linimassa.id – Ada lontaran yang mungkin merupakan candaan, tapi mengisyaratkan kurangnya penghormatan terhadap pernikahan. Misalnya, ketika seorang mahasiswa bosan dan lelah menghadapi tugas akhir kuliah, lalu terlontar ucapan darinya, “Jadi kepingin nikah aja nih.”
Jika ucapan itu serius, itu niat yang tidak baik. Pernikahan bukan pelarian. Jika tugas kuliah saja tidak dapat diselesaikan, bagaimana dia berharap pernikahan dapat menyelamatkannya sedangkan pernikahan justru akan memberikannya tugas lain yang lebih berat.
Pernikahan sebagai pelarian juga dapat dilandasi oleh niat lain yang tidak baik. Misalnya, “melarikan diri” atau ingin keluar dari keluarga yang tidak menyenangkan atau ingin ada orang yang melayani atau memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Di sisi lain, belakangan ini banyak perbincangan di media sosial tentang child free oleh kaum perempuan. Mereka ingin tidak punya anak sehingga mereka memilih tidak menikah. Boleh jadi mereka menikah, tapi sepakat untuk tidak memiliki anak.
Orang yang sudah menikah sebenarnya memang belum tentu punya keturunan, tapi menikah memang jalan untuk memperoleh keturunan.
Baik mau atau tidak mau menikah, alasannya harus baik. Dengan kata lain, menurut saya, orang boleh jadi memilih untuk menikah atau tidak menikah selama dia memiliki dasar yang rasional.
Seorang filsuf bernama Abu al-‘Ala al-Ma‘arri tidak mau menikah karena dengan dasar filsafat pesimistiknya. Dia menganggap bahwa hidup ini penuh dengan tantangan di luar batas kemampuan manusia.
Tubuh manusia lemah. Akal manusia lemah. Ada banyak penyakit. Ada banyak masalah. Lalu, manusia harus menjalani tata kehidupan tertentu yang jika tidak dipenuhi maka dia akan dihukum, baik di dunia ini maupun di dunia lain.
Orang tidak meminta dan memilih untuk hidup. Beban berat ini harus dia tanggung karena ada orang tua yang menjadi penyebab kelahirannya. Maka, untuk tidak menjadi penyebab orang lain menanggung beban itu, al-Ma‘arri memilih untuk tidak menikah.
Lalu, ada ‘Abbas Mahmud al-‘Aqqad yang juga memilih untuk tidak menikah berdasarkan filsafat optimismenya. Dia mengatakan bahwa hidup adalah anugerah dan untuk setiap anugerah orang harus membayar harga atau pajaknya.
Pajak yang diminta oleh kehidupan kepada semua manusia adalah menyumbang sesuatu yang dapat membuat kehidupan terus berlangsung di dunia ini. Yang dapat dipenuhi semua orang adalah membayar pajak ini dengan cara menikah dan berketurunan.
Tapi, binatang juga dapat membayar pajak seperti itu, bahkan semakin rendah tingkatan suatu binatang dalam rantai makanan, maka dia berketurunan lebih banyak. Tikus anaknya banyak, kucing lebih sedikit, singa lebih sedikit lagi.
Manusia dapat berkarya yang membuat kehidupan berjalan lebih baik. Pajak seperti ini diberikan oleh bukan orang kebanyakan. Jadi, tidak menikah dan tidak memiliki keturunan bukan masalah selama memiliki kontribusi bagi kehidupan.
Saya sempat tertarik pada pemikiran al-Ma‘arri dan al-‘Aqqad, tapi lalu saya meninggalkannya dan memilih untuk menikah dan kini alhamdulillah sudah dikarunia anak.
Alasan saya tidak mengikuti pemikiran mereka adalah mereka berdua adalah muslim. Sebagai muslim, junjungan dan teladan hidup mereka adalah Nabi Muhammad Saw yang menikah. Nabi Saw tidak menyusahkan keturunannya, menyumbangkan keturunan yang baik dan kontribusi yang tiada tanding untuk dunia hingga saat ini.
Menikah adalah ajaran dari manusia yang paling mulia dan memiliki anak dapat menjadi penyebab masuk surga. Jadi, “mengikuti sunnah Nabi Saw” adalah niat yang baik dan benar untuk menikah. (red)
Penulis:
Ahmad Fadhil merupakan Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanuddin Banten.