SERANG, LINIMASSA.ID – Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) melalui brand Tri, menggarap generasi Z Kota Serang pada program Generasi Happy 2024.
Generasi Z Happy 2024 berupa kegiatan literasi digital, skill development, academy, dan entertainment.
SVP Head of Region Outer Jakarta Indosat Ooredoo Hutchison Eric Danari menjelaskan, Tri sudah melakukan Generasi Z Happy di Indonesia sejak tahun 2022.
“Tahun 2022, 2023 Generasi Z menjadi Generasi Happy sudah ada di 9 kota, kemudian ada 2.000 sekolah yang kita juga sudah datangin, sekitar satu setengah juta orang yang sudah belajar, sudah interaksi,” kata Eric pada press conference Generasi Happy di Horison TC-UPI Kota Serang, Minggu, 3 November 2024.
Eric menjelaskan, Serang adalah salah satu kota yang dibidik. Alasannya 26 persen hingga 27 persen generasi Z. Tri ingin melakukan empowering yang harapannya bisa memberikan manfaat yang lebih besar kepada generasi muda untuk berkreasi secara positif
“Kita lakukan sudah sebulan memberikan suatu pembelajaran bagaimana melakukan suatu kegiatan digital dan melakukan secara positif. Makanya kita juga kerja sama dengan beberapa content creator,” ungkapnya.
Kegiatan program Generasi Happy, lanjut Eric, ada empat pilar yaitu literasi digital, skill development,
academy, dan entertainment.
Literasi digital, lanjut dia, memberikan pembelajaran dan bagaimana beraktivitas secara positif di era digital dan memberikan tempat berkarya dan beraktualisasi.
“Misalnya gimana sih blog yang bagus ya, gimana bikin bikin channel yang bagus ya,” ungkap Eric.
Pada kesempatan itu, EVP Head of Circle Jakarta Raya Indosat Ooredoo Hutchison Chandra Pradyot Singh menjelaskan,
rangkaian program Generasi Happy di tahun ketiga ini untuk memberdayakan lebih banyak generasi muda, khususnya Gen Z, di Indonesia.
Generasi Happy 2024 diselenggarakan di Jambi, Seran, Jember, dan Banjarmasin.
Hadir pada press Irene Suwandi dan Muhammad Arsyah (content creator) yang memberikan tips dan pengalaman menjadi content creator.
Generasi Z dan Mental Kepiting: Fenomena yang Mengancam Kemajuan Generasi
Crab mentality atau mental kepiting menjadi fenomena yang semakin mengkhawatirkan di kalangan Generasi Z. Perilaku yang terinspirasi dari cara kepiting menarik turun sesamanya saat berusaha keluar dari ember ini, kini menjadi cerminan sikap toxic yang menghambat kemajuan sesama. Fenomena ini semakin menguat seiring dengan masifnya penggunaan media sosial yang menjadi “panggung” utama Gen Z dalam berinteraksi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Center for Generational Kinetics (2021), lebih dari 60% Gen Z menghabiskan waktu rata-rata 4-6 jam per hari di media sosial. Intensitas interaksi yang tinggi ini justru menciptakan lingkungan yang rentan terhadap perilaku saling menjatuhkan, khususnya ketika melihat kesuksesan teman sebaya.
Dr. Sarah Mitchell, seorang psikolog sosial dari University of California, dalam bukunya “The Social Psychology of Generation Z” (2023) mengungkapkan bahwa mental kepiting pada Gen Z muncul akibat tekanan kompetisi yang semakin ketat di era digital. Fenomena ini ditandai dengan perilaku seperti menyebarkan gosip negatif, meremehkan pencapaian orang lain, hingga sabotase sosial terhadap rekan yang dianggap lebih sukses.
Manifestasi mental kepiting pada Gen Z dapat ditemui dalam berbagai konteks kehidupan. Di lingkungan akademik, misalnya, seorang mahasiswa yang mendapat prestasi gemilang kerap mendapat komentar menyudutkan dari teman-temannya. Di dunia kerja, professional muda yang mendapat promosi seringkali menghadapi resistensi dan gosip tidak sehat dari rekan sejawat.
Dampak dari mental kepiting ini tidak hanya merugikan target perilaku toxic, tetapi juga sang pelaku sendiri. Menurut studi yang dipublikasikan dalam Journal of Youth Studies (2022), individu yang sering menunjukkan perilaku mental kepiting cenderung mengalami tingkat kecemasan dan depresi yang lebih tinggi, serta kesulitan dalam membangun hubungan profesional yang sehat.
Psikolog Dr. Amanda Rodriguez dalam jurnal “Mental Health Trends Among Gen Z” (2023) menekankan pentingnya membangun kesadaran kolektif untuk mengatasi fenomena ini. “Gen Z perlu memahami bahwa kesuksesan bukanlah hal yang terbatas. Kesuksesan seseorang tidak mengurangi peluang sukses orang lain,” jelasnya.
Solusi untuk mengatasi mental kepiting di kalangan Gen Z membutuhkan pendekatan komprehensif. Mulai dari pendidikan karakter yang menekankan kolaborasi dan dukungan mutual, hingga pembentukan komunitas yang mendorong pertumbuhan bersama. Platform media sosial juga perlu menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan mendukung interaksi positif.
Beberapa komunitas Gen Z telah mulai mengambil inisiatif positif. “Gen Z Support Circle” yang didirikan oleh mahasiswa di Jakarta, misalnya, berhasil menciptakan ruang aman bagi anggotanya untuk berbagi kesuksesan dan mendapat dukungan dari sesama. Inisiatif serupa perlu diduplikasi untuk memperluas dampak positif.
Program mentoring dan pengembangan diri yang fokus pada pembentukan mindset abundance (kelimpahan) juga mulai banyak diminati. Pendekatan ini membantu Gen Z memahami bahwa kesuksesan bukan torta yang terbatas, melainkan dapat diraih bersama melalui kolaborasi dan dukungan mutual.
Mengakhiri mental kepiting di kalangan Gen Z memerlukan komitmen dari berbagai pihak. Orang tua, pendidik, pemimpin komunitas, dan Gen Z sendiri perlu berkolaborasi menciptakan ekosistem yang mendukung pertumbuhan bersama. Hanya dengan kesadaran kolektif dan aksi nyata, Gen Z dapat terbebas dari jebakan mental kepiting dan mencapai potensi terbaiknya.