linimassa.id – Pernah melihat pakaian lurik? Kain dengan motif bergaris-garis kecil yang secara tradisional menjadi pakaian khas warga pria pedesaan di kalangan suku bangsa Jawa.
Lurik yang berbahan dasar katun kasar memiliki harga yang relatif murah dan terjangkau untuk masyarakat kurang mampu. Lurik adalah bahan dasar untuk pembuatan surjan.
Kain lurik umumnya berwarna dominan gelap, seperti hitam, hijau tua, coklat tua, kuning tua, biru tua, merah tua, dan sebagainya.
Di era modern, lurik sekarang mendapat sentuhan warna-warna baru, sehingga dapat pula dipakai sebagai bahan kemeja atau sebagai komponen estetika pada rompi atau jas.
Ensiklopedi Nasional Indonesia (1997) menyebut, lurik diperkirakan berasal dari daerah pedesaan di Jawa.
Lurik pada masa itu dibuat dalam bentuk sehelai selendang. Fungsi sebagai penutup dada perempuan (kemben) dan alat untuk menggendong sesuatu dengan cara mengikatkannya pada tubuh.
Penggunaan lurik kemudian berkembang. Tidak hanya menjadi milik rakyat, tetapi juga dipakai di lingkungan keraton.
Umumnya, penampakan kain lurik terdapat di Candi Borobudur. Dalam salah satu relief, digambarkan sesorang sedang menenun dengan alat tenun gendong.
Prasasti Raja Erlangga dari Jawa Timur pada tahun 1033 menyebut kain Tuluh Watu sebagai salah satu nama kain lurik.
Karya tenun lurik diduga sudah populer di kalangan masyarakat zaman Kerajaan Majapahit. Hal ini dapat dilihat dari cerita Wayang Beber yang menggambarkan seorang kesatria melamar seorang putri raja dengan alat tenun gendong sebagai mas kawinnya.
Warisan
Kain Lurik merupakan salah satu warisan budaya tak benda dari Indonesia yang sudah ada sejak lama.
Nama kain lurik sendiri berasal dari kata lorek yang dalam Bahasa Jawa berarti lajur atau garis, belang, dan dapat juga berarti corak.
Menjadi salah satu jenis kain tenun khas Indonesia, kain lurik berasal dari daerah Jawa, terutama di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur dan DI Yogyakarta.
Kain lurik adalah jenis kain tradisional dengan ciri motif garis-garis vertikal dan horizontal yang dibuat dengan alat tenun.
Motif dasar kain lurik antara lain berupa corak garis searah dan panjang yang disebut dengan lajuran, garis searah dengan lebar kain yang disebut pakan malang, dan corak kecil-kecil yang disebut cacahan.
Sementara kain lurik polos dikenal dengan nama polosan, yang di daerah Solo dan Jogja dikenal dengan amanan wareg.
Bagi wanita Jawa, kain lurik biasa dijadikan sebagai kemben, jarik, selendang, atau stagen. Sementara bagi pria biasanya digunakan sebagai bahan baju surjan.
Filosofi
Kain lurik memiliki makna filosofi yang tak bisa dilepaskan dari keberadaannya pada berbagai acara upacara adat.
Makna kain tersebut terletak pada motif dan warnanya, bahkan beberapa dianggap sangat sakral karena menjadi sumber nasihat, petunjuk, dan harapan.
Sebagai contoh adalah kain lurik gedog madu yang biasa digunakan dalam upacara adat mitoni ataupun siraman.
Kain lurik motif lasem yang biasa digunakan untuk bahan pakaian pengantin pada zaman dahulu. Hingga saat ini masih terdapat beberapa lokasi yang menjadi sentra pembuatan kain lurik yang menarik perhatian para wisatawan.
Wisatawan tidak hanya bisa mendapat jenis kain lurik tradisional, namun berbagai kerajinan dari kain lurik seperti tas, dompet, sarung bantal, taplak meja, dan sebagainya.
Salah satu sentra kain lurik yang terkenal ada di daerah Klaten, Jawa Tengah yang bernama lurik Prasojo Klaten yang terkenal dengan coraknya.
Sementara di Yogyakarta terdapat sentra kain lurik yaitu Tenun Sutera Alam Tugu Mas yang menenun benang sutera yang bermotif lurik. (Hilal)