linimassa.id – Penetapan kenaikan Upah Minimum Pekerja (UMP) 2024 di DKI Jakarta berlangsung alot. Dua kubu saling bersikukuh dengan aturan yang dipegang sebagai barometer penetapan UMP 2024.
Soal kenaikan UMP 2024 DKI Jakarta itu dibahas oleh Pemorov DKI Jakarta melalui dewan pengupahan di Gedung Blok G Balaikota, Jakarta Pusat, pada Jumat (17/11/2023).
Pakar dari Universitas Indonesia Fakultas Ekonomi, Djainal Abidin Simanjuntak menjelaskan, terkait putusan pembahasan tersebut.
Menurutnya, penetapan UMP 2024 DKI Jakarta berlangsung alot lantaran ada dua kubu yang berbeda pendapat.
Kubu pertama dari pelaku usaha mengusulkan UMP disesuaikan dengan formula dalam Peraturan Pemerintah nomor 51 tahun 2023 dengan kenaikan 20 persen.
“Ada kenaikan 20 persen dari pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi, itu adalah usulan dari teman-teman Kadin dan APINDO,” jelas Djainal.
Kubu kedua, yakni dari Serikat Pekerja yang menggunakan formula sendiri untuk menghitung UMP 2024 DKI Jakarta. Yakni inflasi + alpha + indeks tertentu 8 koma sekian atau total 15 persen.
“Sehingga tuntutan mereka itu UMP 2024 sekitar Rp 5,6 juta. Sementara dari unsur Pemerintah, tetap menggunakan formula PP Nomor 51 Tahun 2023 dengan Alpha 0,3 persen,” ujarnya.
Djainal juga menuturkan, dari pihaknya sendiri, mengusulkan kenaikan sebesar Alpha 0,3 atau 30 persen sejalan dengan Pemerintah.
Menurutnya, memang kontribusi pekerja itu sudah layak 0,3 Alpha nya karena ada pertimbangan penyerapan tenaga kerja memang seharusnya lebih rendah dari Alpha 0,3.
“Tapi pertimbangan terkait dengan Median upah rata-rata, itu median upah rata-rata DKI masih jauh lebih tinggi dibandingkan UMP berjalan. Sehingga, pertimbangan itu bisa lebih tinggi lagi dari usulan pelaku usaha,” ujarnya.
Dikesempatan yang sama, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Jaminan Sosial dan K3 Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Nurjaman mengatakan, jika usulan dari pihaknya tidak dapat diterima maka mereka akan mencoba pertimbangkan.
“Kita harus yakin bahwa pemerintah akan selalu mempertimbangkan tentang kelangsungan usaha, kelangsungan bekerja, itu harus dipertimbangkan,” ungkapnya.
“Karena gini, hari ini kita memutuskan upah minimum provinsi bukan lagi upah yang lain, upah minimum itu adalah jaring pengaman untuk masa kerja karyawan 0 tahun kebawah. Yang 1, 2, 3 tahun ke atas itu akan diatur oleh skala upah yang dibuat oleh perusahaan masing-masing. Kenapa? Karena masing-masing perusahaan akan berbeda, akan berbeda karakter, akan berbeda budaya tentang kemampuan perusahannya”, papar Nurjaman.
Sementara itu, Ketua Bidang Pengupahan Dewan Pengupahan Provinsi DKI Jakarta perwakilan Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK Indonesia), Dedi Hartono mengaku, bakal melakukan konsolidasi jika usulan mereka ditolak.
“Relatif angka pemerintah di aturan PP 51 di zona nyaman, angka 30 persen itu sudah angka mentok. Tinggal kalaupun kita lihat dari kenaikan angka 30 persen alfa itu adalah hanya sekitar 3,38 persen. Jadi artinya masih di bawah pertumbuhan ekonomi kita,” papar Dedi.
“Pertumbuhan ekonomi kita itu 4,96 tapi kalau misalnya kenaikan upah kita dibatasi hanya dibawah pertumbuhan ekonomi ya tetap aja posisi kita tidak merasakan adanya kontribusi terhadap pekerja yang seharusnya diberikan kepada pekerja semuanya,” sambung Dedi.
Dedi juga menyebut, jika PP 51 telah menggerus pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan PP 78 2015. Menurutnya, PP 51 merupakan down great dari PP 78 2015 yang dulunya menggunakan formulasi, inflasi pertumbuhan ekonomi.
“Hari ini justru dengan munculnya PP 51 angka pertumbuhan ekonomi kita jadi disortir 10 sampai 30 persen. Jadi sebenarnya di PP 51 justru menggerus pertumbuhan ekonomi yang seharusnya dinikmati oleh semua pekerja daripada buruh,” pungkasnya.