LINIMASSA.ID – Di tengah banjir novel yang mengejar plot berliku dan kejutan besar, Pohon-pohon yang Ditanam setelah Luka justru memilih berjalan pelan. Novel ini tidak datang dengan janji sensasi, tetapi menawarkan sesuatu yang lebih langka: ruang tenang untuk mengenali luka, memaafkan diri sendiri, dan memahami bahwa cinta tidak selalu harus berujung pada kepemilikan.
Setiawan Chogah menghadirkan tokoh Raif, Rangga, dan Dinda dalam jalinan kisah yang sunyi namun dalam. Hubungan mereka tidak digambarkan sebagai drama cinta terlarang yang gaduh, melainkan pergulatan orang-orang dewasa yang berusaha jujur terhadap perasaan, tanggung jawab, dan keluarga.
Di sela cerita, hadir Keira—anak kecil yang polos—yang justru sering menjadi cermin kejujuran paling tulus di dalam rumah.
Pohon sebagai Bahasa Luka dan Pulang
Hampir setiap bab ditandai oleh nama pohon: Ficus virens, Santalum album, Michelia champaca, Olea europaea, hingga Mangifera indica. Pohon-pohon ini bukan sekadar hiasan atau latar. Mereka diperlakukan seperti tokoh pendukung yang diam, tetapi terus bekerja.
Dari akar, daun, hingga kelopak yang jatuh, pembaca diajak melihat bahwa alam bisa menjadi bahasa lain untuk membicarakan luka, pulang, dan keikhlasan. Pohon yang disiram, daun yang gugur, kelopak yang jatuh tanpa bunyi—semuanya menjadi metafora halus tentang cara manusia bertahan dan saling menjaga tanpa harus saling memiliki.
Detail Mikro yang Menyimpan Ledakan Emosi
Alih-alih menjelaskan perasaan panjang lebar, penulis sering memilih menghadirkannya melalui gerak kecil: tangan yang merapikan kerah seragam, seseorang yang meneteskan minyak cendana di pergelangan, anak yang menyiram pohon sambil memberi nama rahasia, atau kunci rumah yang diletakkan di atas surat.
Detail mikro seperti ini membuat emosi terasa lebih halus, tetapi justru lebih mengena. Pembaca tidak dipaksa menangis, tetapi tiba-tiba menyadari dada terasa hangat dan perih sekaligus.
Relasi Raif dan Rangga juga tidak pernah diberi label keras. Pembaca diajak memahami bahwa ada jenis kasih sayang yang memilih menjelma doa, bukan tuntutan. Dinda pun tidak digambarkan sebagai “pihak yang tersakiti” semata, tetapi sebagai sosok yang pelan-pelan menemukan rasa aman di tengah kenyataan yang rumit.
Gaya Bahasa: Lirih, Puitis, tetapi Tetap Akrab
Salah satu kekuatan buku ini adalah gaya bahasa yang lirih namun tetap komunikatif. Kalimat-kalimatnya puitis, tetapi tidak berlebihan. Pembaca yang tidak terbiasa dengan sastra “berat” masih dapat menikmati alurnya, selama bersedia membaca dengan tempo lebih pelan.
Struktur cerita diselingi “kidung pengantar” di awal bab—semacam rekomendasi lagu yang menjadi latar suasana. Pembaca yang senang mendengarkan musik sambil membaca dapat merasakan bab-bab penting dengan lapisan emosi tambahan.
Bagian “Sesudah Pohon-pohon Bicara” di akhir buku juga menjadi penutup yang menarik. Di sana, penulis menjembatani dunia fiksi dan kenyataan, sekaligus memperlihatkan bahwa novel ini “meminjam cahaya kenyataan untuk menerangi fiksi”—bukan otobiografi, tetapi jelas berangkat dari pengalaman dan perjumpaan yang sungguh-sungguh.
Untuk Siapa Buku Ini?
Tentu, tidak semua pembaca mungkin cocok. Mereka yang terbiasa dengan alur cepat dan konflik eksplosif mungkin akan merasa cerita ini bergerak terlalu lambat. Namun bagi pembaca yang sedang mencari bacaan untuk menemani masa-masa sunyi, untuk menata ulang cara memandang luka dan pulang, buku ini bisa menjadi teman yang aman dan lembut.
Pada akhirnya, Pohon-pohon yang Ditanam setelah Luka tidak menawarkan resep sembuh. Novel ini justru mengajak pembaca menerima bahwa tidak semua luka harus “sembuh tuntas”. Sebagian luka mungkin lebih berguna jika diubah menjadi kebun: ditanam, dirawat, dan dibiarkan tumbuh menjadi pohon-pohon yang meneduhkan orang lain.
Jika Anda mencari novel yang tidak sekadar menghibur, tetapi juga mengajak berhenti sejenak, bernapas, dan berdamai dengan perjalanan hidup sendiri, buku ini layak ditempatkan di meja kerja atau di samping tempat tidur—siap dibaca pelan-pelan, satu bab sekali duduk, seperti menyiram satu pohon setiap hari.
Identitas Buku
• Judul: Pohon-pohon yang Ditanam setelah Luka
• Penulis: Setiawan Chogah
• Penerbit: Techfin Insight
• Tahun terbit: 2025
• Cetakan: Ketiga (edisi revisi visual): Oktober 2025
• Tebal: 246 halaman
• Ukuran: 14 cm x 21,6 cm
• Desain & layout sampul: Ammar Fahri
• Editor: Keira Zareen
• Ilustrator: Arden Gustav



