Arab, dan ilmu Alquran.
Penyair Terbesar Arab
Abu Nawas dianggap sebagai salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik ia digambarkan sosok yang bijaksana sekaligus kocak. Abu Nawas juga muncul beberapa kali dalam kisah Seribu Satu Malam dalam salah satu cerita ia pernah berpura pura gila karena tidak ingin menjadi kadi setelah mendengar wasiat ayahnya dengan cara menaiki batang pisang seperti kuda-kudaan.
Ia juga sering ditantang oleh raja Harun Ar-Rasyid maupun oleh teman temannya dengan hal yang aneh, berisiko dan bahkan tidak mungkin terjadi seperti memindahkan istana raja ke bukit, memantati raja dan lain-lain.
Tak lama setelah belajar ilmu-ilmu agama, Abu Nawas bertemu dengan Walibah ibn Habib Al-Asad. Walibah memberikan pelajaran kepada Abu Nawas untuk memperhalus kembali bahasa yang dia gunakan.
Dia juga pergi ke Kufah untuk bertemu dengan orang-orang Arab Badui, supaya ia dapat memperhalus serta memperdalam kesustraan bahasa Arab. Oleh karena itu, tak lama kemudian Abu Nawas terkenal sebagai seseorang sastrawan cemerlang.
Abu Nawas dengan cepat menjadi terkenal karena puisinya yang jenaka dan lucu, tidak berhubungan dengan tema-tema tradisional seperti tema padang pasir, tetapi berbicara tentang kehidupan kota dan menyanyikan kegembiraan meminum anggur serta cinta dari anak laki-laki muda dengan humor nakal.
Puisi pujiannya yang berisi puji-pujian memungkinkannya untuk ikut mendukung Khalifah Harun Ar-Rasyid, dan ia juga mengaitkan dirinya dengan keluarga wazir Barmak, yang saat itu berada di puncak kekuasaan mereka. Akhirnya, dia pun dipercaya sebagai orang kepercayaan oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid, pemimpin dinasti Abbasiyah yang kelima.
Abu Nawas dianggap sebagai salah satu sastrawan yang terbesar dalam literatur Arab klasik. Dia mempengaruhi banyak sastrawan generasi kemudian, termasuk Omar Khayam, dan Hafiz yang di mana keduanya adalah penyair dari Persia.
Di antara puisi-puisinya yang paling terkenal adalah beberapa yang mengejek tema konvensional, yaitu nostalgia untuk kehidupan orang-orang Badui, dan dengan antusias memuji kehidupan yang diperbarui di Bagdad sebagai perbedaan yang kontras. Dia adalah salah satu dari beberapa orang yang kepadanya penemuan bentuk sastra mu’ammā (secara harfiah ‘dibutakan’ atau ‘digelapkan’).
Puisi-puisinya sempurna secara tata bahasa, dan didasarkan pada tradisi Arab. Dia terkenal dengan kepengarangan tardiyyah (puisi mengambil adegan berburu sebagai subjeknya), yang dengan itu, dia mencapai peringkat genre dalam dirinya sendiri. Tema perburuan sudah ditemukan di puisi pra-Islam dan di Mu’allaqa Imrou’l Qays, yang mengabdikan tujuh ayat untuk deskripsi perburuan rusa.
Hal yang sama berlaku untuk peran mendasar dalam pengembangan puisi yang bertemakan pesta pora dan bermabukan sebagai genre sendiri. Tema ini juga hadir dalam puisi kuno, seperti yang ditunjukkan pada baris pembukaan lain Mu’allaqat.
Akhirnya, Abu Nawas suka membuat skandal masyarakat dengan secara terbuka menulis hal-hal yang dilarang oleh Islam. Tema dari puisi tersebut umumnya adalah tentang kehidupan kota. Tema utamanya adalah cinta, anggur, anak laki-laki dan perburuan, kebebasan, tetapi juga kecemasan akan kematian dan penuaan. Pikiran kritisnya berubah terutama terhadap institusi keagamaan.[9]
Karya Abu Nawas adalah bagian dari gerakan pembaruan puisi Arab, yang dimulai pada masa Bani Umayyah (661-750) dan jatuh tempo di bawah kekhalifahan Abbasiyah pertama. Ia dianggap sebagai seniman penting gerakan ini, yang menganggap puisi sebagai ekspresi bebas dan langsung dan bukan sebagai pengulangan pola bahasa klasik dan blok bahasa.
