linimassa.id – Saat ini ondel-ondel sangat mudah ditemukan. Tidak lagi hanya tampil di acara-acara seni dan budaya, melainkan melenggang di pinggir jalan untuk mengamen.
Inilah yang menimbulkan kontroversi. Pemerintah akhirnya membuat aturan yang melarang ondel-ondel yang dijadikan alat komoditas untuk pengamen jalanan mengais rezeki.
Sekadar tahu, ondel-ondel adalah bentuk pertunjukan seni khas Betawi yang sering ditampilkan dalam pesta rakyat.
Ondel-ondel memerankan leluhur atau nenek moyang yang senantiasa menjaga anak cucunya atau penduduk suatu desa.
Ondel-ondel berupa boneka besar dengan tinggi sekitar 2,5 meter dengan garis tengah ± 80 cm, dibuat dari anyaman bambu yang disiapkan begitu rupa sehingga mudah dipikul dari dalamnya.
Bagian wajah berupa topeng atau kedok, dengan rambut kepala dibuat dari ijuk. Wajah ondel-ondel laki-laki biasanya dicat dengan warna merah, sedangkan yang perempuan warna putih. Bentuk pertunjukan ini banyak persamaannya dengan yang ada di beberapa daerah lain.
Ondel-ondel atau barongan rakasa adalah tokoh yang dihilangkan pada sendratari Reog versi Wengker dari Ponorogo yang merupakan tokoh sepasang makhluk halus dengan tubuh raksasa, tetapi karena mengganggu perjalanan Singo Barong, maka dikutuklah mereka menjadi burung gagak dan burung merak dalam bentuk raksasa pula. Namun pada pemerintahan Bathara Katong, tokoh-tokoh yang tidak terlalu penting dihilangkan.
Ondel-Ondel Masuk ke Batavia atau Jakarta pada abad ke 17 ketika terjadinya penyerangan Mataram kepada VOC Batavia.
Setelah VOC berhasil membakar lumbung-lumbung beras di sekitar Batavia, prajurit Mataram membalas dengan cara mencemari sungai Ciliwung yang menjadi kebutuhan air orang-orang di Batavia terutama VOC.
Prajurit Ponorogo yang tergabung pasukan Mataram membuat Barongan rakasa berwajah seram yang dikeluarkan pada malam hari. Pasukan VOC baik Pribumi dan dari Eropa masih percaya akan legenda-legenda folkore sehingga membuat takut, cemas dan khawatir.
Dan terjadilah wabah penyakit masal di Batavia yang menyebabkan pasukan VOC dan Gubernur VOC Batavia J.P. Coen meninggal akibat terkena wabah dan kecemasan.
Sejak saat itu, ondel-ondel turut digunakan warga Batavia terutama Betawi sebagai pengusir berbagai hal keburukan yang diawali dengan upacara rtiual.
Pada zaman dahulu ondel-ondel digunakan sebagai penolak bala dan penjaga kampung. Biasanya ia diarak saat ada pagebluk (wabah) yang melanda kampung, selametan, hajatan besar (Cap Go Meh, dll.) atau sedekah bumi setelah panen raya.
Inilah yang menyebabkan bentuk ondel-ondel laki-laki yang asli lebih seram dengan mata melotot dan adanya gigi taring.
Awalnya ia juga dikenal dengan sebutan “barongan”. Kata “ondel-ondel” menjadi lebih populer ketika Benyamin Sueb membawakan lagu “Ondel-ondel” pada 1971 dalam irama gambang kromong yang digubah oleh Djoko Subagyo.
Saat ini ondel-ondel biasanya digunakan untuk menambah semarak pesta-pesta rakyat, atau diarak untuk mengamen. Betapapun derasnya arus modernisasi, ondel-ondel masih bertahan dan menjadi penghias wajah kota metropolitan Jakarta.
Di luar Jakarta, sebenarnya ondel-ondel adalah tokoh yang dihilangkan pada sendratari Reog versi “Wengker” dari Ponorogo yang merupakan tokoh sepasang makhluk halus dengan tubuh raksasa, tetapi karena mengganggu perjalanan Singo Barong, maka dikutuklah mereka menjadi burung gagak dan burung merak dalam bentuk raksasa pula. Namun pada pemerintahan Bathara Katong, tokoh-tokoh yang tidak terlalu penting dihilangkan.
Di dalam kesenian Jathilan dikenal dengan nama Genderuwo Gede, di Pasundan dikenal dengan sebutan Badawang, yang sudah ada sejak pasca Perang Bubat yang dibawa pejabat sunda yang masih hidup dengan membawa berbagai kesenian dari majapahot Seperti Angklung Reog, sedangkan di Bali lebih dikenal dengan nama Barong Landung yang merupakan jenis Barong Bali yang dibawa Raja Airlangga saat menyelamatkan diri. Menurut perkiraan jenis pertunjukan ini sudah ada sejak sebelum tersebarnya agama Islam di Pulau Jawa.
Sedangakan di Sidoarjo terdapat versi kecil dari ondel-Ondel yang hanya menggunakan topeng oleh penari tanpa kerangka raksasa. Kesenian ini disebut Reog Cemandi hasil kolabroasi Kesenian Topeng Ponorogo disekitar Pondok Tegalsari dan Reog Kendang dari Tulungagung pada masa kolonial Belanda.
Musik yang mengiringi ondel-ondel tidak menentu, tetapi biasanya diiringi dengan irama gambang kromong dan tanjidor. Ada juga yang di iringi dengan silat pencak betawi, marawis, hadroh dan rebana ketimpring.
Pada umumnya, pementasan ondel-ondel diiringi oleh musik pengiring dan pencak silat di antaranya, 2 buah gendang yang dimainkan oleh 2 orang, 1 buah rebana/kecrekan yang dimainkan oleh 1 orang, 1 buah gong yang dimainkan oleh 1 orang, 1 buah kong’ahyan/tehyan yang dimainkan oleh 1 orang, dan 1 orang yang melakukan pencak silat yaitu Pencak Bunga Kembang. (Hilal)