LINIMASSA.ID – Tidak semua luka bisa dituturkan dengan kalimat manusia. Kadang, justru pohon yang mengajari kita bagaimana cara melanjutkan hidup. Ia tumbuh pelan, meneduhkan, lalu merelakan gugur tanpa menuntut penonton.
Inilah yang terasa saat membaca Pohon-pohon yang Ditanam setelah Luka, karya terbaru Setiawan Chogah. Novel ini tidak bercerita dengan ledakan konflik, melainkan dengan aliran tenang yang menyerupai akar merambat: sabar, diam, tetapi akhirnya menemukan tanah.
Luka yang Menjadi Akar
Tokoh utama, Raif, memilih menjadi rumah. Ia tidak berteriak, tidak menuntut, hanya ingin menyediakan ruang aman bagi orang-orang di sekitarnya. Dari Rangga—lelaki berseragam yang membawa beban keluarga dan profesi—hingga Dinda yang memilih membuka pintu dengan keberanian sunyi, dari Keira yang menulis “pulang” dengan kapur, hingga Ayra dan Amar dengan riwayat mereka masing-masing.
Novel ini memotret bahwa luka bisa bertransformasi. Ia tidak hilang, tetapi menjadi akar. Dari akar itu, tumbuh batang dan cabang yang justru memberi teduh bagi orang lain.
Pohon-pohon yang Menuntun
Setiawan menghadirkan tanaman sebagai penuntun cerita. Ada Ficus virens (bunut/ara), pohon tempat Raif dan Rangga kembali bicara; ada Plumeria alba (kamboja putih), yang mekar dan gugur tanpa dramatis; ada Santalum album (cendana), wangi lembut yang setia meski tak terlihat; ada Nepenthes mirabilis (kantong semar), yang menampung lalu mengosongkan, mengajari cara melepaskan rahasia.
Setiap bab membawa satu flora. Mereka bukan dekorasi, melainkan bahasa kedua. Setiawan menulis manusia dan pohon dengan napas yang sama: pelan, jujur, tidak memaksa.
Setiawan Chogah dan Jejak Tulisannya
Nama Setiawan Chogah sudah lama hadir di ruang-ruang renungan. Esai-esaianya yang lirih beredar di media daring maupun cetak, menjadi teman orang-orang yang mencari jeda. Ia menulis tentang finansial dan pengembangan diri dengan cara yang tidak kaku: penuh metafora, kadang getir, tetapi selalu memberi ruang untuk bernapas.
Novel ini adalah langkah kembalinya ke fiksi, setelah lama menekuni esai. Namun ritme khasnya tetap sama: kalimat yang tidak tergesa, paragraf yang memberi ruang hening. Seperti pepohonan yang menjadi judul bab, Setiawan tidak terburu-buru meyakinkan. Ia hanya menunjukkan.
Membaca Sebagai Ritual
Menariknya, novel ini tidak hanya menawarkan teks. Di versi digital yang hadir di Wattpad, pembaca diajak mendengarkan kidung pengantar sebelum masuk ke bab. Setiap lagu dipilih untuk menjadi pintu suasana—menjadi kawan untuk melambatkan napas sebelum menyelam ke dalam cerita.
Selain itu, setiap bab dilengkapi ilustrasi yang menegaskan atmosfer: bambu yang bergoyang, ilalang yang keras kepala, atau champaca yang jatuh diam-diam. Membaca novel ini akhirnya terasa seperti ritual kecil: menyalakan lagu, membuka halaman, lalu membiarkan diri dituntun pohon.
Sesuai misinya, Setiawan membagikan versi digital ini secara gratis. Ia ingin siapa saja bisa duduk sejenak, belajar dari pohon, tanpa hambatan biaya. “Dunia sudah terlalu riuh,” katanya dalam sebuah percakapan, “barangkali duduk bersama pohon adalah salah satu cara kita tetap waras.”
Namun, ia juga tengah menyiapkan versi cetak edisi terbatas. Bukan sekadar menyalin teks digital, melainkan menghadirkan pengalaman: aroma kertas, warna ilustrasi yang penuh, dan ruang kosong bagi pembaca untuk menulis catatan kecil.
Membaca untuk Menanam
Pohon-pohon yang Ditanam setelah Luka pada akhirnya bukan hanya kisah dua manusia yang belajar menerima kenyataan. Ia adalah ajakan menanam—entah pohon sungguhan, entah kebiasaan baik, entah doa kecil yang sederhana.
Setiawan Chogah menulis dengan kompas sederhana: jangan melukai. Kalimatnya tidak ingin memaksa pembaca percaya, hanya ingin menyediakan ruang bagi mereka yang mungkin sedang letih.
Di dunia yang kerap mengejar kecepatan, novel ini mengingatkan: pelan juga sebuah kecepatan. Pohon-pohon memang tumbuh pelan, tetapi justru karena itu mereka berakar lebih dalam.