Pesta Pora
Meski Abu Nawas pernah mendapat pendidikan agama, Abu Nawas di semasa mudanya adalah seseorang yang menyukai kehidupan hura-hura dan berpesta pora. Dia adalah seorang pemabuk berat. Hal ini dapat diketahui melalui beberapa tema-tema puisi yang dia ciptakan di saat masa mudanya dulu.
Syair-syairnya masa itu lebih banyak bercerita tentang minuman, wanita, dan cinta. Meski seorang pemabuk, kepiawaiannya dalam mencipta syair ketika itu nyaris tak tertandingi. Terbukti, walaupun dalam keadaan mabuk, ia tetap mampu menelurkan mutiara-mutiara kata yang indah.
Hingga pada suatu saat, ketika Abu Nawas membacakan puisi tentang Kafilah Bani Mudhar, dia dihukum karena membuat Khalifah murka karena isi puisi itu sangat menyinggung sang Khalifah. Abu Nawas pun dipenjara karenanya.
Sejak mendekam di penjara, puisi-puisi Abu Nawas berubah menjadi religius. Jika sebelumnya ia sangat pongah, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah. Syair-syairnya tentang tobat bisa dipahami sebagai salah satu ungkapan rasa keagamaannya yang tinggi.
Kontroveresi
Perihal tahun kewafatannya, banyak pihak yang berbeda pendapat. Informasi yang berkaitan dengan kematiannya tidak pasti dan saling bertentangan. Ada yang mengatakan bahwa tahun meninggalnya Abu Nawas terjadi pada tahun 806 M.
Di sisi lain, ada yang mengatakan ia meninggal pada tahun 813 M. Ada juga yang mengatakan bahwa Abu Nawas sebenarnya meninggal pada tahun 814 M, selisih satu tahun dengan versi sebelumnya. Dia dimakamkan di Kota Bagdad, Irak.
Nasruddin Hoja
Di Indonesia, namanya kerap disamakan dengan sosok Nasruddin Hoja. Padahal, keduanya adalah sosok yang berbeda.
Abu Nawas hidup di kota Bagdad pada abad ke-8 Masehi di masa Khalifah Harun Ar-Rasyid dan Khalifah Al-Amin. Sedangkan Nasruddin Hoja hidup di Turki pada abad ke-13 Masehi di masa Kesultanan Seljuk Rum.
Abu Nawas dikenal juga dengan nama Abu Nuwas. Nama lengkapnya adalah Abu Ali Al Hasan bin Hani Al Hakami. Ia lahir di Kota Ahvaz di negeri Persia. Dalam tubuhnya mengalir darah Arab dan Persia.
Darah Arab berasal dari ayahnya yang bernama Hani, seorang anggota tentara Marwan bin Muhammad atau Marwan I-Khalifah terakhir Dinasti Umayyah di Damaskus. Sementara darah Persia ia peroleh dari ibunya yang bernama Golban atau Jelleban.
Sejak kecil, Abu Nawas telah ditinggal wafat oleh ayahnya. Ia kemudian dibawa ibunya ke kota Basra, Irak. Di sana, ia belajar beberapa ilmu agama seperti ilmu hadits, sastra Arab, dan ilmu Al-Quran.
Dilansir dari republika, Abu Nawas sempat dijual oleh ibunya kepada penjaga toko dari Yaman bernama, Sa’ad al-Yashira.
Sosoknya yang cerdas menarik perhatian Walibah ibnu al-Hubab, seorang penulis puisi berambut pirang. Al-Hubab pun memutuskan untuk membeli dan membebaskan Abu Nawas dari tuannya.
Dari Al Hubab, ia belajar tentang teologi dan tata bahasa. Al Hubab pula yang mengajarkannya puisi. Selain dengan Al Hubab, Abu Nawas banyak belajar tentang syair dari Khalaf al-Ahmar di Kufah.
Syair Abu Nawas
Pada masa mudanya, Abu Nawas dikenal sebagai penyair yang nyentrik. Tema syairnya banyak berkutat pada masalah anggur dan cinta. Hal tersebut tidaklah mengherankan karena semasa mudanya ia menyukai kehidupan hura-hura dan berpesta pora.
Pergeseran tema syair terjadi seusai ia dipenjara. Faktor usia juga berpengaruh terhadap tema-tema syair yang semakin religius, seperti tema tentang pertaubatan dan masa penantian di hari tua.
Berikut adalah salah satu syair terkenal dari Abu Nawas yang berjudul Al I’tiraf atau pengakuan
إِلهِي لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلاً # وَلاَ أَقْوَى عَلىَ النَّارِ الجَحِيْمِ
Wahai Tuhanku! Aku bukanlah ahli surga, tapi aku tidak kuat dalam neraka.
فَهَبْ ليِ تَوْبَةً وَاغْفِرْ ذُنُوْبيِ # فَإِنَّكَ غَافْرُ الذَّنْبِ العَظِيْمِ
Maka berilah aku taubat (ampunan) dan ampunilah dosaku. Sesungguhnya engkau Maha Pengampun dosa yang besar.
ذُنُوْبيِ مِثْلُ أَعْدَادِ الرِّمَالِ # فَهَبْ ليِ تَوْبَةً يَاذاَالجَلاَلِ
Dosaku bagaikan bilangan pasir. Maka berilah aku taubat wahai Tuhanku yang memiliki keagungan.
وَعُمْرِي نَاقِصٌ فيِ كُلِّ يَوْمٍ # وَذَنْبيِ زَئِدٌ كَيْفَ احْتِمَالِ
Umurku ini setiap hari berkurang. Sedang dosaku selalu bertambah, bagaimana aku menanggungnya.
إِلهِي عَبْدُكَ العَاصِي أَتَاكَ # مُقِرًّا بِالذُّنُوْبِ وَقَدْ دَعَاكَ
Wahai, Tuhanku! Hamba Mu yang berbuat dosa telah datang kepada Mu dengan mengakui segala dosa, dan telah memohon kepada Mu.
فَإِنْ تَغْفِرْ فَأَنْتَ لِذَا أَهْلٌ # فَإِنْ تَطْرُدْ فَمَنْ نَرْجُو سِوَاكَ
Maka jika engkau mengampuni, maka Engkaulah ahli pengampun. Jika Engkau menolak, kepada siapakah lagi aku mengharap selain kepada Engkau?
Kecerdasan Abu Nawas
Abu Usamah bin al-Hubab al-Asadi, seorang penyair Kufah keturunan persia tertarik dengan kecerdasan Abu Nawas. Setelahnya, Abu Nawas diangkat menjadi muridnya.
Karya-karya Walibah begitu terkenal karena puisinya yang homoerotik, tidak bermoral, tetapi ia sangat fasih dan terampil menggunakan diksi-diksi yang ringan, tajam, dan jenaka. Kemampuannya inilah yang kemudian mewarnai ciri puisi karya Abu Nawas.
Pada buku Biografi Tokoh Sastra karya Ulinuha Rosyadi dikatakan bahwa kelihaian Abu Nawas di dunia sastra semakin bersinar setelah berhasil menarik perhatian Khalifah Harun al-Rasyid.
Melalui musikus istana, Ishaq al-Wawsuli, Abu Nawas kemudian diangkat menjadi penyair istana (syai’rul bilad) yang bertugas mengubah puisi puji-pujian untuk khalifah.
Mulanya, syair-syair Abu Nawas berisi keglamoran. Seiring berjalannya waktu, lambat laun karya Abu Nawas justru condong kepada nuansa religi dan kepasrahan kepada Allah, sebagaimana disebutkan oleh Siti Nur Aidah dalam bukunya yang bertajuk 25 Kisah Pilihan Tokoh Sufi Dunia. (Hilal)