linimassa.id – Bikin miris. Kasus hamil di luar nikah terus saja terdengar setiap harinya. Meski hamil di luar nikah dianggap sebagai aib dalam keluarga, namun tetap saja banyak yang berani melakukan ini.
Akibatnya, keluarga yang menanggung akibatnya. Akhirnya, wanita ini harus segera dinikahi untuk menghapus aibnya. Bagaimana Islam memandang ini?
Dikutip dari Jurnal Hukum Perdata Islam, menurut pendapat Imam Syafi’i, perkawinan akibat hamil di luar nikah adalah sah hukumnya.
Perkawinan boleh dilangsungkan ketika seorang wanita dalam keadaan hamil. Baik perkawinan itu dilakukan dengan laki-laki yang menghamilinya atau dengan laki-laki yang bukan menghamilinya.
Hal ini sebagaimana yang tercantum di dalam kitab Al-Muhazzab karya Abu Ishaq Asy-Syairazi juz II halaman 43.
Bayi yang lahir sebagai akibat hubungan di luar nikah, nasab atau keturunannya kembali kepadanya.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa perkawinan akibat hamil diluar nikah adalah sah, perkawinan boleh dilangsungkan ketika seorang wanita dalam keadaan hamil. Baik perkawinan itu dilakuan dengan laki-laki yang menghamilinya ataupun dengan laki-laki yang bukan menghamilinya.
Argumen Imam Syafi’i tentang kebolehan perkawinan tersebut adalah karena wanita tersebut bukanlah termasuk golongan wanita yang haram untuk dinikahi. Bayi yang lahir akibat hubungan diluar nikah nasabnya kembali kepadanya.
Sedangkan menurut Imam Ahmad Bin Hambal berpendapat bahwa perkawinan hamil di luar nikah dilakukan dengan laki-laki yang menghamilinya tidak boleh. Sedangkan perkawinan hamil di luar nikah dengan laki-laki yang bukan menghamilinya itu haram hukumnya.
Berbagai Versi
Pendapat ini cukup berbeda dengan Imam Hanafi. Imam Hanafi hanya membolehkan menggauli jika yang menikahinya laki-laki melakukan zina dengannya.
Sedangkan Imam Syafi’i membolehkan menggaulinya baik oleh laki-laki yang menghamilinya atau bukan.
Sementara itu, menurut Imam Maliki dan Hambali tidak membolehkan menikahi wanita hamil di luar nikah baik dengan laki-laki yang menghamilinya atau bukan yang menghamilinya.
Selain itu, Imam Hanafi dan Syafi’i berpendapat bahwa mentalak wanita hamil hukumnya jaiz (boleh).
Adapun menurut Imam Maliki mentalak wanita hamil hukumnya haram, sebab mereka mengkiyaskan talak di dalamnya kepada talak pada masa haid di luar kehamilan.
Pendapat Imam Hanafi dan Syafi’I bahwa tidak ada iddah bagi wanita hamil karena zina.
Sedangkan Imam Maliki dan Hambali, yaitu mewajibkan adanya iddah bagi wanita hamil di luar nikah.
Sebenarnya, semua pendapat yang menghalalkan wanita hamil di luar nikah dinikahkan dengan laki-laki yang menghamilinya, karena beberapa nash.
Aisyah ra berkata, Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, kemudian beliau berkata:
“Awalnya kotor dan akhirnya perbuatan nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal.” (HR Thabrani dan Daruquthni).
Adapun pendapat yang mengharamkan seorang laki-laki menikahi seorang wanita yang sedang mengandung anak dari orang lain.
Hal itu dapat mengakibatkan rancunya nasab anak tersebut. Dalilnya adalah beberapa nash berikut ini.
Nabi SAW mengatakan: “Janganlah disetubuhi (dikawini) seorang wanita hamil (karena zina) hingga kelahiran.” (HR Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Hakim).
Nabi SAW mengatakan: “Tidak halal bagi seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan airnya pada tanaman orang lain.” (HR Abu Daud dan Tirmizi).
Versi Pemerintah
Peraturan pemerintah telah menetapkan hukum hamil di luar nikah. Dikutip dari Kanwil Kemenag Sumsel, perhatikan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991.
Adapun pelaksanaannya diatur sesuai dengan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 154 Tahun 1991 yang menyebutkan hukum hamil di luar nikah sebagai berikut:
Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya.
Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Menurut peraturan seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ada dua kedudukan seorang anak, yaitu anak sah dan anak luar perkawinan.
Disebut anak sah karena anak tersebut yang dilahirkan setelah orang tuanya menjalani perkawinan yang sah.
Perkawinan dinyatakan sah ketika dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.
Bagi penganut agama Islam, anak luar nikah itu tidak dapat dikategorikan sebagai anak sah. Penganut agama Islam juga tidak boleh melakukan pengakuan terhadap anak luar kawin, namun anak tersebut harus dilindungi.
Namun, bukan berarti ayah biologis dari anak luar kawin itu lepas tanggung jawab. Ia tetap harus bisa memenuhi pemberian nafkah, pendidikan, pengobatan sampai usia anak beranjak dewasa. (Hilal)