linimassa.id – Setiap 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri Nasional. Awalnya diusulkan pada Jumat (27/6/2014) saat kunjungan Joko Widodo saat masih menjadi calon presiden. Itu diusulkan oleh ratusan santri Pondok Pesantren Babussalam, Desa Banjarejo, Malang, Jawa Timur.
Hingga akhirnya pada 22 Oktober ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri pada 15 Oktober 2015 yang lalu.
Keputusan ini didasari tiga hal, yaitu karena dalam perjuangan merebut serta mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia ulama serta santriwan santriwati pondok pesantren memiliki peran yang besar. Ulama dan santri pondok pesantren juga memiliki peran dalam mengisi kemerdekaan Indonesia tersebut.
Alasan kedua karena dibutuhkan untuk mengenang dan meneladani perjuangan serta peran para ulama dan santri dalam membela dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta berkontribusi dalam pembangunan bangsa. Agar generasi selanjutnya dapat meneladani serta melanjutkan perjuangan tersebut.
Alasan ketiga adalah karena 22 Oktober tersebut merujuk pada Resolusi Jihad yang dicetuskan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, sebuah ketetapan yang menggerakkan massa untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Seruan itu mewajibkan setiap muslim untuk membela tanah air dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari serangan penjajah
Dijelaskan bahwa resolusi jihad itu adalah peristiwa penting yang menggerakkan santri, pemuda dan masyarakat untuk bergerak bersama, berjuang melawan pasukan kolonial.
Tujuan dari seruan itu adalah untuk menghadang kembali tentara Kolonial Belanda yang menyamar sebagai NICA (Netherlands Indies Civil Administration). Lalu para santri di Surabaya menyerbu Markas Bridge 49 Mahratta yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby.
Pertempuran berkepanjangan ini berlangsung pada 27, 28, dan 29 Oktober 1945, dan berakhir dengan kematian Jenderal Mallaby dan sekitar 2.000 pasukan Inggris.
Kejadian ini memicu kemarahan angkatan perang Inggris, yang kemudian memuncak dalam Peristiwa 10 November 1945.
Peringata ini diharapkan agar perjuangan serta peran para ulama serta santri dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dapat terus dikenang, serta dapat diteladani agar generasi yang akan datang mampu memiliki semangat mengisi kemerdekaan yang telah susah payah diperjuangkan tersebut.
Momentum
Peringatan ini sebagai momentum meneladani semangat jihad ke-Indonesiaan para pendahulu, semangat kebangsaan, semangat cinta tanah air, semangat rela berkorban untuk bangsa dan negara. Hari Santri ditandai sebagai semangat menyatukan keberagaman, semangat menjadi satu untuk Indonesia.
Ini ebagai langkah revolusi melawan kolonialisme Belanda, di mana ketika itu Hadratussyaikh K.H. M. Hasyim Asy’ari mengumandangkan Resolusi Jihad melawan Belanda (NICA) yang hendak kembali menjajah Indonesia.
Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 inilah yang dianggap menggelorakan semangat dan menggerakkan perjuangan Santri bersama rakyat secara bahu membahu dipimpin Bung Tomo, yang berpuncak pada perang terbuka mengusir penjajah Belanda pada 10 November di Surabaya sebagai inspirasi lahirnya hari santri.
Dalam pertempuran itu tidak terhitung banyaknya Santri yang gugur sebagai syuhada dalam perjuangan revolusioner mengusir penjajah Belanda yang diawali Resolusi Jihad 22 Okotober 1945 yang berpuncak pada 10 November 1945 yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.
Hari Santri diharapkan mampu memicu semangat serta dedikasi santri dan pesantren dalam upaya menciptakan generasi intelektual agama melalui pendidikan pesantren, serta kontribusi dalam dalam penyelesaian masalah sosial, politik, ekonomi yang berasaskan nilai-nilai keislaman. (Hilal)