LINIMASSA.ID – Setiawan Chogah, penulis asal Banten yang dikenal lewat novel Pohon-pohon yang Ditanam setelah Luka, kembali menulis dengan nada yang lebih matang dan reflektif.
Lewat karya terbarunya, Laki-laki yang Membawa Pohon di Dalam Dada, ia memperlihatkan bahwa luka bukan akhir dari perjalanan manusia, melainkan pintu menuju cara hidup yang baru.
Raif, tokoh utama yang sebelumnya berjuang berdamai dengan masa lalunya, kini pindah ke Hong Kong. Di kota padat yang tak pernah tidur itu, ia memulai ulang hidupnya dengan tenang, tapi tidak pasif. Ia belajar menata ulang ritme, bekerja, menulis, dan menemukan makna baru dari kata “bertahan”.
“Kau cepat belajar,” kata Ziraf, sosok baru yang kelak menjadi jangkar Raif dalam kehidupan yang penuh transisi.
Hong Kong: Latar yang Bekerja Seperti Cermin
Berbeda dari karya sebelumnya yang berakar di Serang, novel ini mengambil Hong Kong sebagai latar utama.
Kota itu digambarkan bukan hanya sebagai tempat, tapi sebagai simbol ketekunan dan refleksi.
Setiawan menulis dengan pendekatan sinematik, trem, feri, dan jalan-jalan Wan Chai menjadi latar yang memantulkan isi kepala Raif.
Setiawan bahkan mengunjungi Hong Kong dua tahun lalu untuk memperkuat detail mikro cerita: dari suasana flat kecil, bau teh melati di udara, sampai cahaya sore yang jatuh di jendela trem.
Semua pengamatan itu diolah menjadi prosa yang tenang, sekaligus akurat.
Dari Luka ke Bertahan: Seni Hidup di Era Digital
Laki-laki yang Membawa Pohon di Dalam Dada berbicara tentang seni bertahan di dunia digital.
Raif kini bekerja sebagai dosen tamu, penulis artikel, dan konsultan keuangan, profesi yang menuntut keseimbangan antara idealisme dan realitas ekonomi.
Setiawan menggunakan profesi Raif untuk membicarakan tema yang lebih luas: bagaimana manusia modern mengatur ritme hidup di tengah dunia yang menuntut kecepatan.
Alih-alih memuja produktivitas, novel ini mengajak pembaca menemukan makna di sela jeda.
“Pelan itu cara tubuh memelihara pikirannya,” tulis Raif dalam satu catatan di buku kraft-nya.
Sosok Baru Bernama Ziraf
Karakter baru bernama Ziraf, seorang fotografer, muncul sebagai titik keseimbangan dalam hidup Raif.
Ziraf bukan sekadar pendamping, tapi jangkar yang membuat Raif kembali mengenali dirinya.
Ia membantu Raif melihat bahwa hidup tak perlu selalu terang, kadang cukup tahu kapan meredup agar sesuatu lain bisa bersinar.
Setiawan menggambarkan hubungan manusia tanpa label dan tanpa eksposisi berlebih.
Di situ, keheningan bekerja lebih kuat dari dialog.
Tokoh Lama, Makna Baru
Bagi pembaca Pohon-pohon yang Ditanam setelah Luka, novel ini akan menjadi ruang pertemuan yang hangat.
Tokoh-tokoh seperti Rangga, Dinda, Ayra, Amar, dan Keira kembali muncul, tapi tidak untuk diulang, melainkan untuk ditutup dengan lebih tenang.
Setiawan memberi “penyelesaian yang lembut” bagi masing-masing, tanpa harus menjelaskan semuanya.
Beberapa bab juga masih menampilkan Kota Serang sebagai latar, menghadirkan kembali suasana rumah lama Raif, seolah akar yang tak pernah benar-benar putus.
Bisa Dibaca Gratis di Wattpad, Rilis Cetak 2 Desember
Setiawan membuka kesempatan bagi pembaca untuk membaca gratis di Wattpad melalui akun @setiawanchogah.
Novel Laki-laki yang Membawa Pohon di Dalam Dada akan diperbarui setiap minggu dalam 22 bab bersambung.
Sementara bagi pembaca yang ingin menikmati versi utuh, buku cetak akan tersedia di Tokopedia mulai 2 Desember 2025, bertepatan dengan ulang tahun ke-37 Setiawan Chogah.
Tahun 2025 menjadi titik balik penting, setelah lama absen, ia menutup tahun ini dengan dua novel panjang: versi revisi visual Pohon-pohon yang Ditanam setelah Luka dan karya baru ini.
“Menulis bukan lagi tentang menyembuhkan,” tulisnya, “tapi tentang menjaga agar yang sembuh tidak kembali terluka.”
Tentang Setiawan Chogah
Setiawan Chogah adalah penulis, desainer, dan mentor kreatif asal Banten.
Karyanya memadukan bahasa yang puitik dengan observasi sosial yang tajam.
Selain menulis, ia aktif di Techfin Insight, platform edukasi keuangan dan karier digital bagi komunitas kreatif dan pekerja migran Indonesia di Asia.
Karyanya banyak membahas hubungan antara manusia, waktu, dan kesadaran diri, tiga hal yang selalu ia sebut sebagai “akar yang tumbuh di dada.”



