PANDEGLANG, LINIMASSA.ID – Di tengah upaya pengembangan destinasi alam di Banten, mencuat isu penolakan wisata Gunung Karang dari sebagian warga di kaki gunung tersebut, tepatnya di Kabupaten Pandeglang.
Sebuah video yang beredar menunjukkan sekelompok warga menyatakan secara terbuka larangan terhadap aktivitas wisata, seperti camping, tracking, dan gowes, di wilayah mereka. Ujaran-ujaran penolakan itu diungkap dalam forum warga yang direkam pada Minggu, 27 Juli 2025.
“Kami atas nama masyarakat wilayah Gunung Karang penolakan wisata Gunung Karang dijadikan tempat wisata,” tegas seorang tokoh lokal dalam video.
Pernyataan itu merupakan bagian dari kesepakatan warga yang khawatir dengan dampak sosial dari aktivitas wisata. Ini menjadi puncak dari keresahan yang perlahan tumbuh, walau tak semua kampung bersuara seragam.
Penolakan wisata Gunung Karang bukan tanpa alasan. Menurut sejumlah warga, aktivitas pendakian dan camping berisiko membawa perilaku menyimpang ke wilayah mereka, termasuk kekhawatiran terhadap kegiatan maksiat atau kerusakan lingkungan. Meski belum ada laporan resmi yang membenarkan tudingan tersebut, keresahan moral menjadi landasan utama sikap mereka.
Ujaran yang muncul di forum warga juga memperlihatkan ketegasan mereka. “Kami tidak ingin ada lagi tenda-tenda asing di sini. Gunung Karang bukan untuk tempat hura-hura,” ungkap salah satu warga perempuan yang turut hadir dalam pernyataan bersama.
Beberapa warga juga mengungkapkan bahwa mereka tidak diajak bicara dalam pengelolaan wisata sebelumnya.
Namun, penolakan wisata Gunung Karang ini tidak mewakili seluruh masyarakat kaki gunung.
Penolakan Wisata Gunung Karang, Ini Kata Kadis Pariwisata
Kepala Dinas Pariwisata Pandeglang, Rahmat Zultika, menjelaskan bahwa penolakan wisata Gunung Karang itu berasal dari sebagian kecil warga di satu kampung. “Mayoritas warga lainnya masih mendukung pengembangan wisata, khususnya melalui jalur Kadu Engang,” ujarnya.
Rahmat juga menyampaikan bahwa pendakian dan pengelolaan wisata Gunung Karang masih berjalan normal. Berdasarkan laporan dari pengelola lokal, pos pendakian Kadu Engang tetap buka setiap akhir pekan dan jumlah pendaki tidak mengalami penurunan signifikan.
Menurut data sementara, rata-rata kunjungan mencapai 250–300 orang per pekan sejak awal Juli 2025.Sementara itu, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Banten menunjukkan bahwa sektor pariwisata alam berkontribusi sebesar 7,8% terhadap pendapatan daerah tahun 2024, dengan pertumbuhan terbesar di Pandeglang dan Lebak.
Alasan penolakan wisata Gunung Karang karena dianggap berpotensi menjadi pendorong pemulihan ekonomi pasca-COVID-19, terutama bagi warga yang membuka usaha pendukung seperti warung, jasa ojek, dan penyewaan alat kemping.
Dinas Pariwisata mengklaim akan membuka ruang dialog untuk merespons aspirasi warga terkait penolakan wisata Gunung Karang. Dalam waktu dekat, pihaknya berencana mengadakan forum diskusi lintas desa dengan tokoh adat, tokoh agama, dan pemuda. “Kami tidak ingin konflik sosial berkembang. Ini harus ditangani dengan pendekatan partisipatif,” kata Rahmat.
Sebagian pengamat budaya melihat gejolak ini sebagai peringatan agar pemerintah daerah lebih berhati-hati dalam mengembangkan destinasi.
Gunung Karang, selain memiliki nilai ekologis, juga dianggap memiliki kesakralan dalam kepercayaan masyarakat lokal. Penolakan ini bisa menjadi refleksi bahwa pembangunan wisata perlu berpijak pada kearifan lokal dan etika kawasan.
Ke depan, pemerintah Pandeglang ditantang untuk merumuskan strategi pengelolaan berbasis masyarakat. Pendekatan ekowisata dan pelibatan warga dalam setiap tahap pengambilan keputusan dapat menjadi kunci agar konflik serupa tak terulang.
Penolakan wisata Gunung Karang seharusnya bisa menjadi contoh harmonisasi antara pariwisata dan pelestarian budaya.