linimassa.id – Pasti pernah melihat sosoknya di uang Rp20.000 bukan? Dialah Sam Ratulangi. Yuk cari tahu siapa beliau sebenarnya?
Selama menjabat sebagai anggota Dewan Rakyat, ia kerap berupaya melakukan penghapusan dari segala perbedaan politk, ekonomi, dan intelektual kolonial Pemerintah Belanda.
Untuk mengenang jasanya, wajah Sam Ratulangi diabadikan di gambar depan untuk uang kertas pecahan Rp20.000 tahun emisi 2022.
Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi atau lebih dikenal dengan nama Sam Ratulangi, adalah seorang politikus, jurnalis, dan guru dari Sulawesi Utara, Indonesia.
Ia adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ratulangi juga sering disebut sebagai tokoh multidimensional. Ia dikenal dengan filsafatnya: “Si tou timou tumou tou” yang artinya: manusia baru dapat disebut sebagai manusia, jika sudah dapat memanusiakan manusia. Ratulangi termasuk anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang menghasilkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dan merupakan Gubernur Sulawesi pertama.
Riwayat
Ia lahir pada 5 November 1890 di Tondano, Minahasa yang pada saat itu merupakan bagian dari Hindia Belanda.
Ia merupakan putra dari Jozias Ratulangi dan Augustina Gerungan. Jozias ini seorang guru di Hoofden School (sekolah menengah untuk anak-anak dari kepala-kepala desa) di Tondano.
Ia menerima pelatihan guru di Haarlem, Belanda sekitar tahun 1880. Augustina adalah putri dari Jacob Gerungan, Kepala Distrik (Mayoor) Tondano-Touliang.
Ia mengawali pendidikannya di sekolah dasar Belanda (Europeesche Lagere School), lalu ia melanjutkannya di Hoofden School, keduanya di Tondano.
Pada 1904, ia berangkat ke Jawa untuk masuk Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (STOVIA) setelah menerima beasiswa dari sekolah tersebut. Namun sesampainya di Batavia (sekarang Jakarta), ia berubah pikiran dan memutuskan untuk belajar di sekolah menengah teknik Koningin Wilhelmina.
Ia lulus pada 1908 dan mulai bekerja pada konstruksi rel kereta api di daerah Priangan selatan di Jawa Barat. Di sana ia mengalami perlakuan yang tidak adil dalam hal upah dan penginapan karyawan dibandingkan dengan karyawan Indo (Eurasia).
Pada 1911, Ratulangi kembali ke Minahasa, karena ibunya sakit parah. Ibunya meninggal pada tanggal 19 November 1911.
Ayahnya sudah meninggal waktu ia berada di Jawa. Setelah kematian ibu mereka, Ratulangi dan kedua saudara perempuannya membagi warisan orang tua mereka. Ratulangi berencana menggunakan uang yang dia terima untuk membiayai pendidikannya di Eropa.
Dia tiba di Amsterdam pada 1912 dan melanjutkan studinya yang dimulainya di Jawa, tetapi tidak selesai karena sakit ibunya.
Pada 1913, ia menerima sertifikat untuk mengajar matematika untuk tingkat sekolah menengah (Middelbare Acte Wiskunde en Paedagogiek).
Ia melanjutkan studinya di universitas di Amsterdam selama dua tahun lagi. Namun, ia tidak dapat menyelesaikan studinya, karena ia tidak diperbolehkan mengikuti ujian. Aturan dari universitas mengharuskan ia memiliki sertifikat tingkat SMA.
Sertifikat tersebut tidak dimiliki Ratulangi, karena ia tidak pernah menyelesaikan studinya di Hogere Burgerschool (HBS) atau Algemene Middelbare School (AMS).
Atas saran Mr. Abendanon, seorang Belanda yang bersimpati kepada orang-orang dari Indonesia yang disebut Hindia pada waktu itu, Ratulangi mendaftarkan diri dan diterima di Universitas Zurich di Swiss.
Pada 1919, ia memperoleh gelar Doktor der Natur-Philosophie (Dr. Phil.) untuk Ilmu Pasti dan Ilmu Alam dari universitas tersebut.
Pergerakan
Setelah kembali ke Makassar dan secara resmi mengumumkan proklamasi kemerdekaan, Ratulangi dihadapkan pada situasi yang sangat sulit. Jepang pada awalnya belum siap menyerahkan senjata mereka.
Ratulangi mampu mengadakan negosiasi dengan pihak-pihak terkait dalam upaya menjaga perdamaian, tetapi keadaan damai hanya bertahan selama dua bulan. Ia mampu membentuk pemerintah daerah yang beroperasi selama sembilan bulan.
Pada 5 April 1946, Ratulangi dan beberapa stafnya diambil dari rumah mereka dan ditahan oleh polisi militer Belanda. Mereka dipenjara selama tiga bulan kemudian diasingkan ke Pulau Serui di Kepulauan Yapen di Papua Barat.
Ratulangi juga diasingkan ke Serui bersama enam stafnya dan keluarga mereka: Josef Latumahina, Lanto Daeng Pasewang, Willem Sumampouw Tanod ‘Wim’ Pondaag, Suwarno, IP Lumban Tobing, dan Intje Saleh Daeng Tompo.
Di Serui, mereka berinteraksi dengan masyarakat setempat dengan mendirikan sekolah lokal dan organisasi sosial untuk membantu para wanita dalam komunitas.
Secara politik, Ratulangi terlibat dalam pembentukan Partai Kemerdekaan Irian Indonesia yang dipimpin oleh Silas Papare dengan Ratulangi sebagai penasihat.
Pada 23 Maret 1948, setelah penandatanganan Perjanjian Renville, Belanda melepaskan Ratulangi dan rekan-rekannya. Mereka dipindahkan ke Surabaya dan kemudian dikawal ke garis demarkasi dekat Mojokerto dan Jombang di mana mereka menuju ke ibu kota republik di Yogyakarta.
Mereka disambut dengan hangat oleh masyarakat di Yogyakarta dan sebuah acara penyambutan diadakan oleh Soekarno.
Ratulangi ditunjuk sebagai penasihat khusus untuk pemerintah Indonesia dan anggota delegasi Indonesia dalam negosiasi dengan Belanda. Dia juga mengunjungi pasukan di Jawa Timur dan menghadiri konferensi keuangan di Kaliurang. Sekitar waktu ini, ia sudah mulai mengalami masalah dengan kesehatannya.
Pada 10 November 1948, sebuah manifesto diumumkan oleh Radio Republik Indonesia yang mendesak rakyat Indonesia di bagian timur yang berada di bawah kendali Belanda untuk menjaga persatuan mereka dengan Republik Indonesia agar suatu hari Indonesia secara sepenuhnya akan menjadi merdeka.
Manifesto ini disebut Manifes Ratulangie atau Manifes Djokja. Yang ikut menandatangani manifesto ini adalah TST. Diapari, I Gusti Ketut Pudja, Pangeran Muhammad Noor, WST. Pondaag, dan Sukarjo Wiryopranoto.
Titik pertama dari manifesto ini berbunyi:
Bahwa perjuangan yang dilakukan oleh Republik Indonesia tidak hanya mengenai kepentingan lahir dan batin bagi bangsa Indonesia, yang tergabung dalam Republik Indonesia, akan tetapi juga meliputi kemerdekaan dan kehormatan bangsa Indonesia seluruhnya, serta pengakuan hak dasar rakyat itu untuk hidup bebas dan merdeka atas bumi, bagian dari dunia ini yang dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa kepada mereka.
Pada waktu Agresi Militer Belanda II, Yogyakarta dikuasai Belanda dan para pemimpin Indonesia termasuk Soekarno dan Hatta ditangkap dan diasingkan ke Bangka. Ratulangi ditangkap oleh Belanda pada tanggal 25 Desember 1948. Dia dipindahkan ke Jakarta pada tanggal 12 Januari 1949 untuk kemudian dipindahkan ke Bangka.
Namun, karena masalah kesehatannya, ia diizinkan tinggal di Jakarta sebagai tahanan rumah. Ratulangi meninggal pada tanggal 30 Juni 1949.
Ratulangi dimakamkan sementara di Tanah Abang.[49] Pada tanggal 23 Juli 1949, jenazahnya diangkut ke Manado dengan kapal KPM Swartenhondt.
Kapal itu sampai di Manado pada tanggal 1 Agustus 1949. Pada hari berikutnya, jenazah Ratulangi dibawah dan dimakamkan di kampung halamannya di Tondano.
Ratulangi sangat terkenal di Minahasa. Jalan-jalan besar atau utama di semua kota di Minahasa (Bitung, Manado, Tomohon, dan Tondano) diberi nama Jalan Sam Ratulangi.
Namanya juga dipakai untuk bandar udara internasional Manado seperti halnya universitas negeri di Manado. Patung-patung tentang Ratulangi terdapat di persimpangan antara Jalan Sam Ratulangi dan Jalan Bethesda di Manado, di kampus Universitas Sam Ratulangi, di samping makam Ratulangi di Tondano, di Jakarta dan Serui.
Bahkan di sebuah taman kota di Davao (Filipina) yang terletak di utara pulau Sulawesi. Pada tahun 2016, Kementerian Keuangan mengeluarkan uang baru seri 2016 di mana pecahan Rp. 20.000 menggambarkan Ratulangi di bagian depan. (Hilal)