linimassa.id – Secara umum, kertas dibuat dari kayu. Dan ini dampaknya sangat tidak ramah lingkungan.
Kertas berasal dari pohon yang baru ditebang, sekitar 16 persen dibudidayakan, ini menurut Ecology Global Network.
Tentu saja menebang pohon liarr untuk produksi menimbulkan dampak buruk, termasuk hilangnya habitat satwa liar.
Energi yang dibutuhkan untuk menebang dan mengolah pohon menjadi kertas, yaitu dengan melepaskan CO2 ke atmosfer yang berkontribusi pada penumpukan gas rumah kaca dan mendorong perubahan iklim ekstrem.
Di luar itu, ada alternatif kertas ramah lingkungan, yang jejak karbonnya jauh lebih kecil dari pada kertas tradisional.
Kertas ini lebih hijau, jejak karbon yang lebih kecil, dan dapat mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan secara keseluruhan.
Ada dua jenis utama kertas ramah lingkungan. Pertama adalah kertas daur ulang, dan kedua, adalah kertas Bersertifikat FSC atau PEFC.
Setiap ton kertas daur ulang seperti dilansir The World Counts (2021), dapat menghindari penggunaan 17 pohon, 1.440 liter minyak, 2.300 liter ruang TPA, 4.000 kilowatt energi, dan 26.500 liter air.
Kertas cukup mudah didaur ulang, tetapi 55 persen pasokan kertas global berasal dari pohon yang baru ditebang.
Forest Stewardship Council (FSC), adalah organisasi multi-stakeholder nirlaba internasional yang didirikan pada 1993 untuk mempromosikan pengelolaan hutan dunia yang bertanggung jawab.
Setiap produk kertas atau kayu yang disertifikasi FSC dibuat dengan praktik berkelanjutan. FSC mempertimbangkan perlakuan tidak etis perusahaan kertas atau kayu terhadap masyarakat adat.
Contohnya perusahaan menggusur masyarakat adat untuk mengeksploitasi hutan, diambil kayunya, dan memproduksi kertas.
Sampai saat ini, mayoritas bahan baku pembuatan kertas masih berasal dari selulosa yang terdapat pada kayu.
Masifnya penggunaan kayu sebagai bahan baku kertas ini telah menimbulkan masalah lingkungan. Bahkan, pembuatan kertas dari kayu dengan proses pembuatan yang tidak berkelanjutan dapat meningkatkan angka deforestasi.
Pembuatan kertas umumnya mencakup berbagai proses seperti delignifikasi atau penghilangan lignin (zat kayu) dan proses bleaching atau pemucatan dengan menggunakan klorin.
Kedua proses ini nantinya juga akan menghasilkan limbah yang membahayakan dan dapat merusak lingkungan bila tidak dikelola dengan benar.
Proses yang tidak ramah lingkungan dalam pembuatan kertas ini mendasari Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian IPB University Khaswar Syamsu untuk mengembangkan kertas dari selulosa mikrobial.
Inovasi yang telah dikembangkan sejak 2010 ini memiliki aspek yang lebih ramah lingkungan karena berbahan baku utama air kelapa atau nata
Berbeda dengan kayu, pemanfaatan limbah dari air kelapa, tapioka, tahu, maupun nanas ini dapat menghasilkan 100 persen selulosa.
Sementara selulosa yang dihasilkan dari kayu yakni sebesar 70 persen dan 30 persen lainnya masih memiliki kandungan lignin.
Kandungan lignin inilah yang perlu dihilangkan saat membuat kertas melalui proses delignifikasi.
Selulosa dari kayu umumnya juga masih berwarna coklat. Oleh karena itu, pembuatan kertas konvensional masih perlu melakukan proses pemutihan atau pemucatan yang menggunakan bahan kimia untuk mencapai tingkat warna yang diharapkan.
Pembuatan kertas dengan selulosa mikrobial air kelapa juga lebih tinggi dari aspek produktivitas.
Sebab, bahan baku ini sudah bisa dihasilkan dalam waktu delapan hari mulai dari proses inokulasi bakteri (pemindahan mikroorganisme) sampai masa pemanenan.
Bila dibandingkan dengan kertas konvensional, pemenuhan bahan baku kayu memiliki jangka waku lebih panjang.
Sebagai contoh, penanaman pohon jenis Acacia mangium paling cepat baru bisa dipanen dalam waktu empat tahun. Akan tetapi, rata-rata pemanenan kayu dari industri kertas dilakukan saat pohon sudah berumur lima sampai enam tahun.
Sementara dari aspek pembuatan, bahan dan formulasi kertas selulosa mikrobial ini hampir sama dengan kertas konvensional.
Pembuatan kertas selulosa mikrobial juga ditambahkan dengan bahan aditif lain seperti tepung kanji dan kaolin.
Perbedaan paling mendasar antara kertas selulosa mikrobial dan kertas konvensional hanya pada bahan baku utama.
Proses pembuatan kertas ramah lingkungan ini juga melalui beberapa tahapan. Tahapan pertama yang dilakukan yaitu penguraian serat kemudian pengenceran dan homogenisasi atau pencampuran bahan.
Setelah itu, tahapan berikutnya yakni pencetakan dengan mesin untuk membuat menjadi lembaran kertas dan dilakukan pengeringan.
Meski telah dikembangkan sejak 2010, sampai sekarang kertas selulosa mikrobial ini baru diproduksi secara terbatas untuk kebutuhan sampel dan belum diproduksi dalam skala besar.
Inovasi ini memang tidak bisa langsung sepenuhnya mensubstitusi kertas konvensional.
Akan tetapi, pengembangan kertas selulosa mikrobial dalam skala besar diharapkan mampu mengurangi penggunaan kayu untuk produksi kertas konvensional sehingga dapat menyelamatkan hutan-hutan yang tersisa.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mengembangkan industri pulp dan kertas agar lebih produktif dan inovatif sehingga bisa berdaya saing di kancah domestik maupun global.
Adanya ketersediaan bahan baku di dalam negeri, industri pulp dan kertas memiliki potensi bisnis yang besar untuk berkontribusi signifikan bagi perekonomian nasional. (Hilal)