linimassa.id – Beberapa waktu lalu, Teknik pewarnaan tie dye pada kain menjadi sangat digemari. Pakaian putih kesayangan yang warnanya sudah pudar bisa didaur ulang dengan teknik tie dye.
Ini adalah salah satu cara yang bisa dilakukan untuk menyulap pakaian kesayangan menjadi seperti baru.
Tie dye adalah teknik pewarnaan kain dengan zat pewarna untuk menghasilkan pola tertentu yang menarik.
Nama tie dye berasal dari bahasa Inggris, tie yang artinya mengikat dan dye yang artinya pewarna. Sesuai dengan arti harafiah tersebut, tie dye dilakukan dengan teknik membuat ikatan-ikatan pada kain menggunakan tali atau karet sebelum kain dibubuhi zat pewarna.
Bagian kain yang tertutup tali atau karet tidak akan terkena pewarna sehingga menghasilkan aneka motif istimewa.
Teknik tie dye pertama kali dikenal di Afrika sekitar 600 tahun silam. Para imigran Afrika yang berpindah tempat tinggal sekitar tahun 1700 hingga 1800-an mulai membawa keterampilan tersebut ke Amerika.
Perkembangan tie dye di Amerika berlangsung pesat, terutama sejak kemunculan budaya hippie pada tahun 1960-an. Bahkan, tren tersebut juga merambah ke negara-negara lain, termasuk Indonesia.
Di tanah air, tie dye lebih dikenal dengan istilah jumputan. Tren tie dye di Indonesia kembali populer pada tahun 2020 saat banyak orang merasa bosan beraktivitas #DiRumahAja akibat pandemi Covid-19.
Salah satu kegiatan menyenangkan yang bisa dilakukan selama berada di rumah adalah daur ulang pakaian dengan teknik tie dye.
Definisi tie dye menurut kamus Oxford Languages, ialah proses membentuk beberapa pola pada kain atau pakaian dengan cara membentuk dan mengikatnya, lalu diberikan warna.
Pada tahun 1960-an, kain tie dye ini merupakan sebuah bentuk ekspresi kebebasan dari norma sosial yang ketat pada tahun 1950-an.
Kebebasan
Dengan kombinasi warna-warna yang mencolok, memang dapat membangkitkan rasa semangat dan keceriaan bagi siapapun yang melihat maupun menggunakannya.
Selain itu, seperti yang dilansir dari The Wall Street Journal, motif kain tie dye yang beragam dan individual menjadikan aktivitas membuat kain ini menjadi pilihan untuk mengisi waktu di rumah selama lockdown.
Tidak heran, bahwa kain tie dye yang pertama kali populer pada tahun 1960-an ini, menjadi tren saat pandemi mulai menyerang dunia pada tahun 2019 hingga 2020.
Tie dye merupakan tren fesyen yang bisa dibilang tak lekang oleh waktu dan sangat digemari masyarakat, terutama generasi muda.
Bukan Ikat Celup
Kain tie dye seringkali diidentikan dengan kain ikat celup. Kedua jenis kain ini memang memiliki satu karakteristik yang sama, yakni sama-sama diikat terlebih dahulu sebelum di diwarnai. Namun, sebenarnya terdapat beberapa perbedaan antara kain tie dye dengan kain ikat celup.
Misalnya pada tie dye setelah diikat, kain dibubuhi pewarna atau pencerah pakaian (bleach) sementara pada kain ikat, setelah diikat, kain dicelupkan ke pewarna.
Pada tie dye, warna yang digunakan bisa bermacam-macam. Sementara untuk kain ikat celup, warna terbatas sesuai dengan warna cairan dimana kain dicelupkan.
Tidak ada bentuk baku pada motif yang dihasilkan pada tie dye, sementara kain ikat celup motif yang dihasilkan berbentuk baku, seperti: garis, spot, pelangi, jumputan, sesirangan.
Untuk tie dye umumnya menggunakan pencerah pakaian (bleach) maupun pewarna tekstil bahkan bisa menggunakan pewarna makanan. Sedangkan pada ikat kait celup, pencelupan biasanya menggunakan zat warna yang membutuhkan proses pencelupan panas seperti zat warna direk dan zat warna sulfur.
Nah, semakin kenal dengan kain tie dye bukan? (Hilal)