linimassa.id – Agama Islam telah memberikan pedoman yang komprehensif dalam berbagai aspek kehidupan manusia termasuk kewajiban orang tua terhadap anak.
Di dalam kitab Risalah al-Huquq (Hasan al-Qabanci, j. 1, h. 437), Ali Zainal Abidin berkata:[1]
وأما حق ولدك فأن تعلم أنه منك ، ومضاف إليك في عاجل الدنيا بخيره وشره. وأنك مسؤول عما وليته من حسن الأدب، والدلالة على ربه عز وجل والمعونة له على طاعته. فاعمل في أمره عمل من يعلم أنه مثاب على الإحسان إليه معاقب على الإساءة إليه.
Artinya, “Adapun hak anakmu atasmu adalah engkau tahu bahwa ia berasal dari dirimu, kebaikan dan keburukan dirinya di dunia terkait dengan dirimu. Engkau akan mempertanggungjawabkan kewalianmu atasnya, yaitu mendidiknya dengan baik dan mengenalkannya kepada Tuhan. Berbuatlah pada dirinya layaknya orang yang tahu bahwa dia berpahala atas kebaikan dan mendapatkan siksa atas keburukan yang dia lakukan pada anaknya.”
Orang tua harus sepenuhnya memiliki sense of belonging dan sense of responsibility atas anak-anaknya. Terkadang orang tidak peduli pada sesuatu karena dia berpikir sesuatu itu bukan miliknya sehingga dia tidak bergairah untuk merawat dan mengupayakan kebaikan baginya. Bagi orang tua, anak bukan sekadar miliknya, tapi perpanjangan dari dirinya. Dia bertanggung jawab mengupayakan kebaikan dan menjauhkan keburukan dari anaknya seperti dia melakukannya bagi dirinya sendiri.
Di dalam hadis:
الزموا أولادكم وأحسنوا آدابهم فإن أولادكم هدية إليكم
Artinya, “Bersamailah anak-anakmu dan buatlah mereka memiliki sopan-santun yang baik karena mereka adalah hadiah bagimu.”
Anak-anak membutuhkan kehadiran orang tua pada setiap fase hidup mereka. Orang tua, terutama ayah, tidak boleh pensiun, apalagi pensiun dini, dari tugas ini sehingga melahirkan apa yang disebut sebagai fatherless society, yaitu masyarakat terlilit masalah besar dikarenakan tidak hadirnya ayah dalam tugas keorangtuaan. Kondisi ini terjadi ketika suami/ayah yang tidak ada untuk keluarga. Ayah absen dari lembaga sosial seperti penitipan anak, sekolah, dan tempat anak bermain dan mengembangkan diri lainnya. Akibatnya, anak memiliki masalah yang harus mereka tanggung sendirian tanpa orang yang mendampingi, mengarahkan, membimbing, dan menguatkan mereka dalam mengatasinya.
Selanjutnya, karena masalah orang di sepanjang hidupnya, yakni ketika dia kanak-kanak berbeda dengan masalahnya ketika remaja dan dewasa, maka kemampuan orang tua untuk dapat membersamai anak-anak pada fase-fase tersebut juga berbeda. Kompetensi untuk membersamai anak-anak pada satu fase tertentu boleh jadi tidak ampuh untuk fase lainnya. Orang tua harus terus belajar dan mengembangkan diri. Pengetahuan dan skill mereka harus terus ter-up to date sehingga nyambung dengan anak-anak mereka.
Ada hadis populer yang menyuruh orang tua untuk mengajari anak-anak berenang, memanah, dan menunggang kuda. Meski ada yang mengatakan bahwa ini adalah perkataan Umar bin al-Khaththab, dan bukannya ucapan dari Nabi Saw, tapi ada sejumlah hadis lain dengan redaksi yang berbeda, seperti, “Ajarilah anak-anak lelakimu berenang dan memanah, dan ajari anak perempuanmu memintal,” atau, “Hak anak atas orang tua adalah diajari menulis, berenang, dan memanah.”
Redaksi hadis yang terakhir sangat menarik karena dua hal. Pertama, poin menunggang kuda diganti dengan poin mengajari anak-anak untuk menulis. Kedua, semua poin yang terkandung di dalam redaksi hadis ini tidak dapat dimaknai secara harfiah, tapi harus digali maknanya secara mendalam dan dikaitkan dengan konteks yang dinamis. Dengan kata lain, saat hendak menunaikan tugas mengajar anak menulis, maka itu bukan sekadar mengajar menulis; saat mengajar mereka berenang, maka itu bukan sekadar mengajar berenang; dan saat mengajar mereka memanah, maka itu bukan sekadar memanah.
Menulis adalah simbol dari ilmu pengetahuan, berenang adalah simbol dari olah raga, dan memanah adalah simbol dari kekuatan untuk membela umat manusia. Ilmu disimbolkan dengan menulis karena menulis adalah instrumen ilmu yang utama. Olah raga disimbolkan dengan berenang karena berenang adalah jenis olah raga yang paling optimal dalam menyegarkan tubuh. Kekuatan dilambangkan dengan memanah karena memanah mengajarkan untuk fokus kepada sasaran.
Berenang bukanlah sekadar cara agar orang tidak tenggelam di air, tapi juga menyelam ke dalam dasar sungai, rawa, danau, dan laut untuk menemukan kekayaan alam dan makhluk-makhluk Allah yang ajaib.
Memanah bukan saja menggunakan anak panah, tapi menggunakan senjata apa saja dalam perang jarak jauh. Perang jarak jauh lewat panah lebih “beradab” daripada beradu pukul. Ia memberikan tekanan yang lebih ringan bagi kedua belah pihak yang berperang karena mereka tidak menyaksikan “kerusakan” yang mereka sebabkan pada musuh. Karena itulah manusia mengembangkan pistol hingga peluru kendali. Mereka ingin menghancurkan musuh tanpa beranjak dari rumah. Selanjutnya, orang tidak hanya harus memfokuskan anak panahnya ke sasaran, tapi kata-kata dan pikirannya juga harus tepat mengenai sasaran.
Mengajar anak menulis juga harus dipahami secara kontekstual. Budaya menulis yang baik adalah buah dari budaya membaca yang baik. Sementara itu, tingkat kegemaran membaca orang Indonesia sangat rendah. Pemerintah Indonesia mengakui survei yang dilakukan organisasi internasional seperti UNESCO yang mengungkapkan bahwa dari 1000 orang Indonesia, hanya 1 yang rajin membaca. Akibatnya, daya saing, prestasi, penghasilan, bahkan kesadaran orang Indonesia untuk merawat dirinya juga rendah.
Setiap keluarga harus mengalokasikan dana atau waktu untuk pengembangan budaya literasi keluarga, di antaranya untuk membeli buku atau mengunjungi perpustakaan. Meski di Indonesia buku belum menjadi barang yang murah didapatkan, namun setiap orang tua harus berusaha agar anak-anaknya mudah mendapatkan buku yang mereka butuhkan atau sukai. Ketika orang perlu memakai masker agar tubuhnya tidak terpapar virus, dia juga perlu membaca buku agar tidak terpapar pengetahuan yang menyesatkan. Ketika orang perlu nutrisi yang baik agar raganya sehat dan tangkas, dia juga perlu buku yang menjadi nutrisi jiwanya agar terpelajar dan berbudaya.(*)
[1] Hasan al-Qabanci, Syarh Risalah al-Huquq Li al-Imam Zayn al-‘Abidin, jilid 1, Beirut: Mu’assasah al-A’la li al-Mathbu’at, 2002, 437 dst.