linimassa.id – Pernah tahu tembang Lir-ilir? Tembang ini diciptakan Sunan Kalijaga pada awal abad ke 16 ketika runtuhnya kerajaan Majapahit dan mulai masuknya Islam para adipati Kadipaten di Majapahit terutama di pesisir pulau Jawa.
Tembang Lir-ilir dikenal sebagai tembang dolanan atau lagu daerah Jawa Tengah. Dalam liriknya menggunakan kata perumpamaan yang memiliki arti ganda.
Hal ini yang mencerminkan kedalaman ilmu Sunan Kalijaga dalam berdakwah. Sunan Kalijaga dengan tembang Lir-ilir mencoba untuk mengajak masyarakat Jawa memeluk, meyakini, dan mengamalkan agama Islam secara perlahan tanpa menabrak tradisi yang sudah lama berkembang.
Upaya Sunan Kalijaga ini mencontoh Nabi Muhammad SAW dalam dakwahnya, yakni bi al-hikmah wa al-mauidhati al-hasanah.
Asal Mula
Meskipun anggota Walisongo yang lain juga memiliki tembang untuk media dakwah, Lir-Ilir termasuk yang paling popular.
Alasan mendasar dakwah menggunakan media tembang adalah untuk tidak mencoba melawan arus adat istiadat yang sudah lama berkembang yaitu Hindu-Buddha, hal tersebut mencoba memberikan makna tersirat yang terkesan sederhana namun mengandung makna yang dalam bila dicermati.
Pada awal mulanya Sunan Kalijaga menyebarluaskan kepada rakyat saat bersamaan mementaskan wayang purwa.
Sunan Kalijaga bekerja sama dengan wali yang lain, seperti Sunan Ampel, Sunan Bonang, dan Sunan Giri dalam menciptakan wayang sebagai sarana menyebarkan agama Islam.
Wayang diciptakan berwujud empat tokoh Punakawan. Sunan Ampel menciptakan tokoh Semar, Sunan Bonang menciptakan Petruk, dan Sunan Giri menciptakan Gareng. Sedangkan Sunan Kalijaga sendiri menciptakan tokoh yang diberi nama Bagong.
Strategi dakwah ini sesuai dengan prinsip Walisongo Kenå iwake ora buthek banyune artinya menangkap ikan harus dilakukan tanpa membuat air menjadi keruh.
Filsafat inilah yang diterapkan Walisongo dalam dakwahnya begitupun Sunan Kalijaga dengan tembang Lir-ilir. Sunan Kalijaga pada masa itu mencoba untuk mengajak masyarakat untuk memperbaiki kualitas moral namun upaya tersebut dikemas untuk tidak menimbulkan konflik terhadap Raja dan Nara Praja.
Ajaran Islam diajarkan pelan-pelan melalui adat budaya yang ada. Syariat Islam diajarkan tanpa dikonfrontasikan dengan cara-cara beragama yang biasa dilakukan oleh orang Jawa.
Dengan runtuhnya Majapahit pada penghujung Abad ke-15 membuat kehidupan masyarakat saat itu teramat suram. Di mana-mana terjadi kerusuhan, perampokan, dan pembegalan.
Korupsi merajalela sehingga ajaran agama yang telah subur kehilangan substansinya. Sehingga pada saat itu banyak Adipati yang kemudian memeluk Islam yang kemudian diikuti oleh rakyat luas terutama di Kadipaten pesisir utara Jawa. Pada awal abad ke-16 ini yang kemudian disebut oleh Sunan Kalijaga situasi yang terang dan lapang yang termaktub dalam bait mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane.
Maka Sunan Kalijaga menyampaikan kondisi ini kepada segenap Adipati sudah saatnya memperbaiki perilaku dan moral menurut syariat Islam. Sunan Kalijaga melakukan itu dengan sarana seni budaya tembang hingga berhasil.
Tembang yang menjadi lagu daerah asal Jawa Tengah ini selain sering dinyanyikan oleh anak-anak sewaktu bermain, dikutip dari e-book bertajuk Demak Raya oleh Dian Nafi, lagu Lir Ilir biasanya juga suka dinyanyikan pada acara-acara adat maupun kegiatan religius di Jawa.
Makna
Dalam kehidupan sehari-hari, lagu ciptaan Sunan Kalijaga ini bisa menjadi pengingat bagi kita untuk senantiasa untuk hidup sederhana, bekerja sama, saling mendukung, dan bersyukur atas segala sesuatu yang telah kita punya atau sesuatu yang kita terima.
Contoh, lirik pertama lagu Lir Ilir yang berbunyi “Lir ilir, lir ilir, tandure wis sumilir” mengajarkan untuk hidup dengan kesederhanaan dan ketenangan.
Selain itu, suara gending yang menghilang mengandung pesan bahwa segala sesuatu pada akhirnya akan berlalu, jadi kita harus belajar dan kuat untuk merelakan hal tersebut. (Hilal)