PANDEGLANG, LINIMASSA.ID – Sejarah mencatat keberadaan komunitas Tionghoa di Banten telah berlangsung sejak berabad-abad lalu.
Sebelum membahas keberadaan komunitas Tionghoa di Pandeglang, Menurut kitab sejarah Sunda Tina Layang Parahyang (Catatan dari Parahyangan), komunitas Tionghoa di Tangerang dan Batavia sudah ada setidaknya sejak 1407.
Kitab tersebut mengisahkan tentang rombongan pertama Komunitas Tionghoa dari dataran Tiongkok yang dipimpin oleh Tjen Tjie Lung atau Halung, yang mendarat di muara Sungai Cisadane, kini dikenal sebagai kawasan Teluk Naga.
Di Pandeglang, jejak komunitas Tionghoa bermula pada masa Kesultanan Banten sekitar tahun 1.800. Salah satu tokoh yang dikenal masyarakat saat itu adalah Mbah Badot, seorang pedagang tembakau (bako) keturunan Tionghoa yang datang ke Pandeglang.
Mbah Badot dikenal sebagai salah satu pionir yang memperkenalkan komoditas tembakau kepada masyarakat setempat. Kehadirannya menjadi awal mula keberadaan komunitas Tionghoa di daerah tersebut.
Sejarah panjang keberadaan komunitas Tionghoa di Pandeglang tak lepas dari peran keluarga bermarga Bha, yang saat itu dipimpin oleh Bha Nen, atau lebih dikenal dengan sebutan Mbah Badot. Nama ‘Kadu Banen’ dipercaya berasal dari nama sang tokoh, yang kemudian menjadi cikal bakal wilayah tersebut.
Komunitas Tionghoa di Pandeglang
Komunitas Tionghoa ini awalnya menetap di sekitar Desa Tenjolaya dan Desa Gardutanjak. Mereka aktif berdagang di sekitar alun-alun Karesidenan Pandeglang, yang berkembang menjadi sebuah pasar rakyat. Pasar ini kemudian dikenal sebagai Pasar Heubeul atau Pasar Lama.
Komunitas Tionghoa mulai berkembang pesat saat masa pembangunan rel kereta api Rangkasbitung-Labuan oleh pemerintah kolonial Belanda. Pada masa itu, banyak warga keturunan Tionghoa dipaksa menjadi pekerja rodi bersama penduduk pribumi.
Setelah pembangunan rel selesai, banyak dari mereka menetap di kawasan Kadomas. Hal ini menjadikan kawasan tersebut dikenal memiliki penduduk dengan kulit kuning langsat, khas keturunan Tionghoa. Seiring waktu, beberapa dari mereka menikah dengan penduduk pribumi, mempererat hubungan antar komunitas.
Nama Kampung Kadomas di Pandeglang memiliki cerita unik yang konon berkaitan dengan tradisi masyarakat setempat pada masa lalu. Menurut beberapa warga, nama Kadomas berasal dari peristiwa di mana banyak warga keturunan Tionghoa yang dipersunting oleh orang Belanda atau tuan tanah.
Sebagai bagian dari tradisi pernikahan, pihak yang mempersunting diwajibkan memberikan cinderamata atau mas kawin kepada keluarga mempelai wanita. Nama Kadomas sendiri dipercaya berasal dari dua kata, yakni ‘Kado’ yang berarti hadiah dan ‘Mas,’ merujuk pada barang mas kawin, biasanya berupa emas.
Jejak sejarah ini semakin kuat dengan adanya makam tradisional Tionghoa atau bongpay yang ditemukan di kawasan Kabayan Citiis. Bongpay menjadi salah satu elemen penting dalam makam tradisional Tionghoa, yang mencerminkan pengaruh budaya Cina di Pandeglang.
Pada masa Dinasti Tang, bongpay biasanya ditempatkan di tengah makam dengan tulisan muzhiming atau riwayat hidup pemilik makam. Keberadaan bongpay ini menjadi bukti warisan sejarah yang masih terjaga di daerah tersebut.
Kisah asal-usul Kadomas dan peninggalan seperti bongpay menunjukkan keberagaman budaya dan sejarah yang ada di Pandeglang, yang terus menjadi bagian dari identitas daerah ini hingga sekarang.