linimassa.id – Keberadaan terasi yang menguarkan wangi saat digoreng menjadi favorit dan banyak digandrungi masyarakat Indonesia. Wajar kalau terasi menjadi sahabat ibu-ibu untuk diulek ke dalam sambal.
Bagi penyuka terasi, masakan apapun jika ditambahkan terasi, akan bertambah sedap dan menambah nafsu makan.
Dibuat dari bahan fermentasi ikan atau udang rebon, membuat terasi terkenal dengan aromanya yang cukup tajam.
Proses pengolahan terasi terjadi dalam proses fermentasi, penumbukan sampai dengan penjemuran kurang lebih selama 20 hari. Dalam prosesnya garam digunakan sebagai bahan pengawet.
Saat dimasak untuk jadi bahan penyedap makanan, aroma tajamnya akan langsung menyergap hidung namun itulah sensasi khasnya. Makanan yang ditambahkan terasi akan makin gurih asin sedap untuk meningkatkan selera.
Terasi umunya berbentuk seperti adonan mirip pasta berwarna kehitaman, agak kecokelatan, bahkan kadang-kadang kemerahan karena sedikit diberi pewarna.
Selain berbentuk pasta, terasi juga sering dicetak menjadi bentuk lempengan kering maupun balok persegi panjang dan bisa dijumpai di pasar-pasar.
Asal Usul
Terasi ternyata punya asal-usul cukup panjang lho sampai di era kerajaan masa lalu. Sudah dikenal hampir di seluruh daerah Indonesia bahkan sampai ke luar negeri, nama terasi punya hubungan erat dengan Kota Cirebon.
Konon bahan penyedap makanan ini diciptakan oleh Pangeran Walangsungsang atau dikenal juga Pangeran Cakrabuana, pendiri Kerajaan Cirebon.
Nama Kota Cirebon berasal dari kata Ci (air) dan Rebon (udang rebon), yang memang cukup berlimpah di daerah pesisir Utara Pulau Jawa ini.
Terasi pada awalnya merupakan bumbu masakan sebagai bentuk penyedap rasa yang diciptakan oleh Pangeran Walasungsang, salah satu pendiri Cirebon. Hal ini bermula karena kebiasaanya yang sering mencari udang rebon. Kemudian hasil dari tangkapannya tersebut diolah menjadi terasi.
Diriwayatkan kalau dahulu Pangerang Walangsungsang sering menyempatkan waktu untuk mencari dan menjala udang-udang rebon di perairan kota ini.
Demi memanfaatkan potensi daerahnya, Sang Pangerang menggalakkan untuk membuat bahan penyedap makanan berbahan udang-udang kecil ini.
Bahan penyedap makanan inipun jadi salah satu komoditas utama Kerajaan Cirebon untuk dijadikan upeti dan perdagangan dengan Kerajaan Sunda Galuh.
Raja Kerajaan Galuh (Sunda Timur) sangat menyukai bumbu masakan terasi ini. Oleh sebab itu, dalam cerita sejarah Cirebon disebutkan Raja pernah marah pada pelayan kerajaan dikarenakan makanan yang disediakan tidak dibumbui terasi.
Upeti dari garam dan terasi dari Kerajaan Cirebon sangat disukai serta menjadi favorit dari raja di Kerajaan Sunda Galuh. Bahkan Sang Raja Sunda tersebut pun memberi nama bahan ini sebagai “terasih” yang asalnya dari Bahasa Sunda “asih” yaitu bermakna suka atau cinta.
Saking suka dan cintanya Sang Raja pada terasi, pernah disebutkan bahwa ia sangat marah pada pelayan istana yang lupa menambahkan bahan penyedap ini dalam masakan istana.
Perang
Terasi menjadi salah satu kunci terkenalnya kuliner masyarakat di daerah Kerajaan Sunda pada masa itu, bahkan sampai membuat antar kerajaan berperang.
History of Cirebon mencatat, Naskah Carita Purwaka Caruban Bahari pernah menuliskan riwayat kemarahan Kerajaan Sunda Galuh pada Kerajaan Cirebon perkara terasi.
Raja Galuh menganggap Cirebon telah membangkang akibat menghentikan pengiriman upeti berupa garam dan terasi yang sangat dibutuhkan kerajaan tersebut.
Kemarahan Raja Galuh tersebut sampai menciptakan penyerangan dan peperangan dengan kerajaan di Pesisir Laut Utara ini. Hal itu karena dalam budaya di Kerajaan Sunda Galuh, perdagangan berupa komoditas bahan kuliner menjadi penyumbang terbesar devisa kerajaan.
Penghentian kiriman garam dan terasi dari Cirebon bisa menghancurkan bisnis kuliner di dalam Kerajaan Sunda Galuh.
Sama halnya MSG atau micin, terasi dan garam menjadi andalan utama dalam kelezatan makanan di wilayah Kerajaan Sunda.
Hilangnya pasokan terasi dan garam tentunya membuat masakan-masakan yang beredar jadi kurang sedap, akhirnya bisnis perdagangan kuliner Sunda jadi lesu. Bisnis kuliner yang terus mengalami kelesuan akan menghancurkan pendapatan kerajaan dari pajak yang dipungut.
Komoditas Dagang
Berlimpahnya stok udang rebon untuk bahan pembuatan terasi membuat Kerajaan Cirebon menjadi sangat berjaya.
Pada tahun 1400 an, kerajaan yang terletak di Pesisir Utara Jawa ini menjadi pemasok utama terasi dalam perdagangan antar kerajaan dan bangsa.
Kemasyhuran terasi dari Cirebon bahkan sampai digemari Kerajaan Singhapura, sebuah Kerajaan Melayu di Temasek, saat ini jadi negara Singapura.
Ini menunjukkan bahwa hilir mudik kapal-kapal dagang yang bersandar di Pelabuhan Cirebon dengan muatan terasi, telah sampai ke berbagai pulau dan negeri.
Bahkan saking mahsyurnya terasi ini, sampai-sampai rombongan Kapal Laksamana Cheng Ho dari Tiongkok pun sangat tertarik. Sang Laksamana sampai berlabuh ke Cirebon dan melakukan pertukaran komoditas serta kerja sama antara Tiongkok dan Cirebon.
Teknik pembuatan terasi yang berbahan fermentasi udang dan ikan ini akhirnya sampai ke daerah-daerah lainnya.
Kota-kota pesisir Nusantara baik di Pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera, hingga Bangka Belitung pun mengenal teknik pembuatan bahan penyedap makanan ini.
Di daerah-daerah lainnya, nama terasi lebih dikenal dengan sebutan belacan yang sama-sama nikmat dijadikan tambahan penyedap sayuran, ikan, daging, hingga sambal.
Ciri unik dengan bau yang tajam merupakan ciri khas terasi yang menjadikannya bumbu masak popular di kawasan Asia Tenggara dan Tiongkok Selatan. Tidak hanya digunakan sebagai pelengkap olahan sambal, kini terasi juga digunakan sebagai penyedap beragam masakan resep tradisional Indonesia. (Hilal)