linimassa.id – Saat Idul Adha, bakaran dan nyate menjadi aktivitas populer yang banyak dilakukan. Ketersediaan daging kurban yang dibagikan ke rumah-rumah, membuat banyak orang memiliki bahan untuk melakukan ini bersama orang terdekat.
Secara sederhana, sate adalah makanan yang terbuat dari daging yang dipotong kecil-kecil dan ditusuk sedemikian rupa dengan tusukan lidi tulang daun kelapa atau bambu, kemudian dipanggang menggunakan bara arang kayu.
Sate disajikan dengan berbagai macam bumbu yang bergantung pada variasi resep sate. Daging yang dijadikan sate antara lain daging ayam, kambing, domba, sapi, babi, kelinci, kuda, dan lain-lain.
Sate diketahui berasal dari Jawa, Indonesia, dan dapat ditemukan di mana saja di Indonesia dan telah dianggap sebagai salah satu masakan nasional Indonesia.
Sate juga populer di negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand. Sate juga populer di Belanda karena dipengaruhi masakan Indonesia yang dulu merupakan koloninya.
Hidangan internasional yang mirip sate antara lain yakitori dari Jepang, shish kebab dari Turki, shashlik dari Kaukasia, chuanr dari Tiongkok, dan sosatie dari Afrika Selatan. Sate terdaftar sebagai peringkat ke-14 dalam World’s 50 most delicious foods (50 Hidangan Paling Lezat di Dunia) melalui jajak pendapat pembaca yang digelar oleh CNN Go pada 2011.
Sate telah menjadi makanan yang populer secara luas di berbagai belahan dunia, hal ini menjadikan orang tertarik untuk mengetahui asal mula hidangan populer ini yang tercatat dalam petikan di buku Encyclopaedia of Chinese and Oriental Cookery:
“Meskipun Thailand dan Malaysia menganggap hidangan ini adalah milik mereka, tanah air sate yang sesungguhnya di Asia Tenggara adalah Jawa, Indonesia”.
Sate merupakan makanan yang berasal dari Ponorogo, Jawa Timur. Kata Sate berasal dari bahasa Jawa dialek Ponoragan, yakni Sak Biting (dibaca Sak Beteng) yang berarti satu tusuk sedangkan di Madura pelafalannya menjadi Sati.
Sate baru diketahui oleh Batoro Katong selaku bupati Ponorogo pertama pada abad ke 15 setelah penaklukan Ponorogo yang merupakan makanan warok, sehingga usia makanan sate bisa lebih tua.
Hingga saat ini potongan daging sate Ponorogo dipotong memanjang dan dibuat dengan cara primitif yang ditusuk menggunakan lidi seperti awal mulanya, dibanding jenis sate lain dengan potongan daging kecil yang ditusuk bambu.
Dari Jawa, sate menyebar ke seluruh Nusantara dan sebagai konsekuensinya, berbagai variasi hidangan telah dikembangkan. Pada akhir abad ke-19, sate telah melintasi Selat Malaka ke negara tetangga Malaysia, Singapura, dan Thailand.
Pada abad ke-19, istilah tersebut bermigrasi, mungkin dengan imigran Melayu dari Hindia Belanda, ke Afrika Selatan, di mana ia dikenal sebagai sosatie. Orang Indo Belanda membawa hidangan ini, serta banyak makanan khas Indonesia lainnya, ke Belanda, mempengaruhi masakan Belanda.
Berdasarkan buku Balinese Food: The Traditional Cuisine & Food Culture of Bali karya Vivienne Kruger (2014), sate diperkirakan berasal dari Bahasa Tamil, yaitu ‘catai’, yang memiliki arti daging.
Ada juga beberapa sumber yang menyebutkan sate berasal dari dialek salah satu suku di China, Minann, yaitu ‘sa tae bak’, yang artinya ‘tiga potong daging’.
Sate pertama kali muncul di abad ke-19. Awalnya, masyarakat Indonesia memasak sate dengan cara direbus, namun setelah kedatangan para pedagang muslim Tamil dan Gujarat ke Indonesia dan memperkenalkan kebab yang diolah dengan dibakar, sate mulai dimasak dengan cara dibakar.
Selain itu, diperkirakan cara memasak sate yang ditusuk-tusuk pun juga terinspirasi dari kebab. Walaupun cara memasak ini terinspirasi dari para pedagang Timur Tengah, sate tetap merupakan kuliner khas Indonesia karena diciptakan dan dikembangkan oleh masyarakat Indonesia asli.
Semakin menipisnya batas antara negara satu dengan negara lainnya, semakin banyak turis dan penjelajah yang menyebarkan kebuadayaan Indonesia, termasuk kuliner-kuliner khas Indonesia.
Sate kemudian menjadi populer di berbagai negara seperti Malaysia, Thailand, Eropa, sampai Afrika. Bahkan, masyarakat Malaysia dan Thailand sampai ingin menjadikan sate sebagai makanan khasnya, dan sempat memperebutkannya sebagai makanan tradisional khas negara mereka.
Di Eropa, sate dibawa dan disebarkan oleh orang Belanda yang sempat menjajah Indonesia. Di Afrika, sate dikenal dengan nama lain yaitu ‘Sosatie’ dan disajikan dengan sayuran seperti paprika di antara tusukan daging, dan diperkirakan dibawa oleh para pendatang Hindia Belanda dan masyarakat Melayu.
Kelezatan dari sate adalah saat sate tersebut disantap bersamaan dengan sausnya. Awalnya, sate yang populer di Indonesia adalah sate yang dimakan dengan bumbu kacang. Namun, seiring dengan persebaran sate ke berbagai daerah di Indonesia, beberapa daerah memiliki kreasi sate yang berbeda dan memiliki kekhasan dan kelezatan yang unik.
Variasi sate di Indonesia biasanya dinamakan berdasarkan tempat asal resep sate tersebut, jenis dagingnya, bahannya, atau proses pembuatannya. Ada sate Ponorogo Jawa Timur, sate Ambal Kebumen Jawa Tengah, sate Ampet dari Pulau Lombok, sate ati, sate babat, sate babi, sate Banjar, sate bebek Tambak Banyumas, sate Bekicot, sate Blora, sate Bulus, sate Buntel, sate kambing, sate kelapasate kelinci, sate kerrang, sate kerbau, sate kere , sate kikil (sate cecek),
Selain itu ada sate kuda, sate kulit, sate lembut, sate lilit, sate Madura, sate Makassar, sate manis, sate Maranggi, sate Padang, sate Pusut dari Pulau Lombok, sate susu dari Jawa dan Bali, sate taichan, sate Tegal, sate telur puyuh, sate telur muda, sate torpedo, Sate Gorontalo (Sate Tuna) dengan dabu-dabu arang, sate tuna (Sate Gorontalo), sate ular, sate usus, sate Maranggi dari Purwakarta Jawa Barat, dan sate Padang. (Hilal